Inilah daftar para ulama yang katanya diklaim oleh Ba’alwi dan para Mukibbin telah menetapkan nasab Ba’alwi. Padahal tidak ada satupun diantara ulama-ulama ini yang mengistbat Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
1. Syekh Murtadho Az Zabidi
2. Syekh Abu Abdillah Bahauddin Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub Al janadi Al Kindi (w 732 H)
3. Syekh Al Yafi’i (w 768 H)
4. Syekh Malik Al Afdhal Ar Rasuli (w 778 H)
5. Syekh Abul Hasan Ali bin Abu bakar bin Hasan Al Khazraji Az Zabidi (w 812 H)
6. Syekh Imam Husain bin Abdur Rahman Al Ahdal ( W 885 H)
7. Syekh As Syaraji (W 893 H)
8. Imam As Syakhowi Al Mishri (w 902 H)
9. Imam Ibnu Hajar Al Haitami ( W 973 H)
10. Syekh Abu Salim Al Ayasyi ( w. 1090 H)
Imam Mahdi Roja’i hanya mengistbat Ba’alwi sebagai keturunan Ubaidillah (bukan keturunan Nabi Muhammad SAW).
Jika informasi di atas benar, maka jangan heran dengan kebiasaan dan perilaku Ba’alwi yang terbiasa mengklaim, mencatut dan memalsukan. Berikut tulisan dari Kiai Imaduddin Utsman Al Bantani tentang nasab Ba’alwi yang di itsbat lewat mimpi-mimpi, berikut kajiannya..
“Itsbat Nasab Ba’alwi menyajikan kisah-kisah apologetic dan mistik: mimpi dan khurafat (dongeng-dongeng yang tidak dapat dikonfirmasi ilmu pengetahuan). Diantaranya diceritakan Al Ghuror, bahwa sekelompok Ba’alwi sedang berjalan menuju suatu tempat, lalu bertemu dengan seorang laki-laki dari Dau’an, lalu keluarga Ba’alwi bertanya tentang nasabnya, lalu laki-laki itu berkata: “Aku semalam bermimpi bertemu Siti Fatimah Azzahro, lalu ia berkata: ‘besok engkau akan bertemu dengan dua anaku’.”
Nasab Ba’alwi sejak pertama kali mereka datang ke Tarim, banyak kalangan ulama Tarim yang meragukannya. Hal ini dapat kita telusuri dari kitab-kitab yang ditulis dari keluarga Ba’alwi sendiri. Di mana banyak kita jumpai dari kitab-kitab mereka, narasi apologetic akan keabsahan nasab mereka, dan mnempatkan pengakuan itu sebagai hal yang amat penting. Rupanya, keluarga Ba’alwi memiliki perbedaan dari keluarga lainnya, di mana, nampaknya mereka sangat memerlukan pengakuan itu.
Kitab Al-Guror, contohnya. Kitab karya seorang Ba’alwi yang bernama Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid ( W. 960 H) ini, mengisahkan kisah-kisah tentang bagaimana orang-orang Tarim di abad ke enam Hijriah meragukan nasab Ba’alwi, lalu salah seorang di antara Ba’alwi, yang bernama Ali datang ke Bashrah untuk meminta itsbat akan kesayyidan mereka. Lalu diceritakan dalam kitab tersebut, bahwa nasab mereka kemudian di itsbat oleh para imam dan para qodi. (lihat Al-Guror halaman 112)
Yang sedikit menggelitik dari kisah itu adalah, bukankah Ahmad bin Isa berasal dari Bashrah? Dan bukankah disebut dalam literasi Ba’alwi, bahwa tiga anak Ahmad yaitu Muhammad, Ali dan Husain ditinggalkan di Bashrah? Seharusnya, sebelum mendatangi qodi, ia mendatangi keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di sana. Jelas cerita itu meragukan, dan hari ini kita dapat memastikan bahwa Ali yang diutus keluarga Ba’alwi itu, jika benar ia datang ke bashrah, ia tidak bertemu dengan keturunan Ahmad bin Isa,karena jika ia bertemu keturunan Ahmad bin Isa, ia akan mendapatkan catatan-catatan banyak sekali tentang nama-nama keturunan Ahmad bin Isa yang hari itu (abad ke 6) mungkin sudah ratusan bahkan ribuan orang. Tetapi, kenapa keluarga Ba’alwi sekarang hanya dapat menyebut keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di Bashrah, terbatas beberapa nama, tidak lebih dari sepuluh nama yang sudah popular terdapat dikitab-kitab nasab seperti tahdzibul Ansab, Al-majdi dan Al-Muntaqilah?.
Dari sana, kita dapat memahami, bahwa nasab Ba’alwi sangat diragukan di abad 10 itu, yaitu ketika Muhammad Khirid menulis kitab Al-Guror itu, atau minimal sangat diragukan mulai abad Sembilan, di mana berita itsbat ke Bashrah itupun diceritakan oleh Al-jauhar Al-Syafaf karya Al-Khotib (w. 855 H).
Sebagaimana diketahui, bahwa konstruksi nasab Ba’alwi dibangun di abad Sembilan oleh usaha dua serangkai Al-Khotib dan Ali Al-Sakran, namun penulis hanya menjadikan Al-Al Sakran sebagai tokoh awal penyebut nasab Ba’alwi, dikarenakan kitab Al-jauhar Al-Sayafaf sampai saat ini masih berupa “manuskrip aneh” yang kalangan Ba’alwi sendiri sepertinya tidak berani mencetaknya. Penulis kira, langkah tidak mencetak Al-jauhar Al-Syafaf itu bijak, karena efek dominonya akan beresiko terlalu deras terhadap kontruksi nasab Ba’alwi sendiri, di samping output dan resonansi positifnya tidak terlalu sigifikan.
Selain kisah itsbat ke Bashrah yang menggelitik itu, Al-Guror juga, menyajikan kisah apologetic nasab Ba’alwi berupa kisah-kisah mistik: mimpi dan khurafat (dongeng-dongeng yang tidak dapat dikonfirmasi ilmu pengetahuan). Diantaranya diceritakan dikitab tersebut, bahwa sekelompok Ba’alwi sedang berjalan menuju suatu tempat, lalu bertemu dengan seorang laki-laki dari Dau’an, lalu keluarga Ba’alwi bertanya tentang nasabnya, lalu laki-laki itu berkata: “Aku semalam bermimpi bertemu Siti Fatimah Azzahro, lalu ia berkata: ‘besok engkau akan bertemu dengan dua anaku’.” (lihat kitab Al-Guror halaman 115).
Dari cerita itu, pengarang kitab Al-Guror ingin mengatakan bahwa, nasab Ba’alwi sah, karena telah di itsbat oleh Siti Fatimah di dalam mimpi seseorang. Yang menggelitik lagi, seseorang yang bermimpi itu tidak disebutkan siapa? Juga tidak disebutkan keluarga Ba’alwi yang bertemu dengannya itu siapa?
Ditempat lain, disebutkan dalam Al-Guror, bahwa ia menerima berita dari Syekh Abdullah bin Abdurrahman Fadol Bilhaj –mungkin maksudnya Syekh Abdullah bin Abdurrahman Ba fadol (w. 981 H)– bahwa ia pernah bertemu dengan seorang Ba’alwi, lalu ia bersikap biasa-biasa saja ketika bersalaman (mungkin tidak mencium tangannya) lalu malamnya ia bermimpi bertemu Rasulullah memarahinya. (lihat Al-Guror halaman 115).
Kisah ini, walau menyebut nama seseorang yang terkenal, namun tidak dapat dikonfirmasi oleh apapun akan kebenarannya. Ditambah, penulis beberapa kali menemukan “kedustaan” dari riwayat ulama Ba’alwi ketika mengutip pendapat ulama-ulama besar dalam masalah nasab dan sejarah. Contohnya seperti, ketika ulama Ba’alwi atau pendukungnya mengutip pendapat Ibnu Hjar Al-haitami tentang bahwa Seorang syarif bodoh lebih mulia dari seorang kiai, katanya terdapat dalam kita Fatawa-nya. Ternyata, setelah penulis teliti kitab tersebut, tidak mendapatkan pendapat Al-Haitami yang seperti disebutkan, bahkan Al-haitami berpendapat sebaliknya bahwa seorang syarif anak orang bodoh tidak sekufu’ dengan seorang perempuan putri kiai. (lihat Al-fatawa Al-Kubro: juz 4/101).
Demikian pula Syekh Yusuf An-Nabhani (ulama pro Ba Alawi), mengutip pendapat Al-Suyuti dalam kitab Khosois, katanya, Al-Suyuti berkata bahwa siapapun dari makhluk Allah tidak sekufu’ dalam pernikahan dengan keluarga Nabi Muhammad Saw, setelah penulis teliti dalam kitab Khosois, ternyata Al-Suyuti tidak pernah menyatakan kalimat tersebut. (baca kitab Al-kHosois karya Al-Suyuti).
Dalam kitab Al-Guror pula, dikisahkan bahwa Syekh Abdullah bin Alwi bin Fakih Muqoddam mendengar dari seorang ulama bahwa ulama itu bermimpi bertemu rasulullah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah berdiri ditempat yang tinggi lalu berkata kepada penduduk kampong (mungkin maskudnya Tarim) “ Hai ahli kampong ini, bahwa diantara kalian ada titipan (keluarga Ba’alwi), siapa yang membencinya maka ia membenciku, siapa yang membuatnya senang maka ia membuatku senang”. (lihat Al-guror halaman 108)
Sekilas, kisah itu mirip dengan kisah tentang ulama Madura yang diriwayatkan bermimpi bertemu Rasulullah. Di dalam mimpi itu rasulullah memerintahkannya untuk taat kepada Habib riziq. Setelah dikonfirmasi, ulama Madura ini membantah bahwa dirinya bermimpi seperti itu.
Kisah-kisah khurafat semacam itu sangat banyak, dapat dibaca diliterasi ulama Ba’alwi seperti kitab: Al-jauhar Al-Syafaf, Al-Burqoh Al-Musyiqoh, Al Masyra’ A’-Rowi, Tasbitul Fuad dsb.
Waallahu Alam