Membongkar Mitos Nasab Ba’alwi: Telaah Ilmiah atas 12 Pertanyaan Tesis KH Imaduddin Utsman al-Bantani yang Tidak Pernah Mampu Dijawab Oleh Robithoh Alawiyah

*Membongkar Mitos Nasab Ba’alwi: Telaah Ilmiah atas 12 Pertanyaan Tesis KH Imaduddin Utsman al-Bantani yang Tidak Pernah Mampu Dijawab Oleh Robithoh Alawiyah*

Penelitian yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantani telah mengajukan 12 pertanyaan kritis terkait klaim genealogis Klan Ba’alwi yang sampai saat ini belum mendapatkan jawaban resmi dari Robithoh Alawiyah, meski sudah lebih dari dua tahun sejak pertanyaan tersebut dikirimkan. Pertanyaan-pertanyaan ini mengungkap fondasi historis dari klaim bahwa Ba’alwi adalah keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Kajian ini bukanlah serangan, melainkan upaya untuk mendekonstruksi mitos yang telah lama dihapus tanpa dasar ilmiah yang kuat.

 

*1. Mengapa Ibnu Samrah (w. 586 H) dalam Kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman Tidak Menyebut Nama Ba’alawi yang Hidup di Zamannya?*

Ibnu Samrah adalah seorang ulama besar yang mendokumentasikan ulama-ulama terkemuka dari Yaman dalam kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman . Namun, meskipun banyak tokoh yang hidup sezaman dengannya, tidak ada satu pun nama dari keluarga Ba’alawi yang muncul dalam karya ini.

Ini adalah anomali sejarah yang sangat mencurigakan. Jika memang tokoh-tokoh Ba’alawi seperti yang diklaim merupakan ulama besar dan berpengaruh pada zamannya, maka seharusnya Ibnu Samrah mencatatnya, sebagaimana ia mencatat ulama-ulama lain. Ketidakhadiran nama mereka menimbulkan pertanyaan serius mengenai keabsahan keberadaan mereka sebagai tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam Yaman.

 

*2. Apakah Ali, Ayah Faqih al-Muqaddam, adalah Sosok Historis yang Ada di Tarim pada Tahun 575 Hijriyah?*

Pertanyaan ini mengarahkan kita pada pentingnya verifikasi historis. Ali, yang diklaim sebagai ayah Faqih al-Muqaddam, adalah tokoh sentral dalam silsilah Ba’alawi. Namun, apakah benar dia eksis dalam sejarah yang dapat dioperasikan pada tahun 575 H di Tarim?

Sayangnya, tidak ada dokumen sejarah yang mencatat keberadaan sosok ini di Tarim pada masa tersebut. Seorang tokoh sentral seperti Ali seharusnya tercatat dalam dokumen sejarah Tarim, mengingat betapa pentingnya klaim ini bagi legitimasi Ba’alawi sebagai keturunan Nabi. Ketiadaan bukti sejarah yang kuat menunjukkan kemungkinan bahwa tokoh ini merupakan figur mitologi yang sengaja diciptakan untuk mendukung klaim genealogis.

 

*3-7. Mengapa Alwi II, Muhammad, Alwi I, Ubaidillah Tidak Dicatat dalam Literatur Utama Ulama pada Zaman Mereka?*

Pertanyaan ketiga hingga ketujuh menelusuri garis keturunan Faqih al-Muqaddam ke belakang, yaitu Ali Khali Qosam, Alwi II, Muhammad, Alwi I, hingga Ubaidillah. Tak satu pun dari mereka tercatat dalam sastra mu’tabar, baik oleh Ibnu Samrah maupun ulama lainnya. Hal ini sangat mengecewakan bagi sebuah klaim keturunan mulia seperti yang disampaikan Ba’alawi.

Gregor Schoeler , seorang filolog terkemuka, menekankan pentingnya dokumentasi sejarah dalam memahami otoritas sebuah klaim. Absennya nama-nama ini di dalam karya para ulama sezaman menunjukkan bahwa tokoh-tokoh tersebut kemungkinan besar tidak pernah ada atau setidaknya tidak berperan signifikan sebagaimana yang diklaim. Dalam tradisi Islam, ulama besar atau tokoh penting biasanya sangat terdokumentasi, apalagi yang diklaim sebagai ahli hadits atau pembawa mazhab, seperti yang diklaim terhadap Muhammad Sohib Mirbat.

 

*8-9. Mengapa Muhammad “Sohib Mirbat” Tidak Disebutkan dalam Sastra Ibnu Samrah, Padahal al-Qola’i Disebut?*

Muhammad “Sohib Mirbat” sering disebut sebagai guru dari Muhammad bin Ali al-Qola’i, ulama terkemuka yang wafat tahun 577 H. Namun, anehnya, Ibnu Samrah menyebut al-Qola’i tetapi tidak menyebut nama Sohib Mirbat. Jika Sohib Mirbat adalah guru dari al-Qola’i, maka seharusnya nama beliau juga disebut dalam sumber yang sama.

Hal ini menimbulkan dampak buruk bahwa klaim Sohib Mirbat sebagai guru dari al-Qola’i adalah rekayasa yang muncul belakangan. Prof.Dr.Manachem Ali , seorang ahli filologi, menegaskan bahwa ketidaksesuaian kronologis dan ketidakhadirannya nama Sohib Mirbat dalam literatur mu’tabar menunjukkan bahwa narasi ini dibentuk oleh generasi-generasi Ba’alwi kemudian, untuk menambah legitimasi mereka.

 

*10. Apakah Muhammad “Sohib Mirbat” Adalah Guru al-Qola’i?*

Jika Muhammad Sohib Mirbat benar adalah guru dari al-Qola’i, maka bukti dokumentasi sejarah sangat dibutuhkan. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim ini, selain narasi internal Ba’alwi. Sama seperti disinggung di atas, tidak adanya catatan tentang Sohib Mirbat dalam karya-karya sezamannya sangat mencurigakan. Selain itu, analisis filologis terhadap silsilah ini oleh Prof. Michael Cook menunjukkan bahwa ada kecenderungan penambahan tokoh fiktif dalam silsilah keluarga untuk memperkuat klaim status sosial.

 

*11. Bukankah Muhammad “Sohib Mirbat” Pembawa Mazhab Syafi’i ke Mirbat?*

Klaim bahwa Sohib Mirbat membawa mazhab Syafi’i ke Mirbat juga tidak didukung oleh bukti sejarah yang kuat. Seorang pembawa mazhab besar seperti itu seharusnya tercatat dalam sejarah perkembangan mazhab Syafi’i, namun namanya tidak muncul di dalam kitab-kitab utama sejarah fiqih Syafi’i. Norman Calder , pakar sejarah fiqih Islam, menunjukkan bahwa pengenalan mazhab Syafi’i ke daerah Hadramaut kemungkinan dilakukan oleh para ulama lokal yang sudah tercatat secara jelas dalam sejarah.

 

*12. Apakah Nama Muhammad Sohib Mirbat Disebutkan dalam Kitab Sejarah Sebelum Abad ke-9 H?*

Pertanyaan ini adalah inti dari keseluruhan investigasi. Jika Muhammad Sohib Mirbat adalah tokoh yang penting dalam sejarah Islam, seharusnya nama dia muncul dalam literatur sejarah yang ditulis sebelum abad ke-9 H oleh sejarawan yang bukan bagian dari Ba’alwi. Namun, sejauh ini tidak ada catatan yang membuktikan keberadaannya dalam karya-karya sejarah yang diakui secara luas.

Apalagi ulama terkenal seperti Ibnu Khaldun tidak mencatat nama Sohib Mirbat dalam Muqaddimah ataupun dalam sejarah Islam yang beliau tulis. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa Sohib Mirbat adalah tokoh yang dikonstruksi belakangan oleh Ba’alwi untuk mendukung klaim keturunan mereka.

 

*Kesimpulan*

Ke-12 pertanyaan yang disampaikan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantani merupakan bagian dari upaya ilmiah untuk menguji validitas klaim nasab Klan Ba’alwi. Hingga saat ini, Robithoh Alawiyah belum mampu memberikan jawaban yang mumpuni. Dari sudut pandang sejarah, filologi, dan kajian ilmu nasab, klaim Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW sangat lemah, bahkan tidak memiliki dasar yang kokoh.

Kepada Klan Ba’alwi dan para pengikutnya, ini adalah momen untuk berpikir secara rasional dan ilmiah. Kebenaran sejarah harus didasarkan pada bukti dan verifikasi yang kuat, bukan pada mitos atau narasi yang direkayasa. Sebagai umat Islam, kita berkewajiban menjaga kemurnian sejarah dan tidak terjebak dalam klaim-klaim tanpa dasar.

Mari menggunakan akal sehat dan hati nurani, agar kita tidak terus-menerus terperdaya oleh klaim-klaim yang tidak terbukti kebenarannya.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *