HABIB AHMED AL KAF, WASIT BADUT DARI KLAN BA’ALWI

HABIB AHMED AL KAF, WASIT BADUT DARI KLAN BA’ALWI

“Sinar harapan padam saat kecurangan menguasai panggung kehidupan.”

(Orpa Okowali, Gen-Z Papua Indonesia)

Oleh : KRAT. Faqih Wirahadiningrat

DAFTAR KEJAHATAN HABAIB

Di puncak kejengkelan dan kemarahan seluruh warga Nusantara akibat kejahatan para oknum Habaib, kembali seorang Habib menorehkan lukanya di Nusantara. Segala kejahatan itu dapat terekam dengan baik diantaranya :

– KAPITALISASI AGAMA, yang berupa pendawiran massif di segala tingkat kehidupan sosial. Istilah lainnya adalah menggunakan agama demi keuntungan materil dan komersil. Baik itu dilakukan melalui mimbar ceramah agama ataupun mendatangi setiap rumah. Dimana kesemuanya berujung penipuan dan pemerasan kepada masyarakat.

– PENJAJAHAN SPIRITUAL dengan glorifikasi sesat sebagai cucu Nabi yang ternyata gagal dari seluruh kajian Sejarah, Pustaka dan Genetika.

– PENGKULTUSAN NASAB yang berupa dongeng-dongeng karomah dari  datuknya yang jelas telah menabrak syariat dan menyesatkan.

– PEMBELOKAN SEJARAH yang berwujud mengklaim sejarah bangsa dan pemalsuan makam leluhur Nusantara.

– Belum lagi akar kesejarahan mereka yang merupakan HASIL REKAYASA KOLONIAL, dimana didatangkan oleh Penjajah Belanda dan sekaligus menjadi anteknya. Dan kenyataan ini sangat sulit dibantah karena merupakan fakta sejarah.

– MELANGGENGKAN RASISME. Hingga di era kekinian mereka masih mempertahankan politik rasisnya. Dengan merasa derajatnya lebih tinggi dari pribumi Nusantara yang selama ini telah begitu baik kepada mereka.

– KEJAHATAN ASUSILA. Rasisme ini juga menjalar kepada aturan kafaah pernikahan, dan kejahatan seksual melalui pernikahan ilegal yang biasa mereka lakukan dan sudah menjadi rahasia umum di hampir seluruh pelosok negeri. Belum lagi ditambahi dengan kasus-kasus asusila baik itu kepada santriwati maupun jamaahnya sendiri, sekalipun itu sudah bersuami.

– KEJAHATAN KEBANGSAAN. Dan yang terakhir merupakan kejahatan yang harus ditindak oleh negara karena mendukung faham yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Seperti faham Khilafah ala Londoniyah, mendukung teroris ISIS dan mengancam aparatur negara, menghina Pancasila, menghina kepala negara, menghina simbol-simbol budaya kedaerahan, bahkan melakukan gerakan anarkis dan radikalis yang berujung dilarangnya organisasi mereka yaitu FPI. Jangan lupa di masa silam mereka mencoba menghapus sejarah bangsa dengan mengebom Borobudur dan merusak situs Batutulis di Bogor.

– MENYUSUP KE ORMAS DAN ORPOL. Adalah wajar untuk berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara, karena itu bagian dari hak asasi. Namun patut diwaspadai seandainya itu dilakukan untuk menebar racun dan mengadu domba, kemudian mereka menjadi benalu dan membelokkan sejarah. Contoh nyata itu dilakukan kepada ormas Islam terbesar yaitu Nahdhatul Ulama, dimana sejarahnya sudah dibelokkan oleh oknum Habib, bahkan organisasi thoriqoh yang diisi kaum Sufi telah coba dibajak untuk melanggengkan dirinya menduduki posisi strategis di level kenegaraan, misal menjadi Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Sedangkan kejahatan di Organisasi Politik juga sama bahayanya apabila lengah dan tidak diwaspadai. Cukuplah tragedi G30S dimana pucuk pimpinan PKI diketuai oleh oknum Habib yang seketika mengobarkan pemberontakan sadis dan berdarah di Nusantara. Tidak saja 6 Jenderal, ribuan Kyai dan Santri yang menjadi korban, namun upaya balas dendam mengakibatkan traumatik kebangsaan. Dengan dibantainya ratusan ribu massa PKI yang mayoritas sebenarnya tidak tahu apa-apa dan harus menjadi korbannya.

Hal ini nyaris sama dengan Revolusi Bolshevik di Rusia, namun bedanya Stalin sukses, namun Ahmad Al Aidit gagal.

Just info : Stalin dan Klan Ba’alwi sama kode genetiknya G-PF3296, alias kode genetik Yahudi Askhenazi Khazar.

PEMERSATU BANGSA ITU BERNAMA SEPAKBOLA

Tidak ada olahraga yang paling populer melebihi sepakbola. Sebagai sebuah industri olahraga mereka sukses melahirkan banyak cerita. Dari legenda bola macam Pele, Maradona dan Zidane. Hingga komersialisasi raksasa akibat penggemarnya yang berjumlah miliaran manusia di muka bumi. Semua brand produk bila ingin menjadi global maka sponsorilah sepakbola. Karena itulah harga transfer seorang pemainnya sudah menembus angka triliun rupiah. Gaji mereka juga mencapai triliun rupiah per tahunnya. Browsing saja apa yang terjadi pada Ronaldo, Messi ataupun Neymar.

Pendek kata kini SEPAKBOLA adalah tren, magnet, gaya hidup, gairah, penyemangat dan harapan dari semua bangsa.

Sepakbola juga menjadi cerita banyak tragedi dan cerita sedih di dalamnya. Bagaimana tragedi yang mengakibatkan kematian orang akibat kekalahan pendukungnya. Tidak saja terjadi kepada klub sekelas Liverpool Inggris hingga kepada Arema Malang di Indonesia. Dan seketika dunia ikut berduka karenanya. Atau bagaimana seorang Andres Escobar yang harus dibunuh Kartel Narkoba Kolombia karena mencetak gol bunuh diri bagi negaranya di Piala Dunia 1994. Gol bunuh diri tersebut berujung harus tersingkirnya Kolombia, dan tewasnya Escobar 6 hari setelahnya.

Dan masih banyak serangkaian tragedi lainnya yang tidak mungkin diulas tuntas dalam tulisan ini.

Sementara itu bagi Indonesia, Sepakbola jangan ditanyakan lagi kepopuleran dan kefanatikannya.

2 kata kunci POPULER DAN FANATIK !!!

Populer, karena kompetisinya begitu dinamis dengan menjangkau seluruh propinsi hingga kabupaten di seluruh pelosok Nusantara. Baik itu kompetisi resmi maupun Gala Desa dan Tarkam (liga antar desa dan antar kampung).

Fanatik, karena melahirkan kelompok-kelompok suporter atau pendukung yang membelanya dengan totalitas dan ideologis. Semua orang tahu bagaimana fanatiknya BONEK Persebaya, atau SINGO EDAN Aremania di Jawa Timur. Bagaimana pula PASOPATI Persis Solo, atau PANSER BIRU PSIS Semarang, atau rivalitas antara JAKMANIA Persija dan VIKING Persib Bandung. Begitu juga dengan kota-kota lainnya di Indonesia seperti Medan, Makassar dan Jayapura yang selama ini terkenal memiliki basis pendukung militan dan legendaris.

Gesekan antar suporter yang masih sering terjadi ikut menjadi persoalan serius bagi aparat hingga era kekinian. Kecintaan kepada klub secara chauvinisme kedaerahan, membuat para suporter seolah menjadi pasukan ‘berani mati’ dalam menyuarakan dukungannya. Dan kenyataannya memang demikian.Tidak perlu diulas dan ditengok kembali ke belakang, terkait berapa korban jiwa para suporter dalam kesejarahan sepakbola Indonesia.

Namun ada hal yang patut menjadi kebanggaan bersama sebagai sebuah bangsa. Yaitu ketika mereka harus menyuarakan dukungan kepada Tim Nasional Indonesia. Seketika segala sekat dan ego kedaerahan langsung lebur dan bersatu. Dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika, para suporter Indonesia menunjukkan apa itu arti persatuan dan kesatuan. Mereka seolah menjadi tauladan dari apa yang dinamakan CINTA TANAH AIR dan MENJAGA HARGA DIRI KEBANGSAAN. Suporter Indonesia selalu hadir dimanapun dengan semangat tinggi baik itu ketika main tandang apalagi kandang. Dan menunjukkan apa itu arti KESETIAAN, baik ketika sedang terpuruk dan ketika sedang menanjak.

Bagi para suporter Indonesia, kalah atau menang, baik atau buruk, Timnas adalah wujud kecintaan kepada bangsanya. Ketika mereka saling bertemu di stadion atau di acara ‘nobar’, seketika seperti menemukan saudaranya yang hilang ribuan tahun lamanya akibat terpisah oleh ribuan pulau dan lautan.

Indah sekali bukan?!?

TIMNAS HARAPAN BANGSA

Walaupun memiliki kompetisi yang dinamis dan berjalan dengan rutin tahunan, di segala tingkatan wilayah maupun kelompok umur, namun prestasi Timnas tidak juga kunjung membaik. Kendala nyata adalah sistem pembinaan yang kurang profesional, jaminan kesejahteraan yang kurang, hingga selama ini banyak didera kasus yang memalukan. Dari indikasi kuat banyaknya kasus mafia wasit, judi olahraga, sanksi yang tidak tegas dan aturan yang bisa ditawar, hingga menjadikan sepakbola sebagai komoditas politik. Padahal kita selalu melahirkan bibit yang tidak kalah bagusnya dengan negara-negara pusatnya sepakbola sana. Contoh nyata, dalam program Primavera pada tahun 1993-1994, dimana PSSI mengirimkan tim yunior untuk berkompetisi di Italia. Pada tahun itu seorang Kurniawan Dwi Yulianto, salah seorang stiker legendaris kita mampu bersaing dengan Alessandro Del Piero yang kelak akhirnya menjadi legenda bagi Juventus dan Timnas Italia.

Namun mengapa kisah indah itu tdk bisa berlanjut?

Mengapa bibit-bibit yang hebat itu seolah layu sebelum berkembang dan redup sebelum bersinar?

Semua tidak lain karena “SEBAIK APAPUN BIBIT UNGGUL BILA DITANAM PADA TANAH YANG BERACUN MAKA DIA TIDAK AKAN TUMBUH DENGAN BAIK DAN PRODUKTIF !”

Iklim dan organisasi sepakbola di dalam negeri yang carut-marut telah menghancurkan harapan bangsa. Bibit-bibit terbaik putra bangsa akhirnya nelangsa dan binasa di tengah keriuhan gelora sepakbola dunia. Akhirnya, jangankan berbicara di kelas Dunia, di kelas Asia saja kita remuk, dan semakin tragis di kelas Asia Tenggara hanya menjadi obat nyamuk !!!

Tragisnya bagi negara yang berpenduduk 270 juta dan memiliki ribuan klub sepakbola. Dengan kompetisi yang panjang jaraknya melebihi benua Eropa ternyata sulit mencari 11 pemain kelas dunia.

(Bila Persiraja Banda Aceh bertandang ke Persipura Jayapura, itu lebih panjang 2x dibanding jarak dari London Inggris di Eropa Barat ke Moskow Rusia yang ada di Eropa Timur).

Mengetahui hal tersebut akhirnya dilakukan apa yang dinamakan program NATURALISASI. Yaitu merekrut pemain manca yang sudah jadi. Mereka adalah para pemain hebat yang tersebar di banyak liga elit dunia untuk pindah kewarganegaraan Indonesia. Tujuannya agar mereka bisa memperkuat TIMNAS INDONESIA. Program ini memang dibilang ‘potong-kompas’ demi membuat Timnas Indonesia secara instan mampu berbicara di pentas dunia. Tapi memang kenyataannya itu legal dan syah di dalam peraturan FIFA sebagai organisasi Sepakbola Dunia.

Ketika Perancis menjadi juara dunia tahun 1998, mayoritas diisi pemain keturunan dari bekas negara jajahannya Afrika. Termasuk pemain terbaik dunia di jamannya, Zinedine Zidane yang keturunan Aljazair.

Begitu juga Italia dan Jerman yang juara dunia 4x saja tidak alergi menaturalisasi Mauro Camoranesi yang kelahiran Argentina atau Lukas Podolski yang kelahiran Polandia.

Naturalisasi secara garis besar bisa dilakukan dengan syarat sebagai berikut :

Telah berganti paspor dari negeri asal menjadi WNI yang berpaspor Indonesia.

Pergantian WNI bisa dilakukan dengan kriteria telah tinggal secara berturut-turut selama 5 tahun atau tidak berturut-turut selama 10 tahun di Indonesia. Lebih kuat lagi apabila telah menikah dan atau berketurunan dengan WNI.

Contoh dari proses nomer 1 dan 2 diatas adalah pada pemain Timnas asal Uruguay, Christian Gonzales yang telah bermain di Liga Indonesia lebih dari 10 musim kompetisi dan menikahi perempuan Indonesia.

Memiliki pertalian darah dengan orang Indonesia maksimal 2 tingkat ke atasnya yaitu kakek atau neneknya baik itu dari garis ayah atau ibunya.

Kelahiran Indonesia, walau tidak memiliki pertalian darah. Misal orang tuanya sedang berlibur dalam keadaan hamil lalu melahirkan di Indonesia, si jabang bayi ini kelak memiliki hak istimewa untuk mengajukan diri menjadi Warga Negara Indonesia.

Belum pernah bermain di level senior dan di pertandingan resmi bagi negara sebelumnya.

Pada kasus nomer 3 hingga 5 ini sekarang dilakukan dengan massif oleh Ketua PSSI Erick Thohir pada mayoritas pemain Timnas saat ini. Yaitu dari Kiper Martin Paes, bek Jay Idzes, playmaker Tom Haye, hingga striker Rafael Struick, dan masih banyak yang lainnya lagi baik yang sudah atau masih mengantri ingin dinaturalisasi.

Naturalisasi ini membuat parameter yang sangat jelas. Bahwa terpilih menjadi pemain Timnas bagi negara sebesar dan seindah Indonesia adalah suatu kebanggaan luar biasa. Apalagi ditambah dengan suporter fanatiknya yang militan dan selalu lantang, tentunya menjadi pemompa semangat yang tak terlupakan sepanjang hidupnya.

Dan dari parameter diatas dapat memicu multi efek yang besar. Yaitu terpacunya pemain lokal untuk bersaing dan sekaligus mendapatkan ilmu dari saudara barunya para pemain naturalisasi tersebut. Persaingan dan ilmu adalah pengalaman berharga bagi pemacu kebangkitan.

Efek lainnya adalah gairah dan harapan yang besar bagi seluruh bangsa dan terkhusus bagi jutaan suporter fanatiknya. Semua demi harga diri bangsa dan kesempatan melihat Timnasnya mampu berlaga di pentas yang lebih tinggi.

Kini kita tidak lagi melirik pentas AFF (Asia Tenggara) dan AFC (Asia) semata, tapi kita telah menatap dengan optimis pada level Piala Dunia !

WASIT BADUT DARI OMAN

Begitulah akhirnya, dengan tulang punggung pemain naturalisasi tersebut akhirnya tampak jelas efek kejutnya.

Di level yunior Piala Asia Usia-23 tahun ini kita telah sampai di babak semifinal. Dimana sebelumnya mampu menyingkirkan Korea dan Australia sebagai salah satu macan sepakbola Asia.

Lalu di babak kualifikasi Piala Dunia 2026 ini telah sampai di babak grup utama Asia. Dimana dibagi menjadi 3 grup yang akan menentukan siapa 8 wakil Asia di Piala Dunia. Dan bisa bertambah 1 lagi bagi negara asia yang menjalani proses berliku di Play-Off berikutnya. (Tidak perlu dijelaskan secara rinci karena terlalu teknis).

Indonesia sendiri berada di grup yang cukup berat bersama Jepang, Australia, Saudi Arabia, Cina, dan Bahrain. Bayangkan ada 3 negara yang langganan Piala Dunia macam Jepang, Australia dan Saudi Arabia. Belum lagi Cina yang kompetisinya diisi banyak pemain kelas dunia karena mampu menggaji mereka sangat mahal akibat dampak kebangkitan ekonomi negaranya. Dan jangan lupakan Bahrain yang pernah mengalahkan kita dengan agregat 12-0 di kualifikasi Piala Dunia tahun 2014 !!!

Namun dengan segudang pemain Naturalisasi Grade A dari kompetisi kelas wahid dunia, semua kisah itu hanyalah masa lalu. Dimana dalam 2 pertandingan awal Timnas Indonesia mampu menahan Saudi 1-1 di kandangnya dan skor 0-0 dengan Australia di Jakarta. Ini suatu lonjakan kekuatan yang signifikan, dan bagaikan sudah lolos piala dunia saja rasanya.

Seketika membuncah harapan dan semangat yang menggelora, bahwa bukan lagi sebuah mimpi kita bisa melihat Timnas untuk pertama kalinya berlaga di Piala Dunia.

Dan pada akhirnya semua menjadi terasa sangat pahit manakala melihat pertandingan tadi malam di kandang Bahrain (10 Oktober 2024). Bahrain yang dulu tampak menakutkan dan sangat kuat, tiba-tiba menjadi tim ayam sayur di hadapan kita. Memang mereka unggul dulu di menit 15 melalui tendangan bebas yang spekulatif. Artinya bukan dibangun dari skema serangan yang baik tapi dari hasil kebaikan wasit yang sering memberi mereka hadiah tendangan bebas. Awalnya sih itu wajar karena mereka tuan rumah dan wasitnya juga orang Arab dari Oman. Bias tuan rumah dan sesama ras memang kadang mempengaruhi obyektifitas wasit.

Kemudian perlahan Timnas bangkit dan mengambil kendali serangan dengan rapi dan akhirnya mampu membalas 2 goal pada menit terakhir babak pertama dan menit ke 74. Keduanya diciptakan pemain naturalisasi Ragnar Oratmangoen dan Rafael Struick dengan sangat indahnya.

Dan hingga menit ke 89 kemenangan seolah di depan mata, dan 3 poin sudah dalam genggaman. Lalu dari ofisial pertandingan diumumkan ada tambahan selama 6 menit, dan ini masih lumrah akibat ada waktu efektif yang harus diganti pada babak normal. Namun apa yang terjadi, hingga menit ke 6 peluit tidak segera dibunyikan, seolah wasit terkena penyakit pikun atau amnesia. Dan petaka pun datang di menit ke 9, yang artinya wasit melakukan pelanggaran dengan melakukan kecurangan dengan memperlama waktu pertandingan. Semua orang tahu, dan setiap yang waras bisa melihat bahwa waktu memang telah melebihi ketentuan. Dengan tanpa adanya insiden apapun di lapangan yang menjadi alasan agar waktu ditambah kembali, maka jelas siapapun berhak protes bahkan marah.

Hingga akhirnya Bahrain mendapatkan tendangan penjuru, lalu terjadilah gol yang kontroversial di menit ke 9 tersebut. Sontak seluruh negeri tersentak, dan di lapangan pun para pemain dan ofisial Indonesia pada melayangkan protes yang berakibat dikartu-merahnya salah seorang ofisial Timnas. Namun wasit tak bergeming dan cuek-bebek seolah tak bersalah. Pada akhirnya semua harus berjiwa besar, lalu pertandingan pun dilanjutkan kembali. Tepat setelah pemain Indonesia menendang bola untuk memulai pertandingan lalu priiiittttttt…pertandingan pun usai.

Alamaaaak, panggung dagelan yang membagongkan dan menjengkelkan bagi seluruh persada Nusantara. WASIT BADUT dan PELAWAK KELAS BIAWAK.

Dan ironisnya setelah dicermati namanya malah lebih menjengkelkan lagi. Dia bernama AHMED AL KAF dari Oman. Dan Oman adalah negeri yang juga diakui Ba’alwi bahwa datuknya sebagai pembesar disana. Yaitu Muhammad Shohib Mirbat, artinya Muhammad yang menjadi penguasa atau tokoh besar di Mirbat. Padahal setelah diteliti ternyata itu palsu karena nama penguasa yang asli di kota Mirbat adalah Muhammad Al Akhal Al Manjawi. Dari marga Al Manjawi dan digelari Al Akhal karena selalu bercelak matanya.

(Lihat Kitab Al-Kamil fi Al-Tarikh 10/203, karya Ibnul Asir seorang pakar sejarah abad ke-7 yang menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari).

Entah ini berhubungan atau kebetulan. Seolah Tuhan Yang Maha Kuasa sedang memberi petunjuk bahwa kejahatan Klan Ba’alwi harus segera diberantas dan diakhiri di Nusantara. Tidak saja mereka yang ada di dalam negeri dengan segala tingkah arogansinya. Ternyata di Yaman yang mereka tidak berperan apapun secara peradaban telah dikatrol seolah menjadi ulama kelas wahid dan sekaligus tokoh muslim berpengaruh di dunia. Nyatanya membenahi Yaman saja tidak becus !!!

Dan kini Tuhan mengirimkan seorang Ba’alwi dari Oman untuk menggarami luka kepada jutaan suporter fanatik Indonesia. Yang dengan penuh harapan besar menanti terwujudnya suatu mimpi menjadi kenyataan. Yaitu tampil di Piala Dunia 2026 !!!

Mari kita ahiri kejahatan mereka di seluruh medan perjuangan dan di seluruh sudut kehidupan. Kesucian Nabi dan Kejayaan Bangsa sedang dipertaruhkan.

Rahayu Nusantaraku, Jayalah PSSI-ku !!!




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *