Cerita Fiktif Ken Arok, Upaya Pengaburan Sejarah versi Kolonial Belanda

Cerita Fiktif Ken Arok, Upaya Pengaburan Sejarah versi Kolonial belanda (Ken Arok merupakan tokoh fiktif).

Diakui atau tidak, sejarah peradaban bangsa Indonesia masih didominasi oleh produk fiktih sejarah buatan Belanda. Rekayasa sejarah hingga saat ini masih digunakan dalam sistem pendidikan kita walau tidak ada bukti prasasti atau naskah kuno yang mendukung kebenarannya.

Sunan Kudus melawan Saridin misalnya, masih banyak diyakini sebagai legenda cerita rakyat yang dianggap nyata. Padahal kedua wali tersebut tidak pernah bertemu karena beda masa. Di sekolah pun, Serat Pararaton bikinan Belanda masih diajarkan untuk mengetahui tokoh misterius Ken Arok, nama raja dari Singasari yang tidak bisa diuji kebenarannya.

Menurut K.H. Agus Sunyoto : “Tidak ada satu pun prasasti atau naskah kidung yang menyebut Ken Arok. Nama itu baru muncul di zaman Belanda saat Perang Diponegoro,”
Serat Pararaton itu muncul dikala Pangeran Diponegoro sangat bangga terhadap garis keturunan Majapahit karena leluhurnya yang menjadi raja-raja Mataram memang keturunan Majapahit. Para pangeran pun masih bangga sebagai trah Majapahit.

Saat itulah Belanda membuat sebuah naskah dengan judul Pararaton untuk mengikis mental para pejuang yang ikut Pangeran jihad bersama Diponegoro melawan penjajahan, yang inti dari isinya adalah ingin menunjukkan bahwa dengan alasan apapun, raja-raja Majapahit adalah keturunan Singasari yang raja pertamanya disebut sebagai Ken Arok. Siapa?

Menurut Serat Pararaton, Ken Arok itu adalah orang hina, jahat, dibesarkan di lingkungan yang buruk, penuh perbuatan keji serta keturunan orang yang tidak jelas silsilahnya sehingga tidak perlu dibanggakan oleh para bangsawan Yogyakarta, Surakarta dan bupati-bupati yang merasa masih punya hubungan darah.

Kronologi cerita fiktifnya dimulai dari penyebutan Ken Arok sebagai anak haram hasil hubungan gelap Ken Endok. Ketika lahir, dia dibuang ke kuburan, lalu ditemu oleh maling bernama Lembong.

Karena diasuh oleh maling yang bertabiat buruk dan hidup di lingkungan jahat, Ken Arok akhirnya digambarkan menjadi sosok anak yang nakal. Ketika remaja, menurut serat fiktif Pararaton, Ken Arok kemudian diasuh oleh seorang penjudi bernama Banyu Samparan, lalu berguru kepada Empu Paron, seorang pendeta sakti yang punya ritual kejam suka meminum darah manusia dan memakan mayatnya.
Penggambaran betapa jahatnya Ken Arok tidak hanya sampai di situ. Lanjut ceritanya lebih mengerikan lagi. Saat dewasa, ia difiksikan Serat Pararaton pernah mengabdi di Kerajaan Tumapel hingga punya keinginan jahat merebut istri Ki Agung Tumapel, penguasa kerajaan di Jawa Timur yang sangat dihormati saat itu.

Untuk memuluskan niat tersebut, Ken Arok kemudian memesan keris kepada Empu Gandring. Setelah pesan, Empu Gandring kemudian dibunuh tanpa ampun. Sudah tidak mau bayar, masih dibunuh juga. Mental inilah yang ingin dibangun dalam cerita fiksi Ken Arok.

Lanjut cerita, keris itu konon dibuat untuk membunuh Tumenggung Ametung hingga Ken Arok dikutuk tujuh turunan karena menikahi istri Tumenggung yang sedang hamil.

Mendengar cerita yang beredar tutur-tinular di masyarakat bawah begitu, para pangeran dan bangsawan Surakarta dan Yogyakarta jadi stres. Apalagi cerita yang kurangajar menggambarkan Ken Arok itu dibandingkan lagi dengan trah keturunan Belanda yang disiarkan sebagai kaum darah biru, orang suci (Santo) dan berkelakuan baik.

cerita fiktif Ken Arok tidak bisa ditemukan di naskah manapun kecuali naskah Serat Pararaton. Namun semuanya terbongkar saat ditemukan bukti prasasti bernama Mula Malurung di Kediri pada tahun 1960-an.

“Tidak ada bunuh-bunuhan seperti dongeng dalam Serat Pararaton, yang edisi terbarunya dicetak tahun 1960 dan yang masih tulisan Pegon itu tahun 1920 zaman kolonial,” tegas Kiai Agus.

Dalam buku sejarah Nasional kita diceritakan bagaimana sejarah Ken Arok sebagai rakyat biasa hingga bisa menjadi seorang Maharaja yang waktu itu bisa dikatakan tidak mungkin justru Ken Arok mencatatkan sejarahnya sendiri.

Sampai akhirnya diceritakan bahwa untuk mewujudkan ambisinya menguasai Tumapel dan Ken Dedes sekaligus, maka ia harus membunuh Tunggul Ametung dan seterusnya. Itu menurut guru sejarah kita jaman sekolah dulu yang merujuk teori sejarahnya dari buku induk sebuah Naskah kuno yang berjudul “Kitab Pararaton”.

Kitab Pararaton adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur.

Naskah ini juga dikenal dengan nama “Pustaka Raja”, yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti “kitab raja-raja”. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa Pun Naskah Pararaton ini.

Kisah dalam Kitab Pararaton diawali dengan cerita mengenai re-inkarnasi Ken Arok, sehingga ia bisa menjadi seorang Raja, Pendiri Kerajaan Singhasari (1222–1292).

Diceritakan dalam Kitab tersebut bahwa Ken Arok menjadikan dirinya korban persembahan (bahasa Sanskerta) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian.


Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga (Wisnu).

Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi Raja pada tahun 1222.

Penggambaran pada naskah ini cenderung bersifat mistis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis.

Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: “Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok”, atau “Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Arok”.

Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1600 M.

Beberapa Pakar Sejarah yang telah mengulas tentang lemahnya data sejarah dari Kitab Pararaton, mengungkapkan bahwa bagian Kitab Pararaton bukan merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur.

Beberapa pakar sejarah misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian pada masa depan.

Tanah Jawa yang Penuh Mistis!

Itulah sejarah yang ingin dibangun oleh Kaum Kolonial untuk mengaburkan Fakta tentang Kebesaran Islam di Tanah Jawa. Pengaburan fakta sejarah bahwa Islam telah kuat di Tanah Jawa ini sangat penting untuk kepentingan Politis Pihak Kolonial Belanda.

Salah satu data sejarah yang dikembangkan oleh pihak Kolonial untuk mengangkat fakta mistisnya Tanah Jawa adalah dengan mengangkat Kitab Pararaton ini sebagai sumber data Sejarah Silsilah Raja-raja Jawa. Bahkan tak tanggung-tanggung, Naskah Pararaton ini hari ini masuk kedalam Kurikulum Pendidikan Sejarah Budaya Nasional dan menjadi sumber rujukan sejarah silsilah Raja-raja Jawa.

Koq bisa ya?

Hal ini sarat dengan kepentingan politis pihak kolonial yang ingin membangun image bahwa Belanda hadir untuk memajukan keterbelakangan dan memodernisasi tanah Jawa dengan membangun image seolah sebelum kedatangan kolonial, Tanah Jawa masih primitif.

Dengan adanya pengaburan fakta masa lalu, pihak kolonial ingin membangun citra bahwa hadirnya Belanda memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat Jawa.

 

Padahal jauh sebelum pihak kolonial hadir, tanah Jawa jauh telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Justru dengan hadirnya kolonial, maka kekuatan di tanah Jawa mulai rapuh dan terkoyak.

Jauh sebelum Portugis, Belanda dan Inggris hadir di bumi Nusantara yang baru hadir dimulai abad ke 16 Masehi, Nusantara khususnya tanah Jawa telah menjadi pusat perkembangan Islam bagi hampir seluruh wilayah di Jawa dengan Kesultanan Islam Demak sebagai Pusat Kekuasaan Islam di tanah Jawa yang telah ada sejak abad ke 15 Masehi.

Pengaburan kebesaran Islam di Tanah Jawa melalui tangan kolonial acapkali berusaha merusak tatanan Sejarah kita sendiri, dan mengaburkan peran besar Islam di bumi Nusantara.

Jadi bila hari ini habaib klan ba’alwiy berakidah kastanisasi rasis penyembah berhala nasab suka membangun citranya dengan melakukan pembelokkan sejarah, memalsukan makam leluhur pribumi untuk kepentingan golongannya, adalah karena habib klan ba’alwiy merupakan kepanjangan tangan kolonialis Belanda sejak masa lalu (Imigram yaman didatangkan Belanda untuk menekan perlawanan Pribumi).
Waallahu Alam

FAKTA SEJARAH:Hadapi Perlawanan Pribumi Nusantara : Belanda Datangkan Imigran Yaman




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *