Menyikapi Kontroversi Nasab Habib

Setelah menyimak berbagai kajian seputar kontroversi nasab (keturunan) Habaib mengenai bersambung atau tidaknya nasab mereka kepada Rasulullah Saw, maka saya cenderung berkesimpulan bahwa nasab mereka terputus.

Sebab, leluhur mereka yakni Ubaidillah (berdasarkan kajian literatur kitab-kitab nasab dari abad-abad terdekat dari kehidupan Ahmad bin Isa) dipastikan bukanlah anak keempat dari Ahmad bin Isa yang jelas bersambung sanadnya kepada Rasulullah Saw.

Sesungguhnya anak dari Ahmad bin Isa hanyalah 3 orang saja, yaitu Muhammad, Ali, dan Husen. Dengan begitu kesimpulannya adalah Habaib terputus nasabnya dari Rasulullah Saw.

Kendati demikian, saya punya prinsip yang selalu dipegang sampai kapanpun yang bersumber dari kitab Ta’limul Muta’allim yaitu:

خذ ما صفى و دع ما كدر

Khudz maa shofaa wa da” maa kadaroo

“Ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk.”

Berdasarkan prinsip ini, maka siapapun punya potensi untuk diambil sisi-sisi baiknya dan tinggalkan sisi buruknya tanpa melihat apakah ia memiliki nasab yang bersambung dengan Rasulullah Saw atau tidak. Sebab tidak ada orang yang sempurna, no one perfect in the world.
Sebaik-baik orang pasti ada kekurangan dan kesalahannya. Begitu pula seburuk-buruknya orang, pasti ada kebaikan dan kelebihannya. Maka prinsip di atas sangat fair sekali dalam menilai dan menghargai orang lain.

Karena itu, kami di Pesantren Sabilurrahim Mekarsari Cileungsi Bogor tetap mengkaji karya-karya Habaib serta menjalankan amaliah mereka yang dipandang apik, bermanfaat dan penuh berkah, sebagaimana yang kami lakukan juga terhadap karya dan amaliah ulama yang non Habaib.

Misalnya saja selain mengkaji kitab karya ulama ternama yang biasa diajarkan di dunia pesantren, setiap pengajian bulanan orang tua santri di Pesantren Sabilurrahim dikupas kitab Syarah Hadits Jibril karya Habib Zein bin Smith, ulama yang lahir di Indonesia tapi menetap di Madinah.

Dalam bidang tasawuf juga dikaji kitab Risalatul Mu’awanah karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad dan kitab Sullamut Taufiq karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir serta kitab Safinatun Naja karya Syekh Salim bin Abdullah bin Sumair al-Hadrami yang kedua kitab terakhir ini disyarahi oleh Syekh Nawawi al-Bantani.

Begitu pula dalam hal dzikir, di Pesantren Sabilurrahim senantiasa merutinkan Ratib al-Hadad tiap ba’da Isya, Al-Wirdul Lathif karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad tiap Jum’at pagi, selain itu juga merutinkan Sholawat Nariyah 4444x tiap malam Jum’at, al-Musabbi’atul ‘Asyrah tiap Malam Rabu dan Ratib Sabilurrahim tiap Jum’at sore.

Alhasil, yang kami abaikan hanyalah oknum habib yang bermasalah saja. Mereka yang ceramahnya provokatif, menebar kebencian, suka menghina ulama atau agama lain, merasa paling benar sendiri, dan tidak memberi tauladan yang baik, mereka inilah yang tidak harus diikuti dan diindahkan ocehannya. Jadi yang tidak disukai itu perbuatan menyimpannya.

Adapun terhadap orangnya secara pribadi, siapapun dia, baik Habaib atau bukan, mukmin atau kafir, kita diajarkan untuk saling menghormati, menghargai dan mengasihi.

KH Cep Herry Syarifuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrahim
Sumber :https://jabar.nu.or.id/amp/opini/menyikapi-kontroversi-nasab-habib-VR2YJ




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *