Hujjah DR.Fahrur Rozi dikategorikan “Blunder” tak terkonfirmasi dengan fakta sejarah.

CENGENGESAN HUJJAHNYA BLUNDER‼️
Hujjah DR.Fahrur Rozi dikategorikan “Blunder” tak terkonfirmasi dengan fakta sejarah. adapun sebagai pembanding tulisan saudara : Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi yang masih dikategorikan blunder dan jauh dari keterangan kitab-kitab manuskrip sezaman
DALAM kutipan postingan Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi bilang jika sudah mengikuti polemik nasab Bani Alawi di medsos dan membaca tulisan Pak Imaduddin Utsman yang menyatakan nasab Banu Alawi kepada Rasulullah Saw adalah palsu dan terputus di seluruh dunia.
Menurut hemat penulis, klaim tersebut sangat prematur dan menjadi fitnah di masyarakat secara luas dan belum layak disebut sebagai kajian ilmiah, karena masih berupa review sejumlah buku tanpa mempertimbangkan keberadaan sumber lain yang lebih otoritatif dan studi di lapangan, hanya sebelumnya ada tulisan yang serupa dari seorang Wahabi bernama Murod Syukri dari Yordania di pertengahan era tahun 90 an dan sudah dibantah oleh para ulama.
Argumentasi Pak Imaduddin menolak nasab Bani Alawi pada intinya hanya soal tidak tercatat dalam kitab sezamannya. Hal ini tidak ada dasarnya secara ilmu fiqh. Karena syarat penetapan nasab dalam kitab fiqh empat madzhab cukup hanya syuhroh wal istifadloh di mana sudah jelas tertulis dalam berbagai manuskrip, kitab dan telah diakui oleh masyarakat setempat berdasarkan fenomena yang terjadi di zaman Rosulullah saw, bahwa para Sahabat RA menisbatkan diri mereka kepada kabilah-kabilah dan datuk-datuk mereka, meski demikian Rasulullah Saw tidak menuntut mereka untuk menghadirkan bukti-bukti atas kebenaran nasab
tersebut, Rasulullah menjadikan informasi yang telah populer (Istifadhoh) secara turun temurun tentang keabsahan nasabnya sebagai patokan selama tak ada yang menganulirnya, dan berbagai hukumpun dibangun atas dasar ini.
👉FAKTANYA ; Bahwa, semua yang kita sampaikan adalah kebenaran akademik yang bisa di ukur dan bisa di gugurkan, selagi belum ada dokumen yang bisa menggugurkannya. Yaitu dokumen sezaman serta kajian BRIN terkait genetika yang di ketemukan Ba’alawi hasil kajiannya.
Bagi siapa saja yang berkeinginan untuk membongkar dan meruntuhkan Teori KH Imaduddin Utsman Al Bantani harus mampu membuat kajian dokumen kitab sezaman.
Kalau kitab sezaman tidak bisa di hadirkan dalam bentuk anti thesa maka semua yang batah gagal dalam pandangan akademik sebab semuanya sifatnya hanya narasi, sifatnya hanya interpretasi saja. Yang paling parah hanyalah retorika halusinasi yang di paksakan.
Silahkan bagi siapapun untuk membuat sanggahan dengan metodologi dalam kajian ilmiah. Kedua silahkan bantah kajian penelitian BRIN terkait genetika, dimana di ketemukan Haplogroupnya Ba’alawi G. Bagaimana mau mengaku sebagai keturunan Rasul, Arab saja bukan.
Selama para peneliti dan ahli ilmu siapa saja belum mampu membuat dan meruntuhkan hujjah kajian kitab sezaman dan kajian genetika, maka selamanya Ba’alawi adalah alurnya genetiknya ke Yahudi ini bukan fitnah tetapi hasil penelitian.
Haplogroupnya G sedangkan bangsa Arab Haplogroupnya J1. Sekarang Ba’alawi boro-boro keturunan Rasulullah, keturunan bangsa Arab saja bukan.
——————————————————
Berikutnya Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi menulis tentang PENETAPAN NASAB DALAM SYARI’AT ISLAM sprti dibawah ini :
“Nabi Muhammad SAW mengakui penetapan nasab hanya berdasarkan pengakuan seseorang dari kabilah apa tanpa menanyakan saksi dan bukti catatan nasab mereka keatasnya, sebagaimana dinyatakan Imam Malik RA :
الناس مؤتمنون على أنسابهم
“Bahwa Manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”
Diriwayatkan dalam Shohih Bukhori bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menerima dengan baik utusan Bani Abul Qois yg mengaku sebagian cucu klan Robi’ah tanpa bertanya dalil dan saksi nasab nya
حدثنا علي بن الجعد قال أخبرنا شعبة عن أبي جمرة قال كنت أقعد مع ابن عباس يجلسني على سريره فقال أقم عندي حتى أجعل لك سهما من مالي فأقمت معه شهرين ثم قال إن وفد عبد القيس لما أتوا النبي صلى الله عليه وسلم قال من القوم أو من الوفد قالوا ربيعة قال مرحبا بالقوم أو بالوفد غير خزايا ولا ندامى فقالوا يا رسول الله إنا لا نستطيع أن نأتيك إلا في الشهر الحرام وبيننا وبينك هذا الحي من كفار مضر فمرنا بأمر فصل نخبر به من وراءنا وندخل به الجنة وسألوه عن الأشربة فأمرهم بأربع ونهاهم عن أربع أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس ونهاهم عن أربع عن الحنتم والدباء والنقير والمزفت وربما قال المقير وقال احفظوهن وأخبروا بهن من وراءكم
Meskupun antara kedatangan Wafdu (delegasi) keturunan Abdil Qays Bin Afshoh dari negara Bahrain yang merupakan cicit dari Kabilah Rabiah, salah satu pokok kabilah Arab yang bernasab kepada Rabiah bin Nizar bin Adnan , jaraknya mereka ke era Nabi Muhammad SAW adalah hampir 500 tahun. (Lihat kitab Fathul Bari juz 12 hal 184).
Jika mamakai teori bahwa nasab harus dicatat kitab sezamannya, maka Nasab Baginda Nabi Muhammad ‎ﷺ kepada Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim Alahimassalam juga sangat bisa diperdebatkan oleh para Ulama disebabkan tidak adanya referensi manuskrip atau kitab se-kurun yang menyebutkan keberadaan mereka.
Nasab-nasab yang tercatat oleh para Ulama ahli sejarah di masa lalu hanyalah berdasarkan riwayat dari hafalan uang diucapkan lisan ke lisan oleh para tsiqoh dari bangsa Arab, jika ada beberapa nama yang tertulis di kalangan mereka dengan menyebut nasab maksimal hanya empat generasi, tentu banyak sekali nasab yang tidak tercatat oleh mereka. Allah SWT berfirman dalam Alquran yang menyatakan bahwa ada kurun yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh selainNya:
﴿وَقُرونًا بَينَ ذٰلِكَ كَثيرًا﴾ [الفرقان:38]
﴿أَلَم يَأتِكُم نَبَؤُا۟ الَّذينَ مِن قَبلِكُم قَومِ نوحٍ وَعادٍ وَثَمودَ وَالَّذينَ مِن بَعدِهِم لا يَعلَمُهُم إِلَّا اللَّهُ﴾ [ابراهيم:9]
Jika seandainya nasab Rasulullah ‎SAW yang bersambung ke Nabi Ibrahim diragukan karena alasan tidak diketahui atau tidak dicatat, maka runtuhlah kebenaran pengakuan kanjeng Nabi Muhammad Saw yang selalu menisbatkan dirinya kepada Nabi Ibrahim seperti contoh dalam Hadits sohih:
‎ولد لي الليلة غلام فسميته باسم أبي إبراهيم
“Tadi malam anakku lahir, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim”.
Begitu juga runtuhlah dalil Alquran yang mengatakan bahwa:
﴿فيهِ ءايٰتٌ بَيِّنٰتٌ مَقامُ إِبرٰهيمَ﴾ [آل عمران:97]
Yakni bahwa Kakbah adalah bangunan Nabi Ibrahim, sebab lagi-lagi tidak ada bukti tertulis manuskrip kuno selain kabar dari mulut ke mulut, dengan fakta sejarah jarak zaman Nabi Muhammad dengan Nabi Ibrahim adalah sekitar 2500 tahun.
Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhroh wal istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah , sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni Al Muhtaj juz 6 halaman 377, Nihayatul Matlab juz 18 halaman 613, Fathul Bari juz 5 halaman 254, Al Hawi Al Kabir juz 17 halaman 35, Al Mughni Ibnu Qudamah juz 10 halaman 141.
👉FAKTANYA : lebih maju dalam pemikiran keagamaan, bukan hanya dalam bagaimana mempertahankan legacy yang baik, tetapi bagaimana mengambil peran dalam mengembangkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Kita juga, harus mulai memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang progresiv kepada para santri kita, pemikiran-pemikiran yang akan mengangkat harkat kemanusiaan mereka sebagai manusia merdeka yang melekat akal-budi yang difitrahkan Allah Swt sebagai manusia yang sempurna.
Sebagaimana Imam Malik mempunyai santri Imam Syafi’i. Imam Malik adalah guru yang berhasil mengangkat Imam Syafi’I menjadi salah satu manusia utama di muka bumi ini, kenapa? Karena imam Malik mendidik Imam syafi’I bukan dengan doktrin kebarokahan mengikuti guru, tetapi mendidiknya agar Imam Syafi’I mampu menemukan hakikat kebenaran yang diyakininya sebagaimana gurunya telah mencapai derajat itu, walau dengan itu muridnya kemudian mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan gurunya dalam memahami kebenaran yang diyakini.
👉FAKTA BERIKUTNYA : Menelaah dari Kitab Kitab sejarah Bani Alawi yang ada saja, sebenarnya tak memiliki sumber riwayat yang valid, coba deh terjun langsung oprek penelitian hasil pendataan habib Ali bin Jakfar, mengumpulkan diaspora Bani Alawi yang datang ke negeri ini untuk generasi keturunannya yang belum jauh/pendek 7-10 generasi saja, banyak salah nisbah yang tertukar dan banyak nama-nama diduga fiktif (tidak ada sejarahnya) sebatas cocoklogi kemiripan nama saja.
Secara keilmuan sejarah dan nasab, sejarah nasab bani Alawi aslinya itu amburadul, terus sejarah nasab amburadul bani Alawi ini mau melawan keakuratan Tes DNA?
Murtadho Az zabidi, riwayat nya ahistoris. Menceritakan tentang sejarah leluhur bani Alawi mengutip riwayat dari Mus’ab Az Zubairi? Sedangkan Mus’ab Az Zubairi wafat 236 H. Bagaimana ia bisa meriwayatkan tokoh-tokoh yang belum ada di masa beliau hidup, maksudnya meriwayatkan nama Ubaidillah yang wafat 383 H?
As Sakran, Al Kherred, Al Khatib, Al Janadi juga sama, RIWAYATNYA AHISTORIS. Aslinya, Jadid yang dimaksud itu di naskah aslinya berhenti di nama Jadid tidak diketahui ayahnya siapa dan Saudara se-ayahnya siapa?
Padahal yang di Yaman sana antara Ba’alwi dan Bani Al Ahdal, kasusnya mirip dengan ini.
Keduanya sama-sama mengklaim Ubeid sebagai leluhurnya, dan Ahmad bin Isa sebagai bagian dari sanak saudaranya.
Versi Ba’alwi mengambil jalur Ali Al Uraidhi, dengan skema nasab Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al Muhajir. Dalam catatan sejarahnya Ubaidillah diambil dari Ubeid lalu ditafsirkan lagi menjadi Abdullah.
Sedangkan versi bani Al Ahdal mengambil jalur Musa Al Kadzim. Dengan jalur Ubeid bin Isa bin Alawi dan seterusnya sampai Musa Al Kadzim.
Dan posisi Ahmad Bin Isa sebagai paman dari keturunan Ubeid bin Isa bin Alawi.
Keduanya hijrah ke Yaman bersamaan dan saling mengkonfirmasi tapi catatan nasabnya berbeda. Yang satu hijrah tahun 313 H (versi Ba’alwi). Yang satunya lagi hijrah tahun 540 H (Versi Al Ahdal).
Menurut bani Al Ahdal, Ubeid itu adik/kakaknya Ahmad Bin Isa Al Muhajir.
Jadi Ahmad bin Isa Al Muhajir menurut Versi Bani Al Ahdal adalah pamannya dan merupakan bagian dari trah Musa Al Kadzim, yang mana cucu dari Ubeid dan cucu dari Ahmad bin Isa hijrah Ke Yaman di Tahun 540 H.
Sedangkan menurut Ba’alwi, bani Al Ahdal hanya kawan hijrahnya saja, tak ada hubungan sanak saudara dan bersikukuh Hijrah di Tahun 313 H.
—————————————————————
Berikutnya Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi menuliskan tentang FAKTA SEJARAH KITAB HADITS sprt ini ;
“Satu abad setelah nabi wafat tidak ada catatan atau manuskrip penulisan hadits dan baru dilakukan di abad setelahnya karena takut tercampur dengan Al-Qur’an. Apakah lalu itu berarti kitab hadits yang di tulis di abad berikutnya adalah palsu dan tidak bisa dibenarkan?
Penulisan hadis baru dilakukan pada abad ke 2, diabad ke-2 H baru dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah, Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah, ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra, Sufyan as-Sauri di Kufah, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah), Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran), Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak), Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran), dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.
Menyusul kemudian muncul Imam Bukhari yang lahir di Bukhorо, 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M) dan wafat di Khartank, 1 Syawal 256 H (1 September 870 M). Kitab Shohih Bukhori diakui sebagai kitab hadits paling shohih setelah Al-Qur’an di atas muka bumi ini dilanjutkan Kitab Jami sahih Imam Muslim, Setelah dibukukan Kitab hadis Bukhari dan Muslim , ternyata masih ada hadist sahih sesuai standar ilmu hadist Imam Bukhori dan Muslim yang dirangkum dalam mustadrak oleh Imam Hakim. Apakah itu tidak boleh disebut kumpulan sahih karena tidak ada dan tidak ditulis di zaman Imam Bukhari Muslim?
👉 FAKTANYA JUGA ; terdapat dalam kitab al-Jundi (732 H.) sebagai orang yang sama dengan Ubaid leluhur Ba Alawi.
Jadi penisbatan tersebut setelah 550 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa. Selama 550 tahun sebelumnya, tidak ada kitab nasab yang menyebut Ubadillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
2. Abdullah yang disebut kitab al-Jundi (w. 732 H.) dalam kitab al-Suluk sebagai anak Ahmad bin Isa, terputus riwayat selama 387 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa. Dan keberadaan Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa tertolak, karena kitab yang lebih tua, yaitu kitab al-Syajarah alMubarokah karya Imam al-Fakhrurozi menyebutkan dengan tegas bahwa anak Ahmad bin Isa berjumlah tiga orang yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
3.Nasab para habib Ba Alawi terputus 550 tahun. Sangat sukar sekali menurut takaran ilmiyah untuk menyebut bahwa para habib Ba alawi adalah sahih sebagai keturunan Nabi Besar Muhammad Saw. Dari sisi riwayat nasab para habib ini adlah munqati‟ (terputus); dari sisi nasab, nasab ini termasuk dalam kategori mardud al-nasab (nasab yang tertolak).
👉FAKTA BERIKUTNYA ; sana dan di peloksoknya dengan penyebaran yang luas dan aku tidak mengetahui seorangpun sejarah mereka.”
Dari ibaroh ini, kita menemukan secara dzahir, bahwa Abu Marwan seabagai
keluarga Ba Alawi, dan ia merupakan orang pertama yang menjalani tarikat
tasawuf. Dan nama Abu Marwan ini tidak lazim dipakai keluarga Habib Ba Alawi.
Tapi menurut para habib, disini ada kalimat yang hilang, yaitu setelah kalimat “musonnafat adidat” terdapat kalimat “Wabihi tafaqqaha Muhammad bin Ali BaAlwi” lalu baru dilanjutkan kalimat “wahua awwalu…” jadi yang benar menurut Hanif, “belajar kepadanya (Abu Marwan), (orang yang bernama) Muhammad bin Ali Ba Alwi (Faqih Muqoddam)…”. Hal itu, menurut Hanif, disyahidi oleh kitab Husen bin Abdurrahman al-Ahdal yang bernama Tuhfatuzzaman fi Tarikhi Sadat al
Yaman. Setelah penulis mencari kitab ini, memang ada seperti yang disebut Hanif, ada tambahan Muhammad bin Ali. Kekurangannya, kitab ini di tahqia oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi dari keluarga BaAlawi sendiri. Bukan penulis
meragukan pentahqiq tanpa alasan, tetapi beberapa pengalaman pentahqiqan yang dilakukan kalangan internal Ba Alawi, mulai dari kitab Abna‟ al-Imam dan al-Raud al-jaliy, selalu ada masalah. Taruhlah itu betul, bahwa ada nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam? Kita lanjutkan ibaroh
al-Jundi berikut.!
👇
“dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih dahulu disebutkan sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta orang-orang yang datang ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan, tarekatnya dan nasabnya, diantara mereka adalah Hasanbin Muhammad bin Ali Ba Alawi, ia seorang ahli fikih, ia menghafal kitab al-Wajiz karya Imam gazali, ia punya paman namanya Abdurrahman bin Ali BaAlawi”
Dari ibaroh ini ada nama yang disebut al-Jundi merupakan keluarga Ba Alawi, yaitu Hasan bin Muhammad bin Ali Ba Alawi. Nama Muhammad bin Ali Ba Alwi yang disebut kembali, ia mempunyai anak bernama Hasan. Pertanyaannya, kalau Muhammad bin Ali Ba Alwi itu al-Faqih al-Muqoddam, seperti interpretasi Hanif, apakah al-Faqih al-muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Mari kita lihat kitab nasab Ba Alawi Syamsu al-Dzahirah, apakah al-Faqih alMuqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Perhatikan ibaroh di bawah ini ;
وله واي الفقيه ادلقدم( من الولد مخسة بنٌن: علوي وأمحد وعلي وعبد هللا ادلتويف برتْي سنة
وعبد الرمحن ادلتويف بٌن احلرمٌن… ٖٙٙ 35
“ia (al-Faqih al Muqoddam) mempunyai anak laki-laki lima: Alawi, Ahmad, Ali,
Abdullah yang wafat di Tarim tahun 663 H, dan Abdurrahman yang wafat antara
Makkah- Madinah.” (Syamsu al-Dzahirah: 78)
Jelas di sini disebutkan bahwa al-Faqih al-Muqoddam tidak punya anak bernama Hasan. Jadi jelas pula bahwa Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan alFaqih al-Muqoddam.
Penguat kedua bahwa Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam adalah kalimat;
👇
“Ia (Hasan bin Muhammad) mempunyai paman bernama Abdurrahman bin Ali …” pertanyaanya, apakah Ali ayah al Faqih alMuqoddam mempunyai anak bernama Abdurrahman? Mari kita lihat kitab Syamsu al-dzahirah dengan ibaroh di bawah ini !
له ابن واحد هو الشيخ االمام دمحم الشهًن ابلفقيه ادلقدم هنع هللا يضر…36
“ia (Syekh Ali bin Muhammad sohib Mirbath) mempunyai anak satu, yaitu syekh Imam Muhammad yang masyhur dengan (nama) al-Faqihal-Muqoddam.”
(Syamsu al-dzahirah: 77)
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa Ali (ayah al-Faqih alMuqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan yang disebut al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas bukan anak al-Faqih al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba Al Kiwi. dalam keterangan ibaroh di bawah ini !
👇
“dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak ibadahnya, agung
pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika membaca tasyahhud, ketika iamembaca „assalamualaika ayyuhannabiyyu‟, ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan
kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut?), (ia menjawab): „aku
melakukannya sampai Nabi s.a.w. menjawabnya‟, maka banyak sekali ia
mengulang-ulang itu.Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu Solah,
ia punya paman namanya Ali bin BaAlwi, sebagian rincian keluarga Aba Alwi
adalah Ahmad bin Muhammad, ia seorang ahli fikih yang utama, ia wafat kira-kira tahun 724 H; dan Abdullah bin Ba Alwi, ia masih hidup sampai skarang, ia bagus ibadahnya dan menjalani tasawuf”.
———————————————————–
Berikutnya pun Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi Menuliskan PERIHAL NASAB BA ALAWI Sprt dibawah ini ;
“Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah:
1. Imam Bahauddin Al-Janadi, Muhammad bin Yusuf Al-Yamani (w 730an H) -beliau tokoh muktamad perihal nasab- menyebut dalam kitab: “As-Suluk fi Tabaqat Al-Ulama wal Muluk” Juz 2 Hal 135-136.
2. Imam Ibn Tabataba, Yahya bin Muhammad bin Alqasim, (w 478 H) dalam kitab: “Abna’ al-Imam fi Misr was Syam” Hal 167.
3. Imam Ibnu Inabah Jamaluddin Ahmad bin Ali bin Husain Al-Hasani As-Syi’iy As-Syahiir (w 820 H), dalam kitab: “Umdatuttalib fi Ansabi Abi Talib” hal 225.
4. Sayyid Muhammad Al-Kadzim, ibn Abil Futuh bin Sulaiman Al-Yamani Al-Musawi, (w 880 H) dalam kitab An-Nafhah Al-Anbariyah.
5. Imam Al-Amidi An-Najfi, Muhammad bin Ahmad bin Amiduddin Al-Husaini An-Nassabah (w 927 H), dalam kitab Al-Musyajjar Al-Kassyaf hal 52 (dalam manuskripnya, sebagaimana dituturkan oleh Hamzah Al-Kattani dalam As-Summ Az-Zu’af)
6. Imam Murtadlo Az-Zabidi, Muhammad bin Muhammad Al Husaini, pensyarah Ihya’ Ulumiddin (w 1205 H) dalam tahqiqannya atas Al-Musyajjar tersebut.
7. Imam Syamsuddin As-Sakhawi, Abul Khair Muhammad bin Abdurrahman (w 902), menyebut dalam kitab: “Ad-Dlou’ Al-Lami” Juz 5 Hal 59.
Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Ibn Hajar Al-Haitami (w 974 H), Ibn Syadzqam (1080an ) Sirojuddin Ar-Rifa’i (w 885 H), Al-Muhibbi (w 1111 Abu Alamah Al-Muayyadi (w 1044 H) Muhammad Zabarah (w 1381 H), Murtadla Az-Zabidi 1205 H), Abu Salim Al-Ayasyi ( w 1090 H), Al-Ahdal (w 903 H), Ibn Al-Muhib At-Thabari (w 117 H), Abul Fadl Al-Muradi (w 1206 H), Abd Bawazir Yahya Hamiduddin (w 194 M), An-Nabha (w 1350 H), Abdu Al-Ghazi (w Abad 13an) Abdul Hafidz Al-Fasi ( 1383 H), Ibn Hassan (w 8 H) dan yang lain yang telah bersaksi bahwasanya nasab dan hubungan mereka kepada Baginda Nabi Muhammad itu shohih .
Soal keberadaan nama anak Sayyid Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah yang tidak disebutkan dalam kitab As syajarah mubarokah Imam Fahrur Rozi itu bukan dalil yang kuat, karena kitab tsb hanyalah kitab ringkasan yang tidak bisa memuat semua nasab manusia se dunia dan tidak ada kata penafian sama sekali, dan tidak menyebutkan itu sama sekali bukan berarti tidak ada,
Penggunaan kitab As Syajarah Al mubarokah Imam Fahrur Rozi untuk menafikan nasab Bani Alawi justru ditentang oleh As-Sayyid Mahdi ar-Roja’i , Ulama syiah ahli nasab asal Qum yang mentahqiq kitab as-Syajaroh al-Mubarokah yang dijadikan rujukan oleh pak Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Tholib beliau
menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut hijrah bersama ayahnya ke Hadhromaut, serta memilki anak Jadid, Bashri dan Alawi, yang mana keturunan Alawi tersebar di berbagai belahan dunia.
Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Roja’i yang menemukan manuskrip as-Syajaroh al-Mubarokah, yaitu Ayatullah Mar’asyi yang merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyrof keturunan Rosullah SAW. Artinya penemu manuskrip as-Syajarah al-Mubarokah dan pentahqiqnya pun tidak pernah memahami isi kitab as-Syajarah al-Mubarokah terkait keturunan Ahmad bin Isa sebagaimana yang difahami pak Imaduddin yang menafikan nasab Ba Alawi. Bahkan mereka mengeluarkan surat resmi yang isinya mengklarifikasi kesahihan nasab Ba Alawi.
Penulisan ulama yang menetapkan nasab Bani Alawi di berbagai naskah kitabnya tentu bukanlah pendapat pribadi ataupun hasil ijtihad sebab urusan nasab bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya baik
melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis misalnya hafalan lisan, hal ini berlaku sepanjang zaman bahwa nasab menjadi catatan tersendiri bagi anak keturunan mereka yang diwariskan dari hafalan lisan ke lisan.
👉FAKTANYA : kitab penulis, al-Fikroh al-Nahdiyyah. Lalu sekarang, ketika penulis tahu bahwa mereka bukan cucu Nabi, penulis menarik itsbat itu. Jika Ibnu Hajar masih hidup dan mengetahui dalil-dalil keterputusan nasab Ba Alawi, tidak mustahil Ibnu hajar akan menarik kembali pendapatnya itu. Begitu juga ulama yang lainnya.
Ulama yang sudah wafat telah menjalankan tugasnya yang mulia sesuai dengan hasil ijtihadnya. Mereka mendapatkan pahala dengan ijtihadnya itu. Mereka akan masuk ke dalam surga Allah. Zaman ini adalah zaman kita yang masih hidup. Mari kita laksanakan tugas kita sebaik-baiknya sebagai ulama, dengan mengetengahkan sumber-sumber yang lebih mudah kita dapatkan daripada zaman Ibnu hajar dan yang lainnya itu. Bagi Ba Alawi, jangan malu mengakui bahwa hasil ijtihad leluhurnya yang mengatakan mereka adalah keturunan Nabi Muhammad adalah salah. Itu bukan hal yang hina. Bahkan, leluhurnya bisa jadi akan berterimakasih kepada anda semua. Karena dengan itu kesalahan selama ini tidak akan terus berlanjut sampai hari kiamat.
Hasil uji test DNA, menurut para ahli biologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menglonfirmasi bahwa Ba Alawi yang berhaplogroup bukan J1 itu, bukanlah keturunan Nabi Muhammad Saw, karena telah diteliti secara matang dan disimpulkan bahwa keturunan Nabi Muhammad Saw, semuanya berhaplogroup J1.
Terakhir, penulis menyayangkan adanya beberapa upaya penghalangan dan pembatalan ceramah penulis atau yang lainnya, dari ulama yang telah yakin bahwa anda bukanlah cucu Nabi Muhammad Saw, sebagaimana penulis dan teman-teman juga tidak pernah menghalangi kegiatan ceramah anda yang mengatakan bahwa anda adalah cucu Nabi. Walaupun yang demikian itu sangat mudah kami lakukan. Penulis orang NU yang diajarkan adab dan rasa malu, tidak mungkin penulis memobilisasi masa untuk menghalangi kegiatan orang lain, kecuali jika sudah membahayakan untuk agama, bangsa dan Negara. Masalah nasab itu bagi kami belum ke taraf itu, walau bisa saja mengarah ke sana. Yang penulis minta adalah kesadaran dan kebijaksanaan, oleh karena itu yang penulis protes adalah organisasi anda, bukan kegiatan anda. Apalagi ini masa pemilu, mari kita bantu pemerintah untuk dapat menjalankan kegiatan rutinan pemilu ini dengan sukses, lancar dan aman. Jika anda masih mengakui diri anda sebagai cucu Nabi, silahkan saja, itu hak anda, tetapi tolong jangan sampai memaksa orang lain untuk mempercayainya. Percaya dan tidak percaya akan sesuatu itu adalah hak semua orang yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang di ridoi Allah Swt. Amin.
————————————————————
Berikutnya Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi
Menulis PENISBATAN NASAB BA ALAWI HARI INI sprt dibawah ini :
“Sudah diakui para ahli nasab dunia dan ditulis dalam berbagai kitab tentang kesahihan nasab Bani Alawi, lalu apa karena seseorang tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut kemudian kita mau ikuti dan menganggap itu semua tidak ada dan tidak mu’tabar?
Kalau memang Sayyid Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama beradab-abad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah meng-itsbatkan?
Apakah selama lebih dari 1000 tahun lebih baru ada Mujtahid bernama Imaduddin dari Banten dan sebelumnya ada seorang wahabi dari Jordania yang bernama Murod Syukri di pertengahan tahun 1990 an Masehi yang baru cerdas, ngerti dan sadar akan hal ini ?
Kemarin penulis sudah posting 47 judul kitab yg menulis nasab Bani Alawi di group WAG BM Nusantara dan semua menurut mereka para pembenci bani Alawi semua kitab itu hanya bohong dan palsu karena tidak sezamannya.
Bagaimana bisa ribuan tahun ada kebohongan para ulama yang rapi terpublikasi sedemikian rapi tanpa bantahan padahal semua ulama tahu bahwa penisbatan nasab palsu pada Rosululloh adalah dosa besar dan perbuatan terlaknat? Hal ini disebut dalam sebuah hadits Sahih Bukhori juz 4 halaman 120 yang isinya tidaklah seseorang mengaku-ngaku sebagai keturunan selain ayahnya sedangkan dia mengetahui itu terkecuali dia melakukan kekufuran ( dosa besar ), dan siapa yang mengaku-ngaku sebagai bagian dari sebuah kaum/kabilah padahal ia bukan bagian dari kabilah tersebut maka bersiaplah tempatnya di neraka. Penulis Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi, adalah khadim Ponpes Annur 1 Bululawang Malang, Ketua PBNU bidang keagamaan, Ketua yayasan IAI Al Qolam Malang, Wasekjen MUI bidang fatwa.
👉 FAKTANYA ; ketika Baalawi Indonesia menganggap kami sudah terlambat untuk berhimpun dan mendata nasab karena sudah 500 tahun lebih, apakah Baalawi yang di Yaman sudah berhimpun sejak zaman Sayyid Ubadillah? Ayo sekarang buka-bukaan, perhatikan rekaman sejarah berikut ini.
Sejarah Baalawi mencatat bahwa penulisan marga-marga pecahan Baalawi baru muncul setelah tahun 895 H. Sebelum itu, setiap nama hanya dicatat fulan bin fulan saja tanpa semisal “Assegaf” dan sebagainya. (Al-Istizadah, hlm. 141).
Sejarah Baalawi juga mencatat bahwa di Hadhramaut baru ada Naqabah Baalawi pada zaman Habib Umar Al-Muhdhar, yaitu pada tahun 833 H. Naqabah ini berakhir pada kepemimpinan Habib Zainal Abidin bin Abdullah Al-Idrus yang wafat pada tahun 1.041 (Al-Istizadah, hlm. 125-26).
Artinya, sebelum itu, nasab keluarga Baalawi dipegang sendiri-sendiri dan mereka berhimpun dengan dipimpin masing-masing munshib. Kemudian, mereka berhimpun pada tahun 833 dan perhimpunan mereka hanya bertahan hingga tahun 1.041, yakni hanya 208 tahun saja.
Naqabah ini pernah akan dihidupkan lagi pada tahun 1.316 H. namun gagal. (Al-Istizadah, hlm. 26-127). Hingga sekarang tidak ada lagi Naqabah atau perhimpunan Baalawi di Hadhramaut.
Jadi, sekitar lima ratus tahun sejak Sayyid Ubaidillah, catatan nasab Baalawi di Yaman itu dipegang oleh masing-masing keluarga yang diketuai oleh semacam kepala suku yang mereka sebut munshib. Tidak beda dengan nasab keturunan Walisongo yang selama ini dipegang oleh masing-masing keluarga.
Walaupun banyak keturunan Walisongo yang tidak tahu atau tidak peduli dengan nasabnya, namun banyak juga dari mereka yang memang suka dengan ilmu nasab, sehingga setiap generasi ada saja yang fokus mempelajari dan menyimpan catatan nasab mereka.
Jadi, selama tidak ada Naqabah, keabsahan nasab Baalawi ditentukan oleh munshib, sebagaimana keabsahan nasab keluarga Walisongo ditentukan oleh para ahli nasab di keluarga masing-masing. Sekarang kita cari tahu tentang siapa dan bagaimana munshib-munshib Baalawi di Hadhramaut itu.
Pada zaman Habib Abdullah Al-Haddad, beliau menilai para munshib yang ada ketika itu sebagai orang-orang yang tidak baik. Beliau pun memarahi mereka dengan berkata: “Mereka (para munshib itu) adalah orang-orang yang hanya mengandalkan nama leluhur mereka saja, tanpa berbekal ilmu dan istiqamah seperti leluhur mereka.” (Al-Istizadah, hlm. 79).
Artinya, ada suatu masa dimana sudah jelas keluarga-keluarga Baalawi di Yaman itu dipimpin oleh munshib-munshib yang tidak berilmu dan tidak istiqamah, dan munshib-munshib itulah yang memegang catatan nasab mereka.
Sekarang, bandingkan dengan nasab sebagian keluaraga keturunan Walisongo yang sejak awal dipegang oleh para kiai. Baalawi Indonesia bisa saja mengklaim nasab mereka yang paling shahih di hadapan pribumi yang tidak tahu sejarahnya.
Sekarang, coba umat Islam Indonesia berpikir jernih, mana yang lebih layak dipercaya antara catatan nasab yang dipegang oleh para kiai dan yang dipegang oleh para munshib yang –kata Imam Haddad– tidak berilmu dan tidak istiqomah itu? Artinya, kalau mau nurutin suudzon, nasab Baalawi juga banyak celah untuk dipermasalahkan.
JADI SUDAH JELAS JIKA APA YANG DI PAPARKAN OLEH :Dr. KH. Ahmad Fahrurrozi ITU MASIH BLUNDER BAHASANYA DAN JAUH DARI TEMA SEJARAH NASAB YANG SEZAMAN
~~~ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ~~~



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *