Sudah berjalan setahun lebih isu nasab bergulir hingga KH Imaduddin Utsman Al Bantani (LBM PBNU) dkk menyatakan bahwa, nasab Klan Ba’alwi tidak tersambung ke Nabi Muhammad SAW berdasarkan uji pustaka penelitian manuskrip, uji genetika melalui tes DNA, serta secara ilmu filologi atau sejarah. Dan otoritas pencatat nasab klan Ba’alwi yaitu RA sampai tulisan ini di upload masih diam sejuta bahasa.
Kenapa kuatnya argumentasi secara ilmiyah tentang ketidak tersambungannya Klan Ba’alwi, masih saja ada sekelompok orang yang mengingkari kebenaran tersebut?? Ternyata tidak semua orang memiliki kecerdasan, namun juga ada yang terhinggapi kedunguan. Berikut ulasanya tentang orang dungu;
Dalam suatu riwayat, Isa al-Masih pernah berkata, “Sesungguhnya aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan perkenan Allah; juga aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan perkenan Allah; juga aku obati orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan perkenan Allah; kemudian aku obati orang dungu namun aku tidak mempu menyembuhkannya!”
Selanjutnya Isa as pun ditanya, “Wahai ruh Allah, siapa orang dungu itu?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kagum kepada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri, yang memandang semua keunggulan ada padanya dan tidak melihat beban (cacat) baginya; yang memastikan semua kebenaran harus menurut diri sendiri. Itu orang-orang dungu, yang tidak ada jalan untuk mengobati.”
“Orang dungu” yang disebut Isa al-Masih dalam bahasa Arabnya disebut “al-ahmaq” Bukan dungu biasa, melaikan kedunguan ganda, yang menurut Nabi Isa al-Masih tidak akan dapat diobati. Di kalangan kaum pelajar ada istilah sepandan, yaitu “jahil murakkab” (“bodoh kuadrat”), yaitu orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dungu bermakna sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh; sok tahu; goblok. Namun dungu dalam korelasi dan perspektif agama, mereka yang tidak mau menerima kebenaran karena mempertahankan kesombongan dan kebodohan keyakinan.
Kosa kata ‘dungu’ untuk menggambarkan seseorang yang menjawab pertanyaan tanpa berpikir sistematis. Arti lain ‘dungu’, ‘Koherensi antara dua premis yang tidak memiliki kesimpulan. Atau ketidak-tersambungan logika ilmu akibat sebuah kebodohan.
Tapi tahukah kita, bahwa makna dungu sudah populer dalam tradisi sufi sejak zaman klasik. Kata “dungu” jadi terdengar amelioratif. Mengingatkan saya pada kitab klasik karya Ibnu al-Jauzi (abad ke-6 Hijriah) berjudul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin”—jadi kitab itu ditulis sekitar 900 tahun. Jadi, jauh sebelum populer saat ini, istilah dungu sudah populer.
Karya Ibnul al-Jauzi, berjudul “Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin” itu kira-kira artinya “Kabar Tentang Orang-orang Dungu”. Dalam kitab itu, di-jelaskan. Suatu hari, dalam sebuah forum yang diampu oleh Ibnu Abbas, ada seorang lelaki yang bolak-balik interupsi dan berkomentar. Setiap kali orang itu berbicara, selalu saja salah.
Ibnu Abbas beberapa kali meluruskan pembicaraannya, tapi masih saja lelaki itu berkomentar dan salah lagi, salah lagi. Setelah berulang beberapa kali, nampaknya Ibnu Abbas sudah mulai lelah. Ia kemudian menoleh ke arah budaknya, sembari berkata, “wahai budakku, aku merdekakan engkau sejak saat ini.”
Merasa aneh, si lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas. “Wahai Ibnu Abbas, kenikmatan besar apa yang membuatmu bersyukur seperti ini? sampai-sampai engkau memerdekakan budakmu?.”
Ibnu Abbas menjawab singkat: “Aku bersyukur karena Allah tidak menjadikan aku seperti dirimu. Lelaki itu pun tercekat air liur di tenggorokannya dan wajahnya berubah kecut.”
Menurut Sayidina Ali, atribut dungu juga bisa disematkan kepada seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
“Orang yang paling dungu adalah yang menahan kebaikan namun berharap sanjungan dan berbuat keburukan namun berharap pahala kebaikan. Orang yang paling dungu adalah yang merasa paling pandai. Kedunguan seseorang dapat dikenali pada tiga hal: Pada perkataannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak berhubungan dengannya. Pada jawabannya ketika menjawab sesuatu yang tidak ditanya tentang itu. Pada kecerobohannya dalam segala urusan.”
Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ada empat macam jenis kebodohan, satu di antaranya bisa diobati sedangkan tiga yang terakhir tidak akan bisa terobati.
Tiga kebodohan yang tidak bisa diobati tersebut di antaranya adalah Pertama, orang yang bertanya karena dengki dan benci. Ketika pertanyaan orang tersebut engkau jawab dengan jawaban yang baik, fasih dan jelas justru semakin menambah kebencian, permusuhan dan kedengkiannya kepadamu. Kedua, jika penyakit bodohnya berupa hamaqah atau kedunguan, maka juga tidak bisa diobati. Sebagaimana ucapan Nabi Isa:
انما عجزت عن احياء الموتي وقد عجزت عن معالجۃ الحمق
“Sesungguhnya bukannya aku tidak mampu menghidupkan orang yang mati, tetapi aku tidak mampu mengobati orang yang dungu”
Menurut Imam al-Ghazali, penyakit dungu yaitu seseorang bertanya kepada orang yang alim yang telah menghabiskan umurnya dalam waktu lama mempelajari ilmu-ilmu akal dan syariat. Orang dungu tersebut tidak tahu dan menyangka bahwa permasalahan yang musykil baginya juga musykil bagi orang alim yang agung.
Ketiga, seseorang yang bertanya untuk meminta petunjuk. Namun setiap ada ucapan orang alim yang tidak bisa dipahaminya, ia merasa itu karena sempitnya pemahaman sang alim. Orang seperti ini biasanya adalah orang bodoh yang sombong maka tidak perlu menjawabnya. Sebagaimana sabda Nabi
نحن معاشر الانبياءامرنا ان نكلم الناس بقدر عقولهم
“Kita golongan para Nabi diperintahkan berbicara kepada manusia dengan sesuai kemampuan akal mereka”
Karena itu terkadang jawaban Nabi terhadap pertanyaan yang diajukan para sahabatnya berbeda-beda meskipun pertanyaannya sama.
Sementara itu menurut Imam al-Ghazali, penyakit bodoh yang bisa diobati adalah seseorang yang bertanya untuk mencari petunjuk serta memiliki akal yang mampu untuk memahami serta hatinya tidak terkalahkan oleh sifat dengki, marah, dan hawa nafsu.
Serta pertanyaanya bukan pula karena dengki, mempersulit dan mencoba kepintaran seseorang seperti pada poin kedua. Maka orang seperti ini bisa diobati kebodohannya, boleh bagimu menjawab pertanyaan orang tersebut bahkan hukumnya wajib.
Lalu bagaimana sikap terbaik yang harus kita ambil saat berhadapan dengan orang dungu?
اَلسُّكُوْتُ عَلَى الْاَحْمَقِ اَفْضَلُ جَوَابِهِ
Diam di hadapan orang dungu adalah sebaik-baik jawaban.
Waallahu Alam