Moderasi Agama dalam Perspektif Akidah, Syariat, dan Tasawuf: Penggabungan Substansi dan Simbolisme

*Moderasi Agama dalam Perspektif Akidah, Syariat, dan Tasawuf: Penggabungan Substansi dan Simbolisme*

 

*Pendahuluan*

Dalam ranah wacana Islam, sering kali muncul istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang digunakan untuk menandakan tradisi mainstream umat Islam. Namun hingga saat ini, definisi Aswaja yang komprehensif dan definitif belum disepakati secara epistemologis. Penyebutan Aswaja dalam sastra klasik dan pengajaran di pesantren lebih sering digunakan untuk penyederhanaan istilah demi kepraktisan. Meskipun demikian, konsep Aswaja masih sering dipersempit pada mazhab tertentu, baik dalam aspek akidah, syariat, maupun tasawuf, yang dapat mereduksi potensi makna yang lebih luas dari ajaran Islam yang universal.

 

*Akidah : Memahami Tauhid secara Mendalam*

Akidah Islam merupakan landasan dari keyakinan seorang muslim. Namun, sering kali penanaman akidah dilakukan secara formalitas belaka, seperti hanya menghafalkan sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz, tanpa diiringi dengan internalisasi keyakinan yang mendalam. Analoginya, seseorang yang hafal Pancasila belum tentu menjadi Pancasilais sejati jika ia tidak menghayati dan menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya. Hal ini juga terjadi pada beberapa orientalis atau sarjana Barat yang hafal Al-Qur’an, namun jantung kering dari keimanan.

Keyakinan terhadap kalimat la ilaha illallah harus melampaui sekadar hafalan. Kalimat tauhid ini merupakan inti dari akidah yang seharusnya meresap dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah, muamalah, maupun berpikir. Sebuah akidah yang hanya dihafalkan tanpa dihayati esensinya tidak akan mampu melahirkan muslim yang sejati. Terlebih lagi, seseorang yang tidak hafal 20 sifat Allah, namun menghayati dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, lebih baik dari yang hafal namun masih terjebak dalam kepentingan duniawi yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid.

 

*Syariat: Antara Taqlid dan Ijtihad*

Dalam konteks syariat, terdapat pendekatan yang berbeda dengan akidah. Jika akidah menolak taqlid, maka dalam syariat, taqlid atau justru diperlukan. Hukum-hukum agama dalam syariat dibangun berdasarkan kontinuitas silsilah ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Mengabaikan pendekatan taqlid dalam syariat akan menjerumuskan umat pada kebingungan, terutama bagi mereka yang awam, karena harus menggali hukum dari nol tanpa landasan yang kuat.

Sebaliknya, penggunaan taqlid tidak dapat diartikan secara harfiah tanpa sikap kritis. Dalam syariat, dikenal istilah “taqlid manhaji,” yaitu taqlid secara metodologis dan analitis, di mana seorang muslim tetap kritis dan kreatif dalam mengikuti madzhab, namun tetap mengacu pada prinsip-prinsip yang diajarkan oleh para ulama terdahulu. Para ulama besar seperti Imam Nawawi dan Imam Rofi’i, meskipun bermazhab Syafi’i, tetap mengembangkan metode ijtihad dalam kerangka madzhab tersebut, menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat fleksibel dan kontekstual.

Sejarah menunjukkan bahwa pengabaian terhadap taqlid manhaji, seperti yang terjadi di Andalusia, Spanyol, dapat menyebabkan punahnya peradaban Islam. Ketika umat Islam di Spanyol meninggalkan tradisi taqlid yang kritis, mereka jatuh ke tangan penguasa Castile dan Aragon, mulai meskipun sebelumnya Spanyol merupakan mercusuar peradaban di Eropa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya taqlid yang cerdas dan terarah dalam menjaga kesinambungan dan kemajuan peradaban Islam.

 

*Tasawuf: Antara Hakikat dan Simbolisme*

Tasawuf sering kali diidentikkan dengan tarekat, padahal keduanya tidak sepenuhnya sinonim. Banyak yang mengira bahwa hanya orang-orang yang mengikuti tarekat yang dapat bertasawuf, sementara yang tidak bertarekat dianggap tidak bertasawuf. Pandangan ini keliru karena hanya fokus pada aspek lahiriah dan simbol-simbol formalitas seperti jubah, sorban, atau sarung, tanpa memperhatikan kondisi batiniah.

Menurut Al-Ghazali, tasawuf sejatinya tidak terletak pada simbol-simbol fisik, melainkan pada penyempurnaan keruhanian manusia yang terdiri dari dua unsur, yaitu khalq (ciptaan materi) dan khuluq (akhlak yang bersifat immateri). Tujuan utama tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui jihad dan mujahadah, di mana jihad dapat berarti perjuangan lahiriah, sedangkan mujahadah adalah perjuangan batiniah yang berlangsung sepanjang hidup. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Tiadalah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak.” Kedekatan dengan Allah tidak dapat dicapai hanya dengan simbol-simbol materi, namun harus dengan jihad jiwa yang berkelanjutan.

 

*Kesimpulan*

Moderasi dalam Islam haruslah melibatkan penggabungan antara akidah, syariat, dan tasawuf yang dilakukan secara substansial, bukan hanya formalitas. Akidah harus dihayati dan diinternalisasikan dalam setiap aspek kehidupan, syariat harus dipahami melalui pendekatan kritis dan metodologis (taqlid manhaji), serta tasawuf harus dijalani dengan kesadaran akan kedekatan spiritual dengan Allah, bukan hanya melalui simbol-simbol fisik. Dengan demikian, ajaran Islam yang moderat dan komprehensif dapat terwujud, tidak hanya dalam wacana formal, tetapi juga dalam kehidupan nyata.

 

*Referensi:*

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin . Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
  2. Imam al-Nawawi. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab . Jeddah: Dar al-Minhaj, 2008.
  3. Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan . Jakarta: UI Pers, 1972.
  4. Michael Cook. Memerintahkan yang Benar dan Melarang yang Salah dalam Pemikiran Islam . Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
  5. Yusuf Al-Qaradawi. Fiqih Jihad: Sebuah Studi Komparatif tentang Putusan-putusannya Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah . Riyadh: International Islamic Publishing House, 2009.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *