Indonesia Memiliki 58,000 Manuskrip dan Hanya 10,000 yang Ada di Jakarta

Pemenang membuat catatan sejarah dominan, tapi akan selalu ada pihak-pihak yang mencatatkan sejarahnya sendiri yang berlawanan secara sembunyi. Seorang kaisar/penakluk bisa saja membakar puluhan ribu kitab seperti pembakaran yang dilakukan QinShihHuangTi, Mongol di Baghdad, dan Moghul di Nalanda India, tapi akan selalu ada pihak yang menyalin, menulis, dan menyimpan.

Peradaban maju ditandai dengan munculnya huruf-huruf sebagai cara mengekspresikan ide, nilai, dan norma dalam masyarakat. Penemuan prasasti Yupa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan 7 prasasti Kerajaan Tarumanegara lainnya di wilayah Jawa Barat pada abad ke-5 mengakhiri era prasejarah Indonesia. Berdagang dan berlayar dengan negara lain mendorong pengenalan huruf ke Indonesia.

Dalam ribuan tahun pertama pengaruh India terwujud dalam penggunaan huruf Pallawa; Bahasa Arab diperkenalkan sekitar abad ke-16 setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit dan bahasa Latin kemudian dikenal melalui kolonialisasi Barat. Pengaruhnya tidak sepenuhnya diserap oleh masyarakat lokal, tetapi mereka memadukannya dengan nilai-nilai dan budaya lokalnya, menghasilkan variasi huruf baru.

Ada perbedaan antara inskripsi dan manuskrip. Prasasti ditulis pada media yang tahan lama seperti batu dan lempengan tembaga. Karena lebih sulit untuk ditiru, tidak ada dua prasasti yang serupa. Pemrakarsa prasasti biasanya adalah seorang raja atau penguasa. Sebuah prasasti tidak mencantumkan nama penulisnya. Sedangkan naskah ditulis di atas bahan yang berumur relatif pendek seperti bambu, daun lontar, kulit kayu dan kertas, daluang (lembaran tipis dari kulit kayu broussonetia papyrifera), dll. Dengan demikian, naskah yang pernah ditemukan di Indonesia jauh lebih muda. Dalam naskah ada tradisi penggandaan, terkadang nama pengarang disebutkan, dan penggagasnya tidak selalu penguasa.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 menyebutkan bahwa naskah tua adalah dokumen tulisan tangan yang dibuat di atas bahan yang bersifat sementara dan mudah rusak; berusia minimal 50 tahun, tidak diduplikasi dengan cara lain dan ada baik di dalam maupun luar negeri.

Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman menyatakan pada 1999 bahwa Indonesia memiliki lebih dari 58.000 manuskrip yang ditulis dengan huruf lokal. Hurip Danu Ismadi, dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip Kompas pada 20 Januari 2017 menyebutkan ada 12 huruf lokal di Indonesia: Jawa, Bali, Sunda Kuna, Bugis, Makassar, Batak Kuno, dll.

Dewaki Kramadibrata, Dosen Jurusan Sastra Fakultas Kebudayaan Universitas Indonesia menjelaskan, manuskrip Indonesia dapat ditemukan antara lain di Sumatera (Palembang, Bengkulu, Riau, Lampung), Jawa (Jakarta, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta. , Gresik), Madura, Bali, Sumbawa, Bima, Ternate, Tidore, dan Ambon dan menggunakan bahasa daerah seperti Aceh, Melayu, Sunda dan Jawa Kuno, Madura, Sangir, Arab, Belanda, dll. Tema naskah-naskah ini adalah cerita pelipur lara, iman dan kepercayaan, sejarah, adat istiadat dan tradisi, silsilah bangsawan, hukum, arsitektur, pengobatan dan penyembuhan, ajaran Islam, perjanjian dan lain-lain.

Menurut Munawar Holil, dosen Fakultas Kebudayaan Universitas Indonesia, naskah tertua berbahasa Indonesia adalah Kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa Kuno abad ke-9. Indonesia memiliki penyair dan penulis hebat seperti Mpu Kanwa yang menggubah Arjunawiwaha pada abad ke-11, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menulis Kakawin Bhratayudha pada abad ke-12. Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 memuat Bhinneka Tunggal Ika yang berarti ‘Sekalipun dalam potongan, namun Satu’ yang kini menjadi semboyan bangsa Indonesia.

Beberapa manuskrip yang diakui UNESCO sebagai Memory of the World: Negarakretagama juga dikenal sebagai Desawarnana karangan Mpu Prapanca pada abad ke-14, berisi gambaran Kerajaan Majapahit pada masa keemasannya; Kronik Diponegoro; arsip Perusahaan Hindia Timur Belanda; dan Sureq Galigo atau La Galigo, mitos penciptaan berdasarkan tradisi lisan dan ditulis pada abad ke-13 – 15 di Bugis. Dengan 6.000 halaman, La Galigo menjadi sastra terpanjang di dunia.

Naskah tua menjadi penting karena tidak hanya naskahnya itu sendiri, tetapi juga isinya. Mereka memberikan gambaran yang akurat tentang budaya, sejarah, pengetahuan, kearifan lokal serta perkembangan bahasa dan huruf pada masa itu.

Aditia Gunawan, seorang filolog tua Sunda dan Jawa tua dari Perpusnas mengatakan dalam seminar Naskah Tua Indonesia pada 21 April 2017 di TMII bahwa manuskrip lama Indonesia tersebar di banyak negara: Belanda memiliki 17.000 dengan banyak diantaranya mahakarya, kemungkinan besar karena penjajahannya yang lama di Indonesia. Negara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Spanyol, Norwegia, Irlandia, Portugal, Thailand, Malaysia, Singapura, bahkan Afrika Selatan menyimpan manuskrip tersebut. Indonesia memiliki lebih dari 33.000 buah yang tersebar di museum lokal dan tempat lain. Di Inggris, sekitar 1.200 karya disimpan di British Library sejak abad ke-17, yang diinventarisasi dengan cermat oleh M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve.

 

 

Dikutip dan diterjemahkan dari artikel :

https://indonesiaexpat.biz/travel/history-culture/indonesias-old-manuscripts-waiting-deciphered/#:~:text=According%20to%20Munawar%20Holil%2C%20lecturer,language%20of%209th%20century.

Foto Ilustrasi :

Alkitab berbahasa Batak, Sureq La Galigo, dan Naskah Blambangan




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *