Ba’alwy EKSODUS Besar-Besaran Ke Nusantara Untuk Mengejar DUNIA (bukan dakwah)
( Informasi dari Keluarga Ba’alwy Sendiri ).
Pada abad 19 dan 20, Nusantara, khususnya Jawa, adalah tempat yang sangat menggiurkan bagi orang-orang Hadramaut untuk bekerja mencari nafkah, sampai-sampai ada syair terkenal di masa itu yang ditulis oleh Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, syair itu berbunyi:
من ترعرع و شب قالوا له اعزم لجاوه
هات دنيا نعرس لك ونلقي حراوه
“Barangsiapa yang telah tumbuh dewasa maka katakan padanya: Pergilah ke Jawa, bawakan kami dunia, kujadikan kau pengantin dan kamipun akan mendapat kehidupan yang baik.”
setelah keluarga Ba’alwi bersama imigran Yaman lainnya berbondong-bondong datang ke Indonesia, sesepuh Habaib di Yaman marah dan melarang keluarga Baalawi untuk meninggalkan Hadramaut, karena rata-rata yang datang ke Indonesia kemudian menikah dan tidak kembali ke Hadramaut, habaib sepuh menasehati mereka agar bertahan di negeri leluhur walaupun hidup miskin. Termasuk yang paling banyak menasehati mereka adalah Habib Muhsin bin Alwi Assegaf (1.177-1.257 H.), beliau menasehati orang Siwun yang banyak meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di Jawa.
[Kitab Al-Istizadah halaman 172]
Namun himbauan dan kemarahan sesepuh Habaib itu tidak digubris oleh para Ba’alwi yang telah bersemangat untuk bekerja di Jawa. Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri merasa heran karena banyak Ba’alwi yang sama sekali tidak mau mendengar nasehat Habaib. Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith juga heran karena tokoh-tokoh Ba’alwi tidak serius menghalangi kepergian para Ba’alawi yang membanjir untuk bekerja ke Jawa. Merekapun tetap pergi ke Indonesia sehingga lebih dari setengah keluarga Ba’alwi meninggalkan kampung halamannya. Jadi, jumlah Ba’alwi yang hijrah ke Indonesia itu lebih banyak dari jumlah Baalawi yang bertahan di Hadhramaut.
[ Kitab Al-Istizadah halaman 75-76].
Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf menyebutkan bahwa Habib Abdullah Al-Haddad pernah berbicara tentang harta Ba’alwi yang diperoleh di Jawa, bahwa harta mereka itu cepat habis (tidak berkah), mungkin karena mereka mendapatkannya dengan kerakusan, atau karena tidak wara’ dan mungkin juga karena tidak pernah di zakati.
[ Kitab Al-Istizadah halaman 571 ]