Apakah Tulisan Dr. KH. Fahrur Rozi (Ketua PBNU Bid. Keagamaan) Mampu Mengakhiri Polemik Nasab Baalawi ??

Apakah Tulisan Dr. KH. Fahrur Rozi (Ketua PBNU Bid. Keagamaan) Mampu Mengakhiri Polemik Nasab Baalawi ??
Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.

Artikel yang beliau tulis sebenarnya cukum lama, di bulan Juli lalu. Sayangnya
saya mendapatkan artikel itu baru-baru ini. Sehingga baru saya telaah argumentasiargumentasi yang beliau suguhkan dalam menguatkan nasab Baalawi. Saya
memandang bahwa polemik nasab Baalawi saat ini merupakan masa “Kebangkitan
Pengetahuan”, khususnya dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab. Dulunya para santri, para
ustadz dan para kyai sama sekali tidak perduli, bahkan terkasan acuh terhadap ilmu
nasab. Tapi sekarang sudah berubah 180 derajat. Sekarang mereka mulai membukabuka kitab-kitab nasab, kitab-kitab sejarah, kitab sanad dan biografi para ulama-ulama
terdahulu. Bahkan kitab sejarah/tarikh yang penulisnya adalah ulama-ulama di abadabad antara 4-9 H. Sebuah kebangkitan yang luar biasa yang patut disyukuri oleh seluruh
ummat Islam, khususnya di Indonesia. Saya termasuk di antara santri-santri yang
tergugah untuk kembali membuka-buka dan menelaah kitab nasab serta kitab sejarah.
Kembali lagi ke tulisan Kyai Fahrur yang berjudul “Mengakhiri Polemik Nasab
Ba’alawi”, saya tertarik untuk menelaah argumen-argumen yang beliau gunakan untuk
mempertahankan nasab Ba’alawi. Apakah benar tulisan beliau mampu mengakhiri
polemik nasab Baalawi? Ya meskipun -menurut saya- mayoritas hujjahnya berkutat
kepada “syuhroh dan istifadhoh”, “Tidak disyaratkannya kitab sezaman”, “tidak
disebutkan bukan berarti tidak ada”, dan lain sebagainya yang akan saya ulas di bawah
ini. Langsung saja dengan tidak berlama-lama, mari kita kaji bagaimana argumentasi
yang digunakan dalam penetapan nasab Baalawi !!
Apakah Setiap Orang Dipercaya Dalam Pengkuan Nasabnya ?
Kyai Fahrur menggunakan statemen Imam Malik
“manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”.
Kemudian beliau menggunakan riwayat imam Bukhori bahwa Rasulullah saw tidak
pernah mempertanyakan dalil atau saksi di dalam nasab.
Mari kita renungi bersama-sama bagaimana pandangan dari para pakar nasab
dalam mengomentari stetmen imam Malik di atas. Tentu lebih faham pengaplikasiannya
di dalam ilmu nasab, terlebih lagi jika nasab yang diklaim adalah nasab keturunan
Rasulullah saw, maka tentu akan memiliki nilai yang berbeda dengan nasab-nasab yang
lain.
Abdurrahman Al Qoroja mengomentari statemen imam Malik bahwa ungkapan
tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak, dan sebagian ulama memberikan
tambahan kriteria: “selagi tidak mengaku syarif/sayyid”. [al Kafil Muntakhob, hal 61].
Bahkan Abdurrahman At Taujini juga memberikan komentar yang berdekatan
dengan sebelumnya bahwa itu berlaku dengan syarat: orang yang mengaku-ngaku
nasab mengetahui nasabnya, dan meraih nasab tersebut (hiyazah) sebagaimana ia
meraih harta benda sampai di tangannya dan jika tidak mencapainya, maka ia harus
mendatangkan bukti akan nasabnya, dan menekan dirinya untuk mendatangkannya.
[Kholil al Zulai’i, Muqoddimat fi Ilmil Ansab, hal 56].
Maka jelaslah bahwa tidak semua orang dapat dipercaya dalam pengakuan
nasab, terlebih lagi ketika dirinya mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw.
Karena jika pintu ini dibuka, maka siapapun bisa mangaku-ngaku sebagai keturunan
Rasulullah saw, meskipun tanpa bukti dan dalil. Apalagi hanya sekedar berargumen
dengan syuhroh dan istifadhoh yang cacat itu.
Syuhroh Dan Istifadhoh.
Kyai Fahrur menuliskan: “Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan
nasab adalah dengan syuhroh dan istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam
masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada
bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah”
Di sini saya dapat memahami bahwa beliau tidak terlalu mendalami istilah yang
digunakan di dalam kitab-kitab nasab, dan beliau hanya mengacu kepada kitab-kitab fiqih
seperti Muhgnil Muhtaj, Nihayatul Mathlab, al Hawil Kabir, dsb. Sehingga di dalam
mendefinisikan dan menggambarkan syuhroh dan istifadhoh tidak seperti yang
digambarkan di dalam kitab-kitab nasab. Husain Haidar al Hasyimi menyebutkan kriteria
syuhroh dan istifadhoh yang diterima di dalam pengitsbatan nasab sebagaimana berikut:

“Kesimpulan kaidah-kaidah (dalam) cara ini (syuhroh dan istifadhoh) ialah:

(1)tersebarnya kemasyhuran yang membuahkan keyakinan atau sangkaan yang kuat.

(2)tidak adanya penentangan secara umum dan khusus, atau di dalam catatan-catatan yang
jelas

(3) tuanya nasab dan kemasyhuran.

(4) syuhrohnya berada di kabilah (asalnya), atau daerah asalnya, bukan di daerah hijrahnya.” [Husain Haidar, Rosail fi Ilmil Ansab,hal 103].

Jika saya diperkenankan bertanya: Apakah nasab baalawi sudah memenuhi
syarat syuhroh dan istifadhoh? Padahal kemasyhuran nasab Baalawi baru mulai dikenal
semenjak masa Ali bin Abu Bakar As Sakron (w. 895 H) sebagaimana penuturan Ahmad
bin Abdul Karim al Hasawi (murid Habib Abdullah al Haddad). Bahkan lebih dari itu,
silahkan anda buka di dalam kitab al Masyrour Rowi bahwa pengitsbatan nasab Baalawi
sebanyak dua kali: pertama di masa Ubaidillah dengan 300 saksi dari penduduk Iraq,
dan 300 saksi dari penduduk Hadramaut ketika melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dan
kali yang kedua adalah di masa Ali bin Muhammad Jadid (w. 620 H) yang biografinya
disebutkan di kitab-kitab Baalawi, ia juga yang melakukan pengitsbatan nasab Baalawi
dengan saksi ratusan orang baik dari penduduk Iraq atau para Jamaah haji yang hadir di
saat itu. Informasi ini hanya dapat ditemukan di kitab-kitab internal Baalawi dan tidak saya
temukan sama sekali di kitab-kitab eksternal Baalawi. Dari ratusan orang ini, bahkan
bisa jadi lebih dari seribu orang, siapa saja yang menyaksikan pengitsbatan nasab
baalawi ini ?? apakah logis jika satu kejadian yang disaksikan oleh ratusan orang bahkan
ribuan orang tapi tak satupun dari mereka –khususnya kalangan ulama yang hadir di
dalam kejadian itu- yang menyebutkan dan menjadi saksi atas kebenaran pengitsbatan
nasab itu ??. Maka jika tidak bisa dibuktikan dengan data, maka kuatlah indikasi bahwa
kedua kisah tersebut adalah kisah yang fiktif; karena tidak dikuatkan dengan data.

Fakta Sejarah Kitab Hadist.
Kyai Fahrur menyatakan bahwa tidak ada catatan hadist pada masa Rasulullah
saw. Pencatatan hadist mulai dilakukan seabad setelahnya.
Saya tidak setuju dengan statemen ini; karena di dalam riwayat imam Bukhori di
dalam Jami’ Shohihnya, imam Ahmad di dalam Musnadnya:
Dari Abu Hurairah ra berkata: “Tidaklah ada seseorang yang lebih mengetahui
tentang hadist Rasulullah saw dari pada diriku, kecuali dari Abdullah bin Amr; karena dia
menulis dengan tangannya dan memahaminya dengan hatinya. Sementara aku tidak
menulis dengan tanganku. Dia meminta izin kepada Rasulullah saw dalam menulis dari
Rasulullah saw darinya, maka Rasulullah saw memberinya izin”. HR Bukhori, Ahmad, Ad
Darimi, dll.
Atsar ini sangat jelas bahwa di masa Rasulullah saw sudah terdapat catatan
hadist. Dan tidak perlu menunggu sampai ke abad berikutnya untuk mendapatkan
catatan hadist. Tentu kyai Fahrur tau bahwa di dalam ilmu mustholahul hadist dalam
pembahasan hadist shohih bahwa seorang rowi harus memiliki sifat “dhobth” (tepatnya
riwayat), dan dhobth ada dua macam: dhobtus shodr (tepatnya riwayat dalam hafalan)
dan dhobtul kitabah (tepatnya riwayat dalam tulisan). Jadi, tidak semua riwayat hadist
berdasarkan hafalan, bahkan banyak perowi yang kuat hafalannya di akhir umurnya
malah mengalami ikhtilat. Berbeda dengan periwayatan hadist melalui kitab/tulisan, ia
lebih terjaga dari pada hafalan, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku
dalam ilmu hadist agar dapat diterima. Meskipun kodifikasi hadist di dalam sebuah kitab
atau karya yang menghimpun hadist-hadist Rasulullah baru dapat dijumpai di abad ke 2H.
Jika di masa Rasulullah saw saja terdapat tulisan hadist apalagi al Qur’an, maka
di masa-masa berikutnya tentu lebih berkembang lagi. Apalagi hanya sekedar mencari
nama “Ubaidillah” yang dikatakan sebagai “imam”, “dzuriyah rasul”, “ilmunya tersebar ke
segala penjuru”, “banyak murid-muridnya”, dan ungkapan-ungkapan “wah” lainnya yang
menunjukkan akan kebesaran nama tokoh ini !!.
Nasab Baalawi:
Kyai Fahur berkata: “Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan
yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka
adalah….:”
Statemen ini betul, tapi sejak abad berapa ulama-ulama dan sejawan yang
menetapkan nasab Baalawi ?? Apakah Jadid terkonfirmasi sebagai saudara dari Alwi bin
Ubaidillah ?? dan bagaimana dengan penafsiran Ali bin Abi Bakar As Sakron bahwa
Ubaid adalah tokoh yang sama dengan Abdullah ?? semuanya disebutkan di dalam kitab
al Burqoh al Musyiqoh tanpa mendatangkan sedikitpun hujjah dan dalil yang
memperkuatnya, hanya sekedar mengutip dari kitab As Suluk dan Mukhtashornya. Lalu
menafsirkan bahwa Ubaid adalah Ubaidillah, dan Ubaidillah adalah Abdullah. Itu adalah
nama-nama yang berbeda dari satu tokoh, meski tanpa dalil.
Kitab As Suluk karya imam Baha’uddin al Janadi memang menyebutkan nasab
Ali bin Muhammad bin Jadid secara lengkap sampai kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa.
Tetapi perlu dikaji ulang. Karena jika melihat jumlah nama dalam ‘amudun nasab pada
Ali bin Muhammad bin Jadid kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa ditemukan nasabnya
berbeda-beda. Dalam sebagian naskah ada menyebut 5 nama, sebagian lagi ada 6
nama, sebagian lagi ada 7 nama. Bahkan penyebutan “bin” pada Ali bin jadid di dalam
kitab al ‘Iqduts Tsamin fi Tarikh al Baladil Amin (6/249) karya Taqiyyuddin al Fasi (w. 832
H) sedikit berbeda dengan versi yang biasanya, Ali bin Jadid disebutkan: “Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Jadid”. Padahal dalam versi yang lain disebut: “Ali bin
Muhammad bin Ahmad”, bukan Muhammad bin Ahmad. Ditambah lagi dengan beberapa
tokoh-tokoh Baalawi yang disebutkan di dalam kitab as Suluk tidak terkonfirmasi sebagai
keluarga Baalawi yang tercantum di dalam kitab-kitab Baalawi. Misalnya Bamarwan yang
sangat jelas disebutkan oleh Al Janadi sebagai bagian dari keluarga Baalawi. Tetapi oleh
kitab-kitab Baalawi malah disebut sebagai guru Faqih Muqoddam, padahal hal itu
tercantum secara jelas di dalam as Suluk yang versi cetak bahkan di versi manuskripmanuskripnya. Hal yang patut disayangkan adalah kitab Tuhfatus Zaman karya Husain
al Ahdal yang merupakan ikhtisar atau ringkasan dari kitab As Suluk, ketika menyebutkan
Ba Marwan, di sana malah disebut sebagai guru dari Faqih Muqoddam. Saya tidak tahu,
apakah itu merupakan interpolasi dari pentahqiqnya: (Abdullah Muhammad al Habsyi
Baalawi) atau redaksi kitabnya memang seperti itu ?? Allahu A’lam; karena saya belum
mendapatkan manuskrip Tuhfatuz Zaman. Maka kehujjahan as Suluk dalam penetapan
nasab Baalawi menjadi mauquf, sampai adanya bukti yang memperkuatnya atau
membatalkannya.
Kitab Abna’ul Imam Karya Ibnu Thobathoba
Kitab ini adalah salah satu kitab yang problematik, karena penulis awalnya adalah
Ibnu Thobatoba, kemudian disalin ulang oleh Ibnu Shodaqoh al Halabi yang dikenal
dengan al Warroq (w. 1180 H), dan ditambahi catatan juga oleh Muhammad as Safaroini
(w. 1188 H), Muhammad bin Nashshor al Maqdisi (w. 1350). Tidak hanya itu, bahkan
muhaqqiq kitabnya yaitu Yusuf Jamalullail pun menambahkan catatan juga atas kitab ini.
Sehingga tidak diketahui mana tulisan Ibnu Thobatoba yang asli dan mana tulisan
tambahan atas kitab itu. Meski demikian, Yusuf Jamalullail sebagai pentahqiq kitab
tersebut tetap menganggap hal itu sebagai perkara yang biasa dan tidak mempengaruhi
keotentikan kitab ini [lihat; hal 22]. Tentu ini adalah hal yang mengherankan. Oke lah jika
hanya menambahkan catatan tetapi dengan memisahkan mana saja tulisan Ibnu
Tobatoba sebagai penyusun aslinya, dan mana saja tambahan-tambahannya, tentu itu
tidak bermasalah. Tetapi jika menambahkan suatu materi di dalam kitab dan tidak
memisahkan materi asli dan tambahan, maka itu akan mengakibatkan persepsi buruk
atas kitab tersebut, dan akan mengakibatkan gugurnya kitab itu sebagai sebuah referensi
utama dalam kitab nasab. Mengingat bahwa penulis aslinya adalah ulama nasab di abad
ke 5 H. Maka wajar jika Abdurrahman al Qoroja mengkategorikan kitab Abna’ul Imam
sebagai kitab yang muntahal (yang dipalsukan/dibelokkan); karena muatan data-datanya
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. [lihat al Kafil Muntakhob, hal 107]
Kitab Ar Raudhul Jaliy fi Nasab Bani Alawi Mengitsbat Baalawi
Dilihat dari judulnya saja, kitab ini membahas secara khusus tentang nasab
Baalawi. Tetapi jika tidak diteliti dan didalami, maka akan diamini seluruh isinyabegitu
saja, dan selesai. Padahal jika diteliti tidaklah seperti itu. Kitab ini memiliki banyak
kerancuan isi. Di mulai dari kisah kehijrahan Ahmad bin Isa ke Hadramaut, pengutipan
dari Mush’ab Az Zubairi, surat menyurat antara al Azwarqoni dan Ali bin Alwi (cucu Faqih
Muqoddam), sosok Salim bin Bashri, dan masih banyak lagi. Jika diteliti dan diperdalam,
maka itu semua membuahkan kerancuan yang tidak dapat diterima oleh logika. Bahkan
muhaqqiq kitab itu sendiri yaitu Muhammad Abu Bakar Badzib juga meragukan
penisbatan kitab ini kepada Murtadho Az Zabidi. Maka apakah layak kitab ini disebut
sebagai sebuah kitab yang mengitsbat nasab Baalawi ?? jika Kyai Fahrur tidak percaya
dengan ini, silahkan telaah saja muqoddimah tahqiq yang disusun oleh pentahqiqnya,
maka anda akan menemukan apa yang saya tuliskan di sini. [Muhammad Abu Bakar Ba
Dzib, Muqoddimah Tahqiq kitab Ar Raudhul Jaliy, hal 41-49]
Seandainya kitab itu benar-benar merupakan karya dari Murtadho Az Zabidi, maka
pandangan beliau dapat diterima dan dapat ditolak. Sebagaimana penuturan dari
Abdurrahman al Qoroja di dalam “al Kafil Muntakhob” (hal 128), beliau berkata:

“Adapun pandangan ulama tentang Az Zabidi, maka yang saya ketahui bahwa
beliau tidak dinilai cacat oleh seorang pun (dari kalangan ulama), kecuali al Jabarti
sebagaimana dikatakan, saya tidak menemukanya, dan itupun karena ada sesuatu
antara keduanya. Dan pandangan yang benar bahwa pendapat az Zabidi seperti ulama
yang lain, dapat diterima dan dapat ditolak.”
Begitu juga dengan kitab An Nafhah al Anbariyyah fi Ansab Khoril Bariyyah
karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al Yamani al Musawi, juga dipandang oleh
Abdurrahman al Qoroja ia bukanlah hujjah yang kuat meskipun dapat diambil
manfaatnya, dan secara mayoritas data-datanya diambil dari penduduk Yaman. [al Kafil
Muntakhob, hal 128]
Wal hasil, kesimpulan dari beberapa judul kitab yang disebutkan oleh Kyai Fahrur
itu perlu diteliti ulang; karena tidak semua karya-karya ulama dalam hal tarikh atau
sejarah dapat dijadikan sebagai dasar utama di dalam keshohihan nasab. Karena kitabkitab sejarah dan biografi tidak bertujuan untuk menetapkan nasab. Maka Abdurrahman
al Qoroja menuliskan:

“Sumber-sumber yang tidak bertujuan membahas nasab: yaitu kitab-kitab biografi
dan sejarah. Sumber-sumber ini tidak bertujuan untuk meneliti nasab, tetapi hanya
sekedar mencakup sisi-sisi kepribadian tokoh yang disebutkan biografinya, keadilan
tokoh tersebut, atau hanya menyebutkan tokoh yang tercakup di dalam kisah sejarah.
Meski demikian, terdapat pengecualian, yaitu beberapa kitab-kitab Thobaqot yang
diurutkan sesuai dengan nasab seperti Thobaqot Ibnul Khoyyath, atau kitab thobaqot
yang mengkaji nasab dengan kajian yang lebih, seperti: kitab Thobaqot Ibnu Sa’ad”. [al
Kafil Muntakhob, hal 111]

Maka keterangan ini menunjukkan bahwa ketika sebuah nasab ditemukan di
dalam kitab-kitab sejarah, maka belum tentu nasab tesebut adalah nasab yang shohih,
tetapi harus diuji terlebih dahulu, apakah penulisnya termasuk dalam kategori tokoh yang
memiliki perhatian khusus dalam kajian nasab, jika iya, maka bisa materinya bisa menjadi
hujjah. Tetapi jika tidak termasuk, maka penilitian mengenai nasab tersebut memerlukan
kajian yang mendalam.
Antara Kaidah Itsbat dan Nafi dalam Nasab
Sering kali disebut-sebut kaidah antara nafi dan itsbat mana yang didahulukan ?
Abdurrahman al Qoroja menjawab permasalahan ini dengan: “yang didahulukan adalah
yang memiliki hujjah yang terkuat, dan yang memiliki poin-poin prioritas dalam menerima
nasab, yaitu: priotitas dalam masa, tempat, pengetahuan (tentang tokoh yang akan
ditetapkan nasabnya), dan keadilan.” [al Kafi al Muntakhob, hal 130]. Poin-poin itu sudah
saya jelaskan di dalam vidio saya di link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=0D49vGM-O-4&t=885s

silahkan simak saja penjelasnnya.

Maka dalam permasalahan ini tidak ada kaidah yang pasti mengenai mana yang
lebih didahulukan, tetapi yang didahulukan adalah yang memiliki hujjah dan argumentasi
yang terkuat di antara keduanya.
Nama Ubaidillah Tidak Disebut Di Dalam Kitab-Kitab Nasab Bukan Berarti
Tidak Ada? Apakah Tetap dibutuhkan Data Sezaman ??
Habib Hatim bin Muhammad al Jufri di dalam “As Saadah Al Alawi Al Uraidhiyyun
al Husainiyyun” hal 119 dengan mengutip dari al Kattani mengatakan:
“ketahuilah bahwa tidak disebutnya sebuah nasab atau pangkal nasab di dalam
kitab itu tidak bisa dihukumi akan ketiadaan nasab tersebut, meskipun seorang penulis
kitab sudah memastikannya, kecuali ketika wujud nasab (nama) tersebut sama sekali
tidak ditemukan di dalam kitab-kitab nasab otentik yang lain.”

Pertanyaannya: apakah nama Ubaidillah ditemukan di dalam kitab-kitab nasab
yang otentik ?? padahal sudah lewat 550 tahun semenjak kewafatan Ahmad bin Isa.
Maka di sini betapa pentingnya data sezaman, agar mengetahui kebenaran Ubaidillah
sebagai putra Ahmad bin Isa.
Data sezaman dibutuhkan; karena ilmu nasab adalah bagian dari ilmu sejarah.
Dalam menguji sebuah kejadian tentu membutuhkan data yang semasa dengan kejadian
tersebut. Agar dapat dinilai seberapa jauh kebenaran dari kejadian tersebut. Begitu pula
dengan meneliti sebuah nasab, khususnya nasab Baalawi, jika ingin menguji
ketersambungannya kepada Rasulullah saw maka yang dilakukan oleh seorang peneliti
adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji silsilah yang sedang dikaji dengan kajian nasab yang murni yeng
memiliki beberapa tahapan: (a) tahrirun nasab “menguji nasab” dengan meniliti
nama-nama dalam silsilah itu satu persatu. (b) menghitung setiap generasi di
dalam silsilah nasab dari sisi kelahiran dan kewafatan masing-masing generasi
dari buku-buku sejarah. (c) melakukan muqobalah (komparasi) dengan nasabnasab yang lain dari sumber-sumber kitab nasab yang otentik.
2. Mengkaji silsilah nasab dengan kajian sejarah murni, yaitu dengan
menyodorkan silsilah nasab tersebut sesuai dengan perjalanan sejarah,
memperhatikan nasab-nasab itu apakah sinkron dengan sejarah yang ada dari
masa ke masa atau tidak.
3. Mengkaji nasab dengan kajian geografis, artinya menelusuri masing-masing
generasi secara geografi di dalam peta suatu daerah atau tempat, mengetahui
perpindahan generasi-generasi itu dari satu tempat ke tempat yang lain, dan
mengetahui kapan terjadinya perpindahan itu. Tentu jika silsilah asli maka akan
meninggalkan pengaruh tabiat kepada masyarakat di tempat yang dijadikan
tempat tinggal. Dan jika tidak ditemukan pengaruhnya, maka silsilah tersebut
terindikasi palsu; karena tidak memiliki bukti ketika ditelusuri. Dan ini
merupakan bukti terkuat dalam kepalsuan nasab.
4. Mengkaji silsilah dalam sudut pandang ilmu sosiologi, yaitu dengan mengkaji
pemikiran, idiologi, dan psikologi. Nasab yang shohih dapat ditemukan tandatanda kebenarannya di ujung nasab, dapat ditemukan juga pada bagian tengah
dan bagian yang bawah, rantai kebenarannya dapat ditemukan di generasi
yang awal, di tengah dan di akhir.
5. Tidak mencukupkan diri dengan 4 poin di atas, tetapi penelitiannya harus lebih
mendalam lagi dengan tujuan lebih memastikan lagi kebenaran dan
ketersambungan dari satu generasi kepada generasi yang lain. [Husain Haidar
al Hasyimi, Rosail fi Ilmil Ansab, hal 183-186]
Maka proses ini sudah bisa difahami betapa pentingnya data sezaman, untuk
mengkonfirmasi akan ketersambungan antara satu generasi dengan generasi
selanjutnya. Apalagi dalam mengkaji sebuah nasab yang diklaim sebagai nasab yang
paling shohih sedunia. Karena banyak klaim yang menyatakan dengan jelas bahwa
nasab Baalawi adalah nasab yang paling shohih sedunia, bahkan nasab yang disepakati
oleh seluruh ulama sedunia. Tetapi jika ditelusuri, misalnya: Muhammad bin Ali Baalawi
Shohib Mirbath (w. 552 H) dikatakan sebagai ulama yang pertama kali menyebarkan ilmu
fiqih di kota Mirbath (Dhofar Qodim). Mari kita telusuri apakah tokoh tersebut yang
merupakan generasi ke 6 dari Ubaidillah. Di dalam kitab Thobaqot Ibnu Samuroh (w. 587
H) ketika menyebutkan tokoh-tokoh ahli fiqih di kota Mirbat, ternyata tidak ditemukan
sama sekali nama Muhammad Shohib Mirbat Baalawi, apalagi sebagai seorang ulama
besar, apalagi seorang imam, apalagi sebagai seorang tokoh besar yang menyebarkan
ilmu fiqih di sana. Tapi yang ditemukan malah Muhammad bin Ali Al Qol’i [lihat: Ibnu
Samuroh, Thobaqot Fuqoha al Yaman, hal 220] bahkan tidak hanya Ibnu Samuroh yang
menyebutkannya, bahkan Tajuddin Ibnu Subki pun menyebutkan biografi Muhammad bin
Ali Al Qol’i. Hal yang serupa juga dapat ditemui di dalam kitab As Suluk (1/454) karya
Baha’uddin al Janadi (w. 732 H). Tentu jika diperhatikan bahwa zaman Al Janadi itu lebih
dari 200 tahun setelah kewafatan Muhammad bin Ali Shohib Mirbath Baalawi. Dia tidak
mengkonfirmasi keberadaan Shohib Mirbat, tetapi hanya mengkonfirmasi Muhammad
bin Ali Al Qol’i yang masih satu wilayah dengan Shohib Mirbath. Bahkan lebih dari itu,
gelar Shohib Mirbath itu tidak terkonfirmasi sebagai gelar Muhammad Baalawi, tetapi itu
merupakan gelar dari Muhammad bin Ahmad al Akhal al Manjawi (w. 600 an H),
sebagaimana penuturan Ibnul Atsir. Maka disimpulkan bahwa Muhammad bin Ali Shohib
Mirbath Baalawi adalah tokoh yang fiktif, yang kemasyhurannya sebagai imam, ulama
besar dan keilmuan yang menyebar ke segala penjuru adalah klaim yang tidak bisa
dibuktikan di dalam kitab sejarah. Dan sebagaimana penuturan para ulama nasab, maka
nasab yang berkriteria seperti ini adalah nasab yang terindikasi palsu. Ini baru satu nama,
belum kepada nama-nama yang lain dari tokoh-tokoh baalawi.
Maka, Kyai Fahrur harus kembali mengkaji kitab-kitab dalam ilmu nasab, metode
yang digunakan dalam ilmu nasab, serta bagaimana hubungan yang kuat antara ilmu
nasab dengan ilmu sejarah. Agar tidak bersembunyi di balik dalih “syuhroh dan
istifadhoh” yang disebutkan oleh para pakar fiqih dan dalih tidak dibutuhkannya data
sezaman… !!
Cinangka, 7 Desember 2023




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *