“Jangan Biarkan Sejarah NU Dipalsukan! Kebenaran Harus Diungkap untuk Menjaga Harga Diri Bangsa!”

*”Jangan Biarkan Sejarah NU Dipalsukan! Kebenaran Harus Diungkap untuk Menjaga Harga Diri Bangsa!”*

Buku : CAHAYA DARI  NUSANTARA, berisi sejarah palsu NU (muncul dalam buku ini narasi palsu adanya nama baru yaitu habib Hasyim bin Yahya sebagai salah satu pendiri NU).

Dalam sejarah, pemalsuan fakta bukan hanya soal mengubah catatan, tapi soal mengubur kebenaran. Ketika kebenaran dikaburkan atau bahkan dimanipulasi, generasi berikutnya akan tumbuh dengan pemahaman sejarah yang salah, kehilangan harga diri, dan pada akhirnya kehilangan arah. Seperti yang terjadi dalam klaim sepihak bahwa Habib Hasyim bin Yahya, kakek Habib Luthfi bin Yahya, adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), tanpa adanya bukti-bukti yang kuat dan validasi sejarah yang diperlukan.

Berdasarkan Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) , dokumen resmi yang mendirikan NU pada 31 Januari 1926, tidak ada nama Habib Hasyim bin Yahya. Ini adalah bukti primer yang tak terbantahkan, sementara klaim yang menyatakan sebaliknya justru tak berdasar pada bukti historis yang dapat hak. Pemalsuan sejarah ini harus dipandang sebagai ancaman serius, karena sekali sejarah diubah, dampaknya akan sangat besar pada pemahaman generasi mendatang tentang asal-usul identitas mereka.

 

*Pemalsuan Sejarah: Ancaman bagi Harga Diri Bangsa*

Sejarah adalah fondasi dari identitas bangsa. Ketika sejarah dipalsukan, bukan hanya fakta yang hilang, tetapi juga harga diri generasi mendatang. Para ahli seperti Prof. Anhar Gonggong, menyebarkan Indonesia, menekankan pentingnya kebenaran dalam historiografi. Menurutnya, sejarah adalah cermin dari identitas bangsa, dan pemahaman sejarah akan menyebabkan bangsa tersebut kehilangan arah dan identitasnya. Dalam konteks NU, sejarahnya yang kaya akan perjuangan dan kontribusi para ulama pesantren yang sejati tidak dapat digantikan dengan narasi-narasi yang tidak berdasar.

Lebih lanjut Dr. Taufik Abdullah dalam bukunya Sejarah dan Historiografi: Perspektif Baru menjelaskan bahwa setiap upaya memalsukan sejarah tidak hanya merusak catatan masa lalu tetapi juga membentuk generasi baru yang buta sejarah. Mereka yang hidup dalam ketidakbenaran sejarah akan kehilangan pijakan, tidak mengenal pahlawan sejati mereka, dan pada akhirnya kehilangan kebanggaan terhadap identitas mereka.

 

*Klaim Sejarah yang Harus Diverifikasi*

Klaim bahwa Habib Hasyim bin Yahya adalah salah satu pendiri NU merupakan contoh bagaimana narasi sejarah bisa tercipta tanpa dasar yang jelas. Pernyataan ini hanya didasarkan pada sumber lisan bukti tanpa dokumenter yang memadai. Dalam historiografi, sebuah klaim sejarah yang tidak didukung oleh bukti primer, seperti dokumen resmi, surat kabar sezaman, atau memoar tokoh-tokoh yang terlibat langsung, harus ditanyakan. Terlebih lagi, dalam sejarah lisan, seperti yang dijelaskan oleh Jan Vansina dalam Oral Tradition as History , penting untuk memastikan bahwa sumber lisan tersebut berasal dari orang yang hidup sezaman dengan peristiwa yang diceritakan.

Salah satu tokoh yang sering disebut sebagai sumber lisan yang valid adalah KH As’ad Syamsul Arifin, yang hidup sezaman dengan para pendiri NU dan bahkan terlibat langsung dalam pendirian organisasi ini. Tetapi, bahkan dalam kasus sumber lisan ini, validitasnya tetap harus diuji melalui bukti-bukti tambahan seperti dokumen atau artefak sezaman. Tanpa verifikasi, klaim-klaim tersebut hanya menjadi spekulasi belaka.

 

*Dalil Agama: Kebenaran Harus Dijaga*

Dalam perspektif Islam, menjaga kebenaran adalah kewajiban. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

*”Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah kata yang benar.”*  (QS. Al-Ahzab : 70) .

Ayat ini mengajarkan pentingnya mengatakan benar dan menjaga kebenaran, termasuk dalam hal sejarah. Ketika kita menyebarkan atau mendukung klaim-klaim yang tidak terbukti, kita menyebarkan prinsip dasar Islam, yaitu kejujuran. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk selalu mengutamakan fakta dan bukti dalam menyusun sejarah.

Rasulullah SAW juga bersabda:

*“Tinggalkanlah apa yang meremehkanmu dan ambillah apa yang tidak meremehkanmu.”*  (HR. Tirmidzi) .

Hadis ini mengajarkan kepada kita untuk menghindari keraguan dan memilih jalan yang jelas dan pasti. Dalam hal ini, klaim yang tidak didasarkan pada bukti-bukti sejarah yang jelas harus ditinggalkan, dan kita harus memilih untuk mengikuti kebenaran yang terverifikasi.

 

*Menjaga Keaslian Sejarah NU*

Sejarah NU adalah warisan bangsa yang sangat berharga, dan kita bertanggung jawab menjaga keasliannya. NU didirikan oleh para ulama pesantren yang tulus, yang berjuang demi keutuhan umat dan bangsa. Kita tidak boleh membiarkan sejarah mereka diambil alih oleh narasi-narasi yang tidak terbukti.

Pemalsuan sejarah seperti ini tidak hanya merugikan NU, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Generasi muda yang tidak mengetahui sejarah yang benar akan tumbuh tanpa kebanggaan terhadap identitas mereka, dan hal ini bisa berdampak buruk pada masa depan bangsa. Oleh karena itu, penting untuk menekankan verifikasi sejarah, menghindari klaim-klaim yang tidak berdasar, dan menjaga kejujuran dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menulis sejarah.

 

*Kesimpulan: Jangan Biarkan Sejarah Dipalsukan*

Kita sebagai umat dan bangsa harus waspada terhadap upaya pemalsuan sejarah yang dapat merusak identitas kita. Klaim bahwa Habib Hasyim bin Yahya adalah salah satu pendiri NU harus dibuktikan dengan data sejarah yang kuat dan tidak boleh hanya berdasarkan sumber lisan yang belum valid. Pemalsuan sejarah akan menghilangkan kebenaran dan membawa kita ke generasi yang kehilangan harga diri.

Kita harus terus menjaga kejujuran dan kebenaran, sebagaimana diperintahkan oleh agama dan dituntut oleh ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam.

 




One thought on ““Jangan Biarkan Sejarah NU Dipalsukan! Kebenaran Harus Diungkap untuk Menjaga Harga Diri Bangsa!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *