Inilah Awal Glorifikasi Ba’alwi
Apakah anda pernah ikut majelisnya Kabaib? Maka akan mendapati :
1. Glorifikasi nasab orang-orang dari golongan mereka (kabaib). Ini menjadi agenda wajib di majelis-majelisnya. Mereka mengklaim secara sepihak nasabnya tersambung hingga Nabi SAW, Mengklaim pula sebagai ahlul bait Nabi SAW.
2. Shalawatan, yang redaksionalnya khas padang pasir. Tetapi banyak pula yang inovasi ataupun modifikasi, terkadang mereka merendahkan budaya pribumi yang mereka nilai melanggar aturan. Tujuannya memperkuat sugesti klaim nasab mereka.
3. Cerita-cerita khurafat yang berisi kehebatan leluhur mereka diluar nalar dan diluar dalil (hadist maupun Al quran) yang tujuannya untuk melegitimasi point 1 diatas.
4. Perayaan / haul kematian orang-orang dari golongan mereka (kabaib). Sering sekali mereka menggelar acara perayaan itu darikuburan ke kuburan yang diklaim kuburan kabaib sampai kuburan leluhurnya di Yaman itu. Yang paling parah memba’alwikan makam leluhur pribumi
5. Minim kajian ilmu fiqih, apalagi akidah. Mendongeng khas Yaman sangat mendominasi.
6. Ada yang jualan juga di majelsinya, dengan iming-iming barokah.
7. Mengajak orang untuk tunduk hormat sama kaum kabaib ini, tentu saja dengan iming-iming barokah dan ancaman kualat.
8. (Jika kurang, silahkan ditambahi sendiri…)
Padahal pada hadist sahih dan ayat Al quran menyatakan :
“Barangsiapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
“….Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“..Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13).
Mari kita simak tulisan singkat dari KH Imaduddin Utsman Al Bantani tentang asal muasal Ba’alwi melakukan glorifikasi terhadap klanya, berikut ulasannya…
Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
Di abad ke-9 dan ke-10, klan Ba’alwi bukan hanya berhasil membangun kontruksi nasab mereka terkoneksi kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka juga telah berhasil membangun kesejarahan leluhur mereka dengan kesejarahan yang luar biasa. Glorifikasi semacam itu urgen dalam rangka melengkapi klaim mereka sebagai keturunan Nabi, di mana nama-nama yang terdapat dalam susunan silsilah antara Ali al Sakran dengan Ahmad bin Isa mencapai 13 nama. Akan nampak aneh jika 13 nama itu dapat diketahui namun kesejarahannya tidak. Orang akan bertanya, dari mana Ali al Sakran mendapatkan nama-nama yang majhul itu.
Adapun silsilah lengkap nasab Ali bin Abubakar al Sakran sampai Ahmad bin Isa, sebagaimana yang ditulis oleh yang bersangkutan dalam “Al Burqat” adalah: Ali (w. 895 H.) bin Abubakar al Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al Gayyur bin Muhammad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali Khaliqosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah (w. 383 H.) “bin” Ahmad bin Isa.(w. 345 H.).
Di antara contoh-contoh glorifikasi yang dilakukan oleh Ba’alwi untuk leluhur mereka adalah: kisah-kisah tentang Ahmad bin ‘Isa, bahwa ia seorang “imam” dan ulama. Berita itu tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Demikian pula ketokohan Ubaidillah. Dalam litaratur ulama Ba Alwi, Ubaidillah ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh” (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (di zamannya). Demikian sebagian yang ditulis Ali al Sakran Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini. Anehnya, seorang “Imam Besar”, yang hidup di abad empat hijriah, sejarahnya gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) yang menulis kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman, tidak menyebut namanya.
Muhammad bin ‘Ali (w.556 H.) yang diberi gelar “Sohib Mirbat” oleh penulis Ba’alwi. Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi sebagai “imaman mutqinan” (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); “wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‘amal” (paling berilmu dan beramal di masanya). Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan “tabaqat” (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad “Sahib Mirbat” adalah penyebar Madhab Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid-murid Muhammad “Sahib Mirbat. Berita semacam itupun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) yang menulis kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman, tidak menyebut namanya.
Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya dari non Ba’alwi, mereka terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin ‘Ali al-Qol’iy (w.577 H.). Dari tahun wafatnya, kita melihat bahwa Al-Qol’iy seharusnya hidup sezaman dengan Muhammad “Sahib Mirbat”. Dan jika yang dikatakan Alwi bin Tahir benar bahwa seluruh ulama di Mirbat adalah murid Muhammad Sahib Mirbat, maka seharusnya, ketika ulama menyebut Al-Qol’I, mereka juga menyebut gurunya yaitu Sahib Mirbat. Nyatanya tidak. Bahkan sebaliknya, sejarawan Yaman, Al-Janadi, dalam Al-Suluk justru menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy, bukan murid Sahib Mirbat. Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad “Sahib Mirbat” Ba’alwi.
Begitupula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad “Sahib Mirbat”. Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‘Ali, tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al-Manjawi. ia adalah sosok historis yang seharusnya hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‘Ali “Sahib Mirbat” Ba’alwi. Al-Akhal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi.
Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari. Sementara Muhamad bin ‘Ali Ba’alwi, namanya tidak dicatat oleh Ibnul Atsir sebagai apapun, dengan gelar ataupun tanpa gelar; dengan disebut ulama ataupun bukan. jika ia benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?
Keberadaan makam Muhammad bin ‘Ali “Sohib Mirbat” hari ini pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad “Sohib Mirbat” hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman, abad ke enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana “orang biasa” nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak?
Raja pertama yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan indah adalah Raja Al-Watsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H. batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari India. Bayangkan abad ke-8 saja, batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana duaratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti Rasuli kemudian membawa para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal mula banyak raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan ukiran. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana, struktur dan jenis batu Raja Al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman. Batu Nisan Muhammad “Sohib Mirbat”, dapat di yakini baru dibuat pada abad Sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alwi yang secara formal ditulis oleh ‘Ali al-Sakran.
Sejarah Muhammad bin ‘Ali yang kemudian diberi gelar “Al-Faqih al-Muqoddam” oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang paling popular; ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar “Al-Faqih al-Muqoddam” (Rajanya ahli fikih) dan “Al-Ustad al-A’zom” (guru besar); Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-muhaddits” (ahli hadits), “Al-Mudarris” (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang “mufti” (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain. Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu?
Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman pun tidak menulis namanya. Namanya muncul berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqat.
Metode lain yang dilakukan oleh klan Ba’alwi dalam rangka membangun otoritas keagamaan di Hadramaut dan di tempat diaspora mereka lainnya, adalah dengan menciptakan historiografi leluhur mereka seluar biasa mungkin (glorifikasai) seperti yang telah disebutkan sebelum sub judul ini . Hal itu dilakukan dengan menulis kitab sendiri atau men-tahqiq kitab ulama-ulama masa lalu. Karena kesunyian leluhur mereka dalam literasi masa lalu, mereka melakukan apa yang disebut interpolasi (penambahan/perubahan nasakah asli) terhadap naskah yang mereka tahqiq sebelum diterbitkan.
Kajian literasi nasab Ba’alwi yang penulis (KH Imaduddin Utsman Al Bantani) lakukan mengarah kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Historiografi dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu yang memiliki irisan dengan interest tertentu, patut dicurigai validitasnya.
Waallahu Alam