Pengaruh Islam dikatakan telah datang ke Alam Melayu pada awalnya sekitar 627 M / 5 H yaitu dengan kedatangan utusan Rasulullah SAW, Syekh Rukunuddin ke Aceh. Meskipun tidak ada sumber literasi terperinci tentang hal tersebut, namun seorang sarjana, T.W Arnold mengatakan telah terdapat penempatan orang Arab di Aceh pada abad 7 M. Beberapa sarjana lain diantaranya W.P Groeneveldt, dan Hamka juga berpendapat bahwa Islam telah datang ke Aceh pada awal abad 7 M.
Dari hasil perkembangan ini, maka berdirilah tiga Daulah Islam terbesar di Aceh yaitu Perlak (840-1292 M), Samudera Pasai (1267-1521 M) dan Aceh Darussalam (1520-1903M). Di samping itu juga, muncul beberapa kerajaan Islam di Aceh seperti Isah, Bireuen, Samalanga, Meureudu, Lingga, Gayo, Tamiang, Lamuri, Pidie dan lain-lain. Kebangkitan daulah Islam di Alam Melayu dikatakan bermula dengan peng-Islaman Raja Perlak, Meurah Shahril Nuwi pada 790 M, kemudian diikuti oleh berdirinya Kerajaan Islam Perlak pada 840 M.
Penegakan Perlak sebagai kerajaan Islam yang pertama di Alam Melayu telah banyak diperbincangkan orang, tetapi tidak banyak disebutkan siapakah sebenarnya yang bertanggungjawab mendirikan Daulah Islam tersebut. Perlak dahulunya adalah sebuah kawasan Hindu-Buddha sebelum Putera Shahrian Salman dari Perrsia mendirikan kerajaan, yang kemudian rajanya di-Islamkan oleh para pendakwah di kalangan Ahl al-Bait yaitu anak cucu Imam Ja’far As-Shadiq.
Seorang cucu Imam Sayid Ja’far As-Shadiq, yang bernama Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa yang menyertai rombongan pendakwah di bawah Nakhoda Khalifah telah bergerak menuju Perlak pada 173H / 789 M. Ada riwayat yang mengatakan rombongan 100 orang pendakwah Arab, Persia dan India tersebut tiba di Perlak pada 802 M, walaupun menurut Prof A. Hasjmy seorang pakar sejarah dan kebudayaan Aceh mengatakan mereka tiba pada 173 H. Kedatangan mereka telah diterima dengan penuh hormat oleh Raja Perlak, Meurah Shahril Nuwi karena Daulah Islam ketika itu telah menjadi pengaruh besar dunia, sehingga di atas penghormatan tersebut Raja Perlak berkenan menikahkan seorang daripada adik baginda dengan anggota rombongan tersebut yang bernama Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa
Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa Ahli Bait Rasulullah SAW
Sayid Ali Al-Muktabar Ad- Dibaa adalah cucu kepada Imam Sayid Ja’far As-Shadiq (702-765M), sekaligus anak saudara kepada Imam Sayid Musa al-Kazim (746-799M) dan Imam Sayid Ismail (719-755M). Secara silsilahnya, Sayid Ali adalah anak dari pada Sayid Muhammad Ad-Dibaa bin Sayid Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussain bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab. Beliau berasal dari keturunan Rasulullah SAW pada sebelah ibu Hussain, Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW. Konon menurut cerita tidak ada catatan tentang tarikh lahir sebenar beliau, kerana beliau lahir dalam tempo krisis politik pada zaman Khalifah Al-Makmun (786-833M). Beliau dikatakan lahir setelah 764 M di Basrah. Karena pergolakan politik itu, keluarganya telah mengikuti bapak saudaranya, Imam Musa Al-Kazim berhijrah ke Iraq dan tinggal di sana. Bapanya sendiri, Muhammad Ad-Dibaa bin Ja’far as-Shadiq sebagai khalifah ketika usianya sudah lanjut dan digelar Amirul Mukminin oleh pengikutnya di Kufah.
Tidak banyak literasi yang menceritakan tentang kehidupan, pendidikan dan. perkembangan hidup Sayid Ali Al-Muktabar karena terjadinya pergolakan sangat meruncing ketika itu yang disebabkan adanya gerakan politik golongan Syiah yang menggunakan nama Ahl al-Bait. Keluarganya terkenal karena terdiri daripada ulama-ulama besar termasuk Imam Ja’far as-Shadiq dan Imam Musa al-Kazim yang dijadikan imam oleh pengikut Syiah, serta Imam Ismail, yang dijadikan imam oleh puak Syiah Ismailiyah.
Keluarga mereka asalnya tinggal di Mekah ketika Daulah Umayyah dijatuhkan pada 750 M, tetapi setelah zaman Imam Ja’far As-Shadiq keluarga mereka telah terlibat dalam pergolakan politik antara Bani Hasyim dengan Bani Umayyah yang menjadi khalifah ketika itu. Oleh sebab itu Imam Musa al-Kazim telah berpindah ke Baghdad, Muhammad Ad-Dibaa berhijrah ke Kufah, sedangkan Idris bin Abdullah, cicit Sayyidina Hassan bin Ali melarikan diri ke Maghribi pada 788 M untuk mendirikan Kerajaan Idrisiyah di sana setelah Perang Fakh pada 786 M. Persaingan kedua-dua keluarga Bani Hasyim ini telah memberikan kesan buruk kepada Bani Hasyim dan membuka pula ruang kepada golongan Syiah untuk berkembang dalam politik.
Pergolakan Politik Dalam Daulah Abbasiyah Dan Gerakan Dakwah
Perang Fakh (768M) yang terjadi diantara Sulaiman bin Abi Ja’far al-Mansur, panglima pasukan Kekhalifahan Abbasiyah dan para pendukung pemberontakan pro- Alid di Mekkah di bawah kepemimpinan Al- Husain bin Ali , keturunan Sayyidina Hasan bin Ali (Sahib Al-Fakh), cucu Sayyidina Hassan bin Ali bin Abi Talib.
Seorang tokoh penting dalam konflik ini ialah Muhammad An-Nafs Az-Zakaria (712-762M), cicit dari pada Sayyidina Hassan bin Ali bin Abi Talib yang dibai’at oleh pengikutnya sebagai khalifah setelah kejatuhan Daulah Umayyah pada 750M. Setelah itu, keluarga Bani Hasyim terus menerus menerima tekanan politik dan memaksa Imam Musa al-Kazim ditahan dan dipindahkan ke Baghdad oleh Khalifah Al-Mahdi (775-785M).
Setelah peristiwa itu Muhammad Ad-Dibaa pula dibai’ah sebagai khalifah oleh penduduk Hijaz setelah pembunuhan Abu As-Saraya, pemimpin Syiah yang berkuasa di Kufah. Waraqa bin Jamik yang diutus oleh Khalifah Al-Makmun berhasil menundukkan kekuasaan Muhammad Ad-Dibaa, lalu diberi peluang untuk meninggalkan Mekah, kemudian mereka berpindah ke Basrah. Ketika inilah Ali Al-Muktabar dilahirkan di Basrah. Di kalangan sarjana Arab, nama beliau biasanya dikenal juga dengan Ali Al Muktabar bin Muhammad ad-Dibaa
Ali kemudiannya berhijrah ke Ahwaz setelah usianya mulai belia dan menjadi pengikut Imam Musa al-Kazim. Sekitar pertengahan abad 8 Mi itu juga, karena tekanan terus menerus terhadap Bani Hasyim, seorang yang masih keturunan pemimpin Bani Hasyim, yakni Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Talib telah mengatur pengiriman rombongan pendakwah ke kawasan Hindi (India dan timurnya). Tujuannya adalah untuk memperluas dakwah Islam, sekaligus mengukuhkan pengaruhnya disana, namun setelah mereka tersingkir dari Hijaz.
Abdullah bin Muawiyah asalnya adalah pemimpin pemberontak terhadap Daulah Umayyah bersama Abu Muslim al-Khurasani, akan tetapi setelah pembunuhan Abu Muslim pada zaman Khalifah Al-Mansur, kedudukan Bani Hasyim merasa terkikis, lalu mereka merencanakan peng-Islaman Nusantara, kerana wilayah ini sudah lama mempunyai hubungan dagang dengan orang Quraisy. Satu rombongan pendakwah sekitar 100 orang dikirimkan ke Nusantara, dengan diketuai oleh Nakhoda Khalifah. Mereka bergerak dari Kufah ke Teluk Cambey di Gujarat. Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa turut di dalam rombongan dakwah tersebut, bersama dengan pendakwah Arab, Persia dan India.
Perlak Menjadi Sasaran Dakwah
Kitab Idhar al-Haq fi Mamlakat al-Farlah wa al-Fasi yang ditulis oleh Abu Ishak Makarani al-Fasi mengatakan bahwa mereka tiba di Perlak pada 173 H / 789 M. Mereka memilih Perlak karena kawasan ini berdekatan dengan Barus, negeri yang telah lama berdagang dengan orang Quraisy dan secara kebetulan rajanya, Shahril Nuwi adalah keturunan yang berasal dari Persia. Menurut catatan sejarah, putera keturunan Raja Dinasti Sasan (224-551M) dari Persia yang bernama Raja Shahrian Salman telah memperistrikan puteri Raja Jeumpa (Bireuen), Puteri Mayang Seludang sebelum menjadi raja di Perlak.
Baginda mempunyai empat putera yaitu Shahril Nuwi (Raja Perlak), Shahril Danli (Raja Inderapurba), Shahril Panli (Raja Samaindera) dan Shahril Tanwi (Raja Jeumpa), serta seorang puteri, Tasyir Dewi. Kitab Tazkirah Thabaqat Jumu Sulthan as-Salathin karangan Shamsul Bahri Abdullah al-Asyi dan kitab Silsilah Raja-raja Perlak karya Sayyid Abdullah Habib Saifuddin yang menulis kisah raja-raja awal Perlak dan keturunan mereka sebelum kedatangan Islam. Rombongan pendakwah ini kemudiannya menerima sambutan besar-besaran dari Raja Shahril Nuwi karena menghormati orang Islam yang telah menguasai Persia dan menjadi penguasa besar dunia pada masa itu.
Sebagai penghormatan kepada rombongan pendakwah ini, Raja Shahril Nuwi telah mengawinkan adiknya, Puteri Tasyir Dewi dengan Sayid Ali Al-Muktabar, cucu Imam Sayyid Ja’far Shadiq yang dianggap mempunyai kedudukan yang setaraf dengan keturunan Raja Persia. Hasil dari perkawinan ini, mereka berhasil meng-Islamkan Raja Shahril Nuwi. Raja atau Meurah Shahril Nuwi adalah Raja yang pertama memeluk Islam di Nusantara pada 790 M, tetapi kerajaannya belum menjadi kerajaan Islam. Pada masa itu turut memeluk Islam baru hanya Raja Jeumpa, Shahril Tanwi saja.
Kemudian dalam tempo beberapa tahun itu, telah terwujud penempatan dan komunitas Islam di Utara Sumatera atau Perlak, sehingga akhirnya Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa dan Puteri Tasyir Dewi (atau disebut juga sebagai Puteri Makhdum Tansyuri) melahirkan seorang putera yang dinamakan sebagai Sayyid Abdul Aziz. Menurut Prof. Ali Hasjmy, Sayyid Abdul Aziz kemudian diangkat menjadi Raja Perlak pada akhir 839 M dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah dan Baginda mendirikan Perlak sebagai sebuah negara Islam pada 1 Muharram 225H (12 November 839M) dengan kota Perlak dinamakan sebagai Bandar Khalifah. Dengan penobatan dan pendeklarasian ini, maka berdirilah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara.
Kepulangan dan kewafatan
Tidak banyak catatan tentang kegiatan dakwah yang dilakukan secara khusus oleh Sayid Ali Al-Muktabar beserta sahabat yang menyertai beliau, namun kenyataannya setelah kedatangan dan perkawinannya dengan Puteri Perlak, keberhasilannya meng-Islamkan Raja Shahril Nuwi dan Raja Shahril Tanwi sudah cukup untuk menunjukkan bukti keberhasilan dakwah mereka. Kemudiannya, karena kegemilangan dakwah mereka tersebut, akhirnya dalam tempo setengah abad dari kedatangan mereka, telah berdiri sebuah kerajaan Islam megah yang pertama di Nusantara yaitu Kerajaan Perlak atau yang dikenal pada saat jayanya bernama Kerajaan Kuta Meuligoe.
Namun pada akhirnya setelah tercapainya kejayaan mereka yang telah mengubah sistem politik Nusantara, tidak ada yang tahu keberadaan Sayid Ali Al-Muktabar hingga akhir hayat, apakah kembali ke Baghdad atau pulang ke Ahwaz, Persia. Tetapi menurut catatan kitab Umdat at-Talib fi Ansabi Ali Abi Thalib tulisan Ibnu Anbah yang kemudian dirilis oleh beberapa Sejarawan Muslim, mengatakan bahwa Sayid Ali Al-Muktabar atau apakah nama lain yang dinisbatkan kepada beliau telah wafat di Baghdad pada tarikh yang tidak diketahui dengan jelas dan juga tidak ada catatan yang akurat. Berkemungkinan besar, Sayid Ali Al-Muktabar Ad-Dibaa telah kembali ke Persia atau Kufah ketika sudah berusia tua untuk mengunjungi keluarganya, lalu meninggal dunia di Baghdad.
Waallahu Alam
Penulis: AL FAQIR ILALLAH