Thariqah Pertama di Nusantara

Nama Syekh Jamaluddin atau Syekh Jumadil Kubro memang masih menyimpan sejarah yang belum terungkap, sejalan dengan sejarah makam Maulana Maghribi yang juga tidak kalah banyak tersebar di Nusantara.
Kemungkinan ada 3 Syekh Jumadil Kubro:
1. Syekh Jumadil Kubro Awwal, ayahanda Maulana Ibrahim Zainuddin dan Maulana Abu Ahmad Ishaq. Ulama di era Ratu Tribhuwana (1328 – 1350)
2. Syarif Husain Jumadil Kubro, ayahanda Syarif Ali Nurul Alam dan Syarif Muhammad Kebungsuan. Ulama di era Wikramawardhana (1389 – 1429)
3. Syekh Jamaluddin Samarkhan Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Ibrahim Asmoroqondi. Ulama di era Wikramawardhana (1389 – 1429)
Para sejarawan pada umumnya belum bisa menentukan thariqah yang pertama kali tiba di Nusantara. Thariqah sendiri baru mulai menjadi minat perhatian setelah diteliti oleh Martin Van Bruinessen. Apalagi Sejarawan Indonesianis yang memang belum menyentuh aspek budaya sebagai fakta historiografi. Mereka masih merujuk pada fakta-fakta tertulis sebagaimana tulisan-tulisan sarjana asing dalam merekayasa sejarah Nusantara. Padahal, sarjana-sarjana asing juga menulis dari fakta-fakta yang mereka anggap sendiri sebagai bukan fakta, tradisi dan adat istiadat.
Mengenal thariqah Al Kubrawiyah pertama kali dikembangkan oleh Syekh Najmuddin Al Kubra (1145-1221 Masehi) di wilayah Uzbekistan. Memiliki nama lengkap al-Imam al-Zahid al-Qudwah al-Muhaddits al-Syahid Shani al-Auliya Abu al-Jannabi Ahmad Ibn ‘Umar Ibnu Muhammad Najmu al-Din Kubra al-Khawarasmi al- Khauwaqiyi yang lahir tahun 540 H. dan wafat pada tahun 618 H. Beliau mempunyai empat julukan, antara lain adalah; Shani’ul Auliya’, Abûl Jannabi, al-Kubra, dan al-Khawarasmi al-Khawwaqi.
Beliau dijuluki Shani’ul Auliya karena ada dua pandangan; pertama, secara ma’qul (rasional) dan kedua, secara manqul (irrasional). Secara rasional, karena murid beliau banyak yang menjadi wali dan menjadi orang-orang salih. Sebab yang irrasional, ketika beliau melihat seseorang yang dalam kondisi mabuk (jadzâb) maka orang tersebut akan menjadi seorang wali.
Adapun sebab dijuluki Abu Jannab karena beliau menjauhi urusan-urusan dunia, zuhud, dan melaksanakan suluk tarekat sufiyah. Sedangkan beliau dijuluki al-Kubra sebagaimana pendapat Imam ibn ‘Ammat al-Hambali dalam kitabnya Syatrad al-Dahhat karena ketika beliau masih kecil sudah mampu memahami perkara-perkara yang musykil dan sulit.
Sedangkan beliau dijuluki al-khuwaarasmi al-khaywaqiy adalah beliau dinisbatkan terhadap khuwaarasmi yaitu suatu daerah yang besar di negara persi (pendapat Imam Yaqut al-Hamami).
Thariqah ini memang memiliki ciri kemiripan dengan aliran-aliran kebatinan pada umumnya yang tumbuh subur di wilayah Asia Tengah seperti Chistiyah, Isyraqiyah, Qadiriyah, atau bahkan Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Thariqah ini memiliki kemiripan pada praktik-praktik yoga dan olah pernafasan yang umum berkembang sejalan dengan interaksi kaum muslim yang mulai tersebar di wilayah Hindustan.
Thariqah-thariqah dengan inti pengajaran pada olah pernafasan dan kanuragan ini menjadi jalan alternatif untuk menghindari konflik yang terlalu tajam terhadap penganut formalistik Islam yang merambah pada wilayah-wilayah hukum (fiqh) dan teologi (Kalam). Hanya saja, praktik-praktik olah pernafasan dan kanuragan tersebut kemudian lebih terimplementasi ke dalam bentuk zikir dan majelis zikir. Bahkan, Syekh Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166 Masehi) dianggap sebagai tokoh yang mempopulerkan thariqah sebagai jama’ah, barisan, atau komunitas zikir.
Merujuk pada naskah yang dianggap tertua di Nusantara, Syekh Hamzah Fansuri (tanpa tahun) dalam “Syair Perahu”nya, ada menyebut nama “Qadiri”.
Pola sebaran thariqah yang bersifat olah batin dan bisa membumi dengan budaya lokal, terutama tradisi, hukum, dan adat istiadat di Nusantara telah menyulitkan Martin untuk mengidentifikasi secara persis. Thariqah-thariqah batiniyah tersebut melebur ke dalam upacara-upacara dan tradisi-tradisi masyarakat Nusantara seperti pencaksilat, bebantenan, bebali, upacara kelahiran dan kematian, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Islam dikenal lebih dahulu karena praktik-praktik budaya pada masanya yang dapat berasimilasi, berakulturasi, dan membumi yang pada masa sebelumnya sudah menjadi praktik-praktik budaya masyarakat Nusantara. Dan, karena mereka menempuh jalan batin dan rahasia, maka tidak heran, jika kemudian mereka dikenal sebagai Rijal Al Ghaib, Mastur (tak dikenal), dan dengan nama sebutan lain seperti mulamatiyah.
Berikutnya, thariqah akan menampilkan diri lebih terang ke dalam budaya Islam Nusantara setelah kitab Ihya Ulum Al Din karya Imam Al Ghazali (wafat 1111 Masehi) diajarkan di pesantren-pesantren.
Jadi, bukan karena Islam lokal dipandang sebagai mencampuradukkan tradisi dan budaya Hindu dan Buddha, tapi memang ada kemiripan di dalam praktik-praktiknya. Terutama, ketika budaya Dinasti Khusan yang beragama Buddha, membentuk Kekaisaran Khurasan di Asia Tengah jauh sebelum Islam lahir. Budaya batiniyah itu sudah hidup dan bukan semata monopoli dari kaum Majusi, meskipun budaya Majusi di Persia lebih dekat kepada budaya Arab.
Wallahu alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *