SYEIKH ABDUL QADIR JAILANI dan KETURUNANNYA di NUSANTARA

Syeikh Abdul Qadir al Jailani atau dikenal juga sebagai Sayyid Abdul Qadir dilahirkan di Naif, di kawasan daerah Jailan, Persia. Ia dilahirkan pada bulan Ramadhan 470 H, kurang lebih bertepatan dengan tahun 1077 M. Ayahnya bernama Abi Shalih Abd Allah Janki Dusti, seorang yang taat kepada Allah dan mempunyai garis keturunan dengan Hasan RA. Ibunya adalah Umm al-Khayr Fatimah binti Abi Abd Allah al-Sawma’i yang bergaris keturunan dengan Husain RA.

Sejak bayi calon sufi ini sudah memiliki keunikan tersendiri. Menurut penuturan ibunya, bayi Abdul Qadir selama bulan suci Ramadhan tidak pernah menyusu pada siang hari. Ia baru menyusu bila waktu maghrib telah tiba.

Tumbuh dan menetap di kota kelahirannya hingga berusia delapan belas tahun, ia kemudian menimba ilmu di Baghdad dan menetap di kota ini hingga wafat. Selanjutnya Jailani menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nama atau jati diri tokoh sufi ini, yakni Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani.

RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan agama yang pertama digoreskan pada diri syeikh sufi ini adalah kecintaan pada Al-Qur’an. Belajar membaca Al-Qur’an dan mendalami kandungannya pada Abu al-Wafa Ali ibn Aqli dan Abu al-Khattab Mahfuz al-Kalwadzani. Kedua ulama ini berasal dari kalangan Mazhab Hambali.

Syeikh Abdul Qadir Jailani mempelajari hadits Nabi dari beberapa ulama hadits terkenal pada zamannya. Salah satunya adalah Abu Ghalib Muhammad ibn al-Hasan al-Balaqalani. Adapun pendalaman ilmu fiqihnya dilakukan pada ulama fiqih Mazhab Hambali, seperti Abu Sa’d al-Mukharrami. Sedangkan bidang bahasa dan sastra dipelajari dari Abu Zakarya ibn Ali al-Tibrizi. Sementara itu, di bidang tasawuf diambilnya dari Hammad al-Dabbas.

Syeikh Abdul Qadir mulai memimpin majelis ilmu di Madrasah Abu Sa’d al-Mukharrami di Baghdad sejak Syawal 521 H. Sejak itu namanya harum sebagai seorang sufi yang zuhud. Majelis yang diselenggarakan di madrasah ini penuh sesak dengan pengunjung yang haus mencari ilmu dan pencerahan ruhani.

Madrasah itu pun diperluas, namun tetap tidak dapat menampung hadirin. Akhirnya majelis atau forum ilmiah itu diadakan di beberapa masjid di luar kota Baghdad. Setiap Syeikh datang memberikan nasihat, yang hadir bisa mencapai tujuh puluh ribu orang. Beliau menjadi sufi yang menyejukkan umat dan menjadi sumber mata air ruhani yang terus memancarkan kehidupan batin.

Murid-murid Syeikh dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan.

Pertama, mereka yang hanya datang untuk mengikuti forum pengajian yang dibimbingnya. Golongan ini tidak terus-menerus hidup bersama Syeikh.

Kedua, mereka yang hidup bersama Syeikh dalam waktu yang cukup lama. Golongan ini menjalani kehidupan intelektual dan keruhanian di bawah bimbingan Syeikh.

Syeikh mendapat beberapa gelar kehormatan. Pertama, di belakang namanya sering dilengkapi dengan sebutan Muhyl al-Din wa al-Sunnah. Sebutan ini secara bahasa berarti tokoh yang menghidupkan agama dan Sunnah Nabi. Melekat dengan gelar tersebut beliau juga mendapat gelar kehormatan Mumit al-Bid’ah, yakni tokoh yang gigih menghapuskan bid’ah atau penyimpangan di dalam agama dari berbagai perbuatan yang tidak sejalan dengan Sunnah Nabi.

Syeikh juga mendapat gelar kehormatan al-Imam al-Zahid, pemimpin yang bersikap zuhud dalam kehidupan dunia. Gelar ini mencerminkan reputasinya sebagai tokoh sufi yang memandang dunia dan kehidupan ini sebagai modal untuk meningkatkan kualitas ruhani, meraih nilai keabadian, dan mendapatkan kehidupan ukhrawi.

Dunia bukan tujuan pokok dalam hidup, bukan ujung dalam perjalanan dan bukan pula segalanya. Syeikh berkata, “layanilah Tuhanmu dengan sepenuh hati, maka dunia akan melayanimu.”

Syeikh juga sering dipanggil dengan gelar kehormatan al-Arif al-Qudwah. Secara bahasa gelar ini berarti seorang yang patut menjadi teladan. Gelar ini mencerminkan tingkat kesufian Syeikh yang sudah mencapai maqam Arif bi Allah, yakni posisi sangat mengenal Tuhannya. Syeikh juga mendapatkan gelar kehormatan Sultan al-Awliya’, pemimpin para wali.

ANAK KETURUNAN

Sebelum tahun 521 H, atau sebelum beliau berusia 51 tahun, beliau belum menampakkan dirinya kepada khalayak ramai dan tidak perpikir untuk menikah, karena menurutnya berkeluarga akan menghambat seseorang dalam perjalanan menuju Allah.

Setelah berusia 51 tahun beliau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW menikah dengan empat orang wanita yang baik dan taat kepadanya.

Menurut Syekh Yunus al-Samarrai, Syekh Abdul Qadir al Jailani dikaruniai Allah 27 anak laki-laki dan 22 anak perempuan, namun yang kemudian diketahui meneruskan keturunan sebanyak 13 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.

Anak perempuan satu-satunya Syekh Abdul Qadir al Jailani bernama Syarifah Fatimah, yang dikemudian hari menikah dengan anak dari Syekh Abdul Rahman al Tafsunji Al Asadi.

Adapun ke-13 anak laki-laki Syekh Abdul Qadir al Jailani adalah:

01. Syekh Abdullah

02. Syekh Abdul Wahab

03. Syekh Abdul Razzaq

04. Syekh Abdul Aziz

05. Syekh Abdul Jabbar

06. Syekh Ibrahim

07. Syekh Muhammad

08. Syekh Abdul Rahman

09. Syekh Issa

10. Syekh Musa

11. Syekh Shaleh

12. Syekh Abdul Ghani

13. Syekh Yahya

Setelah Wali Allah ini tutup usia pada 10 Rabiul Akhir 561 H dalam usia 91 tahun, anak-anak dan murid-muridnya mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menanamkan ruh ke-Islaman yang sejati dan membetulkan ajaran-ajaran Islam di tengahtengah umat manusia. Organisasi ini disebut ‘Thariqah Qadiriyyah’, yang hingga hari ini terkenal dengan keteguhannya di dalam memegang syariat Islam.

Thariqah inipun telah memberikan andil yang besar kepada Islam. Ada tiga ajaran dan nasehatnya yang terkenal di seluruh dunia, yang paling agung adalah Futuhul Ghaib, yang kedua Fathul Rabbani, yaitu kumpulan enam puluh delapan ajaran yang disusun pada 545 – 546 H. Sedangkan, yang ketiga adalah qashidah atau puisi yang menceritakan peranan dan keberadaan Aulia Allah, yang menurut istilah sufisme dinamakan Qasidatul Ghautsiyyah.

ZURIAT KETURUNAN SYEKH ABDUL QADIR al JAILANI di NUSANTARA

1. Salah satu tokoh yang terkemuka dan merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Nusantara adalah Syarif Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri.

Melalui Pusat Pendidikan Giri Kedaton yang didirikannya, Sunan Giri memiliki pengaruh yang sangat besar pada perkembangan Islam di abad ke 15-17 Masehi di Nusantara.

2. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Fattah yang ber-ibu Nyai Ratna Su Ban Ci binti Syarif Abdullah bin Syekh Quro al Qadiri al Hasani.

3. Kesultanan Palembang didirikan oleh Sultan Abdul Rahman yang merupakan zuriat Sunan Giri bin Pangeran Wali Lanang bin Maulana Abu Ishaq al Qadiri al Hasani.

Dalam versi yang lain, Kesultanan Palembang berasal dari zuriat Suhunan Cirebon bin Syekh Suta Maharaja bin Maulana Abu Ishaq al Qadiri al Hasani.

4. Kesultanan Jambi didirikan Sultan Abdul Kadir yang merupakan zuriat Datuk Paduka Berhalo bin Syarif Ismail Pulau Besar al Qadiri al Hasani.

5. Kerajaan Atas Angin yang dipimpin oleh Syarif Abdurrahman bin Abdullah bin Zainal Abidin bin Zainal Alim bin Syarif Muhammad Yusuf as Siddiq Champa al Qadiri al Hasani.

Kerajaan Atas Angin diperkirakan berada di pesisir barat Sumatera. Sebagian pemerhati sejarah menyebutnya sebagai Negeri Minangkabau Timur.

6. Kesultanan Banten dan Cirebon yang berasal dari Nyai Subang Larang binti Syekh Quro al Qadiri al Hasani. Dimana Nyai Subang Larang menikah dengan Prabu Siliwangi, yang melahirkan Nyai Rara Santan.

Nyai Rara Santan adalah ibu dari Syarif Hidayatullah leluhur Kesultanan Benten dan Cirebon.

Namun versi lain mengatakan Nyai Subang Larang adalah anak angkat Syekh Quro, sehingga jalur keturunan Syekh Abdul Qadir al Jailani berasal dari Nyai Ratna Su Ban Ci binti Syarif Abdullah bin Syekh Quro al Qadiri al Hasani.

Nyai Ratna Subanci melalui cucunya yakni Ratu Ayu Kirana binti Raden Fattah menikah dengan Sultan Banten Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah, yang menurunkan penguasa Kesultanan Banten.

Sementara cucunya yang lain yakni Ratu Ayu Wulan binti Raden Fattah menikah dengan Pangeran Pasarean bin Syarif Hidayatullah, yang menurunkan penguasa Kesultanan Cirebon.

7. Di kalangan keluarga pondok pesantren terutama yang berada di Pulau Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat banyak yang tercatat sebagai keturunan Syarif Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Demikian halnya, para ulama di pulau Sumatera, Semenanjung (Malaysia), Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku, berdasarkan kepada kisah-kisah lama, disinyalir banyak yang berasal dari zuriat keturunan Syaikh Abdul Qadir al Jailani.

Sumber:

1. Syaikh Abdul Qadir Jailani, Kunci Tasawuf Menyingkap Rahasia Kegaiban Hati (Terjemahan dari buku asli Futuhul Ghaib), Penerbit Husaini, Bandung (1985)

2. Tim UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Penerbit Angkasa, Bandung (2008)

 

Ada beberapa referensi lainnya.

WaLlahu a’lamu bishshawab




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *