“Perjuangan Ponpes Buntet dari Penghancuran Kaum Santri oleh Belanda”

“Perjuangan Ponpes Buntet dari Penghancuran Kaum Santri oleh Belanda”


Cirebon – Pondok Pesantren Buntet Cirebon merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok pesantren yang beralamat di Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon itu mulai didirikan pada tahun 1750 oleh seorang ulama bernama Kiai Muqoyyim.
Kiai Muqoyyim atau yang juga dikenal dengan sebutan Mbah Muqoyyim, sebelumnya merupakan seorang tokoh Mufti di lingkungan Keraton Kanoman Cirebon.

Pemerhati sejarah pesantren-pesantren di Cirebon, Akhmad Rofahan menyebut, kisah berdirinya Pesantren Buntet berawal dari kekecewaan Mbah Muqoyyim atas keberpihakan keraton terhadap kolonial Belanda pada saat itu.
Berangkat dari kekecewaan tersebut, Mbah Muqoyyim pun akhirnya memutuskan keluar dari keraton dan memilih untuk menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren Buntet.

“Awalnya, Mbah Muqoyyim mendirikan pondok pesantren di kampung Kedung Malang, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Pondok pesantren yang didirikan oleh Mbah Muqoyyim kala itu hanya berupa bangunan sederhana yang dilengkapi musala dan beberapa kamar santri,” kata Akhmad Rofahan kepada detikJabar, Selasa (4/4/2023).

Seiring berjalannya waktu setelah pondok pesantren tersebut dibangun, tidak sedikit masyarakat yang kemudian tertarik untuk belajar ilmu agama kepada Mbah Muqoyyim. Namun, perjuangan Mbah Muqoyyim dalam mendirikan pesantren dengan banyak pengikut rupanya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pihak Belanda.

Sebab, selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, kebesaran nama ulama seperti Mbah Muqoyyim saat itu juga berpotensi bisa menggerakan para santri dan masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Atas dasar itu, Belanda pun akhirnya bergerak untuk melakukan penyerangan ke pondok pesantren Buntet sekaligus berupaya menangkap Mbah Muqoyyim. Namun, informasi itu telah lebih dulu bocor hingga akhirnya Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri, begitu juga dengan santri-santrinya.

Hanya saja, akibat dari serangan Belanda, pondok pesantren Buntet yang telah didirikan oleh Mbah Muqoyyim porak-poranda. Saat itu, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri ke desa Pesawahan, Kabupaten Cirebon.

Saat berada di desa Pesawahan, Mbah Muqoyyim sempat menetap di wilayah tersebut. Namun lagi-lagi, informasi tentang keberadaan Mbah Muqoyyim kembali diketahui oleh pihak Belanda. Upaya penyerangan pun terus dilakukan oleh Belanda ke pondok pesantren yang didirikan Mbah Muqoyyim di daerah Pesawahan.

Namun sesampainya di lokasi, Belanda tidak menemukan sang Ulama. Mbah Muqoyyim kembali berhasil menyelamatkan diri. Saat itu, Mbah Muqoyyim menyelamatkan diri dari serangan pasukan Belanda dengan cara pergi ke daerah Sindanglaut, Kabupaten Cirebon.

“Belanda pun kembali menyerang Sindanglaut untuk mencari Mbah Muqoyyim. Tapi saat itu beliau sudah pergi,” kata Rofahan.

Setelah kejadian itu, Mbah Muqoyyim mulai merasa jika keberadaannya di Cirebon sudah tidak aman. Ia pun lantas berinisiatif untuk keluar dari Cirebon dan berkelana ke sejumlah wilayah.

Meski menjadi target penangkapan Belanda, namun Mbah Muqoyyim tidak menghentikan perjuangannya dalam melakukan syiar Islam. Kegiatan itu tetap dilakukan Mbah Muqoyyim di setiap wilayah yang disinggahinya.

Salah satu wilayah yang disinggahi oleh Mbah Muqoyyim adalah daerah Beji, Pemalang, Jawa Tengah. Selama menetap di Pemalang, Mbah Muqoyyim tinggal di kediaman seorang ulama bernama Kiai Abdussalam. Di sana, Mbah Muqoyyim tinggal dan hidup sebagaimana santri lainnya yang tinggal di kediaman Kiai Abdussalam.

Singkat cerita, setelah Mbah Muqoyyim menetap di Pemalang, sebuah wabah penyakit melanda Cirebon. Wabah penyakit itu bahkan menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Baik warga biasa, keluarga keraton, maupun pihak Belanda.

Situasi itu pun membuat banyak pihak merasa khawatir. Tidak sedikit ‘orang pintar’ yang kemudian didatangkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun dari sekian banyaknya orang sakti yang didatangkan, tidak ada satupun yang berhasil.

“Akhirnya muncul usulan untuk meminta bantuan Mbah Muqoyyim yang saat itu ada di Pemalang. Perwakilan keraton yang saat itu diutus langsung menghadap dan meminta bantuan Mbah Muqoyyim untuk mengusir wabah tersebut,” terang Rofahan.

Mendapat permintaan tersebut, Mbah Muqoyyim sendiri lantas menyetujuinya. Ia lalu kembali ke Cirebon dan berusaha mengusir wabah tersebut. Atas kelebihan yang dimiliki Mbah Muqoyyim, wabah penyakit yang telah menelan banyak korban jiwa itu pun akhirnya berhasil dihilangkan.

“Saat pulang ke Cirebon, Mbah Muqoyyim pun berusaha membangun kembali pesantren Buntet yang sebelumnya telah dihancurkan oleh Belanda,” kata Rofahan.

Lokasi pembangunan sedikit bergeser dari lokasi sebelumnya dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Mbah Muqoyyim membangun pesantren Buntet di sebuah daerah yang kelak dikenal dengan nama Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon.

Rofahan mengatakan, dalam membangun dan memimpin Pesantren Buntet, Mbah Muqoyyim menjalani tirakat dengan berpuasa selama 12 tahun. Tiga tahun pertama, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk keberkahan tanah dan pesantren yang dibangun. Tiga tahun kedua, ia berpuasa untuk keselamatan anak cucunya.

Kemudian tiga tahun selanjutnya, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk para santri serta pengikutnya. Dan tiga tahun terakhir, Mbah Muqoyyim berpuasa untuk keselamatan dirinya.

Sejak didirikan pada ratusan tahun lalu oleh Mbah Muqoyyim, hingga kini Pesantren Buntet Cirebon masih tetap eksis dan menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia versi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

sumber tulisan :https://www.detik.com/jabar/budaya/d-6662313/perjuangan-ponpes-buntet-dari-penghancuran-kaum-santri-oleh-belanda




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *