Diskursus ini menjadi penting, karena alasan beberapa pihak tidak menerima atas Pembatalan Nasab klan Ba’alawi
ini adalah banyak sekali sanad keilmuan yang diajarkan di pondok-pondok pesantren adalah bersanad pada ulama-ulama itu.
Seorang guru besar bidang filsafat, menyampaikan bahwa nasab dan sanad keilmuan itu ada dua hal yang berbeda. Jadi tidak perlu saling membatalkan, Jika nasabnya terputus.
akan tetapi ulama itu memiliki karya yang menjadi rujukan ya tetap sanad tetap tersambung kepada ulama tersebut.
Lebih lanjut Sang Profesor menjelasakn bahwa Dzuriyyah Nabi dan Klan Ba’alwi yang disebut habib/habaib itu ada dua hal yangg berbeda. Dzurriyah Nabi itu ada dan eksis sampai saat ini yang menyebar hampir di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, tapi Klan Ba’alwi kali ini sebagai klan yang wajib dipertanyakan validitasnya sebagai Dzurriyah, babakan dinyatakan terputus.
“Jangan karena mempertanyakan Klan Baalwi itu, lalu dituduh sebagai Anti Dzuriyyah dan Pembenci Ahlul Bait, Bukan begitu cara atau Judgmen, atau penghakiman seperti itu biasa dilakukan oleh para penjajah dan kelompok etnis Arab tertentu.”, Jelas Sang Profesor.
HUSNUDZDZON & SU’UDZDZON
Diskursus terus berlanjut, seorang anggota menyatakan,
“Dirimu sok menilai orang, lebih baik husnudhon daripada su”udhon walaupun husnudhon salah dan su’udhon benar,”
Dan yang lain menjawab:
“Aku durung tahu ketemu yai imad, yo ora kenal, weruh wajahe yai imad wae nok hp, tapi saya tetap husnudhon sama yai imad…”
Karena diskusi sudah mengarah pada persoalan personal, seorang anggota yang lain mengingatkan, bahwa:
“Sebenarnya konteks perdebatan kita ini bukan bersifat personal, namun bersifat konsep dan ilmu secara kontekstual. Pada satu sisi adalah kajian ilmu tentang Pembatalan Nasab suatu Klan ( kebetulan Ba’alawi ), di sisi lain adalah Klan Ba’alawi yang nasabnya TERPUTUS bahkan disinyalir sengaja di PALSUKAN sejak Abad 9 H, dan pihak ini belum mengakui secara legowo.”, komentar Mas AR
Nampaknya komentar dari Mas AR ini memantik reaksi dari salah seorang Muhibbin Ba’alawi dengan akun MB, dia menyatakan:
“Mas coba sampean pikir lagi…
Dari sekian orang ngalim pengarang kitab itu banyak yang dari ba’alawi (sulam Taufiq, safinatunnaja, bughyatul musytarsyidin, zubad ) apa semuanya pembohong ??
Dari sekian ulama hanya kyai Imad dkk yang bilang gitu… Dan seluruh kibaarul ulama gak ada yang berpendapat gitu?? Apa semua kibaarul ulama di bohongi??”
Ditanya seperti itu dan menyebutkan kitab-kitab sebagaimana disebutkan diatas, Mas AR menjawab:
“Silahkan jenengan cari sendiri jawabnnya…”
Tapi hasil penelusuaran saya, berangkat dari keingin tahuan yang besar, sudah Terkonfiramsi bahwa kitab-kitab yang disebutkan diatas adalah hasil plagiasi”
“Apakah Kitab Sulam at Taufiq juga plagiasi?”, lanjut Ustadz MB.
Mendapat pertanyaan terkait dengan status Kitab Sulam at Taufiq yang dikenal selama ini sebagai karya Habib Abdullah Bin Husein Bin Thahir Bin Muhammad Bin Hasyim Ba’alawi, Mas AR menjawab:
“Dalam keterangan, Kitab ini selesai ditulis oleh pengarang Ba’alawi pada Tahun 1241 H atau 1820 M, era dimana penjajahan Belanda di Indonesia sedang kuat-kuatnya, dan para Imigran Yaman menduduki posisi-posisi penting di lingkungan pemerintahan kolonial”
‘1820 M, sebuah era terjadinya Ba’alwisasi karya dan sejarah peradaban, termasuk kitab karya Ulama terdahulu diseluruh kawasan hegemoni para Imigran Yaman di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.”, jelas AR
“Gerakan Ba’alwisasi karya dan Kitab ini menjadi sangat mudah karena previlage yang mereka sandang sebagai Dzurriyah Nabi dan belum berkembangnya teknologi informasi pada saat itu, sehingga akses informasi menjadi sangat sulit.”, lanjutnya.
“Berangkat dari fakta ruang dan waktu penyelesaian karya itu, yakni 1820 M, maka Patut Dicurigai sebagai karya yang Tidak Original. Semoga segera menemukan jawaban sebagaimana Kitab – Kitab sebelumnya yang telah terkonfirmasi hasil plagiasi atau jiplak.”, Mas AR menutup komentarnya.
~ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ~~