*DIALOG DENGAN MUKIBIN KRONIS KABIB KLAN BA’ALWI*
(Didalam gurp Whatsapp)
*MKB*: Mukibin Kabib Ba’alwi
*SY*: Saya
*MKB* : “Tidak penting Kitab SEZAMAN, Dan Pokoknya saya Saya butuh ibarat, bukan kopasan semata…!!!”
*SY*: Penting sekali sumber sezaman dalam penelitian sejarah atau nasab, terutama dalam konteks akademis dan metodologis yang diakui oleh para ulama serta sejarawan.
Berikut beberapa argumen tambahan:
- Metodologi Ilmu Sejarah dan Hadis dalam Islam: Dalam disiplin ilmu hadis dan sejarah, salah satu metode penting untuk menilai keabsahan suatu riwayat adalah dengan memastikan kesinambungan sanad (silsilah perawi). Ketika meriwayatkan kisah atau silsilah, sanad yang muttasil (tersambung tanpa terputus) memiliki bobot yang lebih kuat dibandingkan riwayat yang bersumber dari generasi yang jauh. Hal ini adalah metode yang dikembangkan oleh para ulama hadis untuk menjaga keotentikan sejarah, terutama terkait Nabi Muhammad SAW.
- Contoh Kasus: Misalnya, ulama besar seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya memeriksa setiap perawi hadis dan berusaha memastikan riwayat tersebut datang dari sumber yang dekat dengan masa Nabi SAW. Jika ini diabaikan dalam penelitian sejarah Nabi, maka risiko pemalsuan atau kekeliruan akan semakin besar.
- Pendekatan yang Diakui dalam Studi Nasab oleh Para Ulama: Ilmuwan Islam seperti Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari, atau Ibn al-Athir dalam Al-Kamil fi al-Tarikh, sering kali merujuk kepada sumber sezaman atau riwayat yang kuat sanadnya ketika meneliti nasab atau sejarah Nabi. Hal ini menjadi bukti bahwa metode ilmiah menuntut bukti yang valid, terutama untuk menjaga akurasi informasi dalam masalah nasab Nabi.
- Pandangan Ulama Kontemporer: Ulama kontemporer dan ahli sejarah juga menekankan pentingnya bukti sezaman dalam meneliti nasab. Sebagai contoh, Syaikh Muhammad Abu Zahrah dan Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri menggunakan metode ini dalam menyusun sejarah Nabi dalam buku Ar-Raheeq Al-Makhtum, yang memenangkan penghargaan internasional. Keduanya menghindari riwayat yang jauh atau tidak memiliki dasar sezaman.
Jadi, untuk memastikan keakuratan sejarah nasab Nabi Muhammad SAW, kitab atau bukti sezaman merupakan elemen penting dalam pendekatan ilmiah yang diakui, bukan sekadar pilihan.
*MKB*: “Kepanjangan, saya perlu ibarat…!!!”
*SY*: Baik, Bayangkan jika kita ingin mengetahui kisah hidup seorang tokoh terkenal seperti presiden pertama di suatu negara. Tentu saja, kita akan lebih mempercayai informasi dari catatan sezaman, seperti koran, surat, atau buku yang ditulis oleh orang-orang yang hidup di masa itu atau bahkan melihat langsung peristiwa-peristiwa tersebut. Mengapa? Karena mereka menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala mereka sendiri atau mendapatkan informasi langsung dari sumber utama.
Sekarang, bandingkan ini dengan informasi yang kita dapatkan seribu tahun kemudian dari cerita yang beredar di masyarakat tanpa bukti tertulis atau saksi mata dari masa itu. Dalam rentang waktu ribuan tahun, cerita bisa berubah, dilebih-lebihkan, atau bahkan ditambah-tambahkan sehingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak.
Begitu juga dengan nasab atau sejarah Nabi Muhammad SAW: untuk memastikan keasliannya, kita memerlukan catatan yang berasal dari orang-orang yang hidup di masa beliau atau generasi tak jauh setelahnya. Jika kita mengandalkan sumber yang muncul ratusan tahun kemudian tanpa bukti dari generasi sezaman, ada risiko besar informasi itu telah tercampur dengan tambahan-tambahan yang tidak benar.
Dengan menggunakan sumber sezaman, kita menjaga agar informasi tetap asli dan menghindari kesalahan dalam memahami sejarah atau nasab beliau.
Selain itu, tokoh yang memiliki kedudukan penting, seperti seorang imam (IMAM UBDAILILLAH) atau apalagi keturunan Nabi Muhammad SAW, hampir pasti akan tercatat dalam sumber-sumber dari zamannya. Mengapa? Karena tokoh-tokoh seperti ini biasanya sangat dihormati, memiliki pengaruh luas dalam masyarakat, dan akan diabadikan dalam catatan resmi maupun lisan di generasi mereka.
Kehidupan seorang imam besar, pemimpin agama, atau keturunan Nabi SAW, tentu menjadi perhatian masyarakat dan dicatat oleh ahli sejarah, para ulama, atau penulis biografi sezaman. Jika seseorang benar-benar memiliki hubungan nasab dengan Nabi atau memainkan peran penting pada masanya, pastinya akan ada bukti dalam bentuk tulisan, silsilah, atau karya sezaman yang mendokumentasikan keberadaannya.
Jika kita tidak menemukan catatan semacam ini dari zaman tersebut, justru patut dipertanyakan apakah nasab atau klaim tersebut memiliki dasar yang sahih.
*MKB*: “Kitab se zaman, masuk dalam syarat mutlak dalam itsbat nasab…Atau cuman thuruq…?” Simple aja’.. Kalau ada ta’bir….Kitab sezaman menjadi syarat mutlak dalam itsbat nasab… Ok, saya Taslim…😀☕
*SY*: Jawabannya simpel: kitab sezaman bukan syarat mutlak, tapi jadi bagian dari metode atau “thuruq” yang kuat untuk itsbat nasab (penetapan garis keturunan). Kenapa begitu? Karena kitab sezaman itu ibarat bukti langsung dari masa itu, yang bisa bantu memastikan riwayat nasab nggak ngalor-ngidul atau ketambahan cerita yang nggak valid.
Jadi, keberadaan kitab sezaman ini penting banget buat validasi. Kalau ada, otomatis bikin bukti nasab jadi lebih kuat dan dipercaya. Tapi kalau nggak ada, kita butuh bukti-bukti kuat lainnya yang bisa jadi pengganti buat memastikan keabsahannya, misal dengan genetik yaitu TEST YDNA.
Faktanya, kalau kita lihat secara kitab sezaman, klaim nasab Klan Ba’alwi ini nggak punya bukti yang kuat atau terkonfirmasi. Maksudnya, nggak ada catatan sezaman yang bisa dipakai buat membuktikan bahwa mereka benar-benar punya garis keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Kalau benar keturunan langsung dari Nabi atau dari Bani Quraisy, mestinya ada bukti atau catatan dari masa itu, kan? Apalagi, keturunan nabi yang punya posisi tinggi pasti bakal dicatat dengan jelas dalam kitab-kitab zaman mereka.
Beralih ke bukti genetik, Klan Ba’alwi juga terbentur masalah yang sama. Berdasarkan penelitian DNA, mereka ternyata punya haplogroup G, yang berbeda dari haplogroup J1 yang ditemukan pada Bani Quraisy dan keturunan Nabi Muhammad SAW. Ahli genetika seperti Dr. Michael Hammer, seorang pakar genetika populasi dari Universitas Arizona, pernah menjelaskan kalau haplogroup J1 banyak ditemukan pada keturunan Arab asli, khususnya suku-suku besar seperti Bani Quraisy, tempat asal Nabi Muhammad SAW. Hal ini juga diperkuat dengan riset dari tim internasional seperti Dr. Y-DNA FTDNA Project yang menunjukkan bahwa haplogroup J1 jadi salah satu penanda kuat keturunan dari kawasan Arab sejak masa lampau.
Selain itu, Dr. Sugeng Sugiarto, ahli genetika asal Indonesia, juga mendukung analisis haplogroup dalam penelusuran garis keturunan. Menurutnya, untuk memastikan klaim nasab, haplogroup genetik bisa jadi salah satu cara ilmiah buat mengonfirmasi kebenarannya. Dengan kata lain, tanpa dukungan kitab sezaman dan hasil tes genetik yang sesuai, klaim Klan Ba’alwi tentang nasab mereka jadi lemah secara akademis dan ilmiah.
Jadi, kalau dilihat dari bukti sejarah maupun sains, klaim keturunan Klan Ba’alwi ini masih jauh dari yang bisa dibilang sahih.
*MKB*: Dari abad 9 sampai sekarang…Gak ada yang masalahkan nasab Ba’alawi… Kecuali qaul syadz dari ngimad Sam’un. Itupun cuma nuqil dari pendapat Syi’ah dan Wahabi.!!!! Tapi tim horenya pendukung pekok berat. 🤭
*SY*: Oke, gini ya: emang dulu mungkin nggak banyak yang masalahin nasab Ba’alawi, tapi kita harus paham juga kalau zaman dulu alat atau metode buat cek keaslian nasab itu masih terbatas banget. Baru belakangan ini, dengan adanya ilmu genetik dan bukti sejarah yang lebih kritis, kita bisa cross-check nasab dengan cara yang jauh lebih akurat.
Nah, sekarang masalahnya: bukti sejarah sezaman dari abad ke-9 itu nggak ada yang konkret buat dukung klaim nasab mereka. Terus, secara genetik pun hasilnya nggak sinkron dengan garis keturunan Nabi atau Bani Quraisy. Dulu mungkin nggak ada yang periksa karena nggak ada alatnya, tapi zaman sekarang udah beda cerita. Kalau kita punya metode yang lebih pasti buat nentuin nasab, kenapa nggak dipakai?
Dulu, kelakuan Klan Ba’alwi juga nggak mencurigakan—mereka kelihatannya baik-baik saja, jadi nggak ada yang kepikiran buat diteliti lebih jauh. Dan jangan lupa, meneliti nasab itu dulu ribet banget gan. Bayangin aja, orang harus pergi ke berbagai negara yang jaraknya jauh, jalan darat atau laut, nggak ada fasilitas seperti pesawat atau internet kayak sekarang. Jadi orang zaman dulu ya mungkin nerima aja apa yang diklaim karena ngeceknya butuh umur, waktu, dan biaya yang nggak sedikit.
Nah, sekarang sudah beda, kita punya teknologi DNA dan internet yang membuat akses data jauh lebih mudah dan cepat. Kalau ada cara untuk memastikan keaslian nasab dengan lebih pasti, nggak ada salahnya kita pakai, dong.
*MKB*: Koar2 semua orang di tantang debat.. Giliran debat resmi, malah elkaburi. 😀☕, Elkaburiy top madd. 🙃
*SY*: *ANTARA KH IMADUDDIN VS RABITAH ALAWIYAH… SIAPAKAH YG LEBIH LAYAK MENYANDANG GELAR “ALKABURI”???*
======
Untuk mengetahui jawaban terhadap pertanyaan dalam judul di atas, mari kita analisa bersama
Dalam hal polemik nasab, setelah Klan Ba’alwi sudah kehabisan hujjah untuk mempertahankan nasabnya sbg dzuriyah Nabi Muhammad Saw, sekarang yg ada tinggal membuat framing ngalor ngidul tidak tentu arah .
Salah satu framing yg sangat masif dan intens dihembuskan salah satunya adalah penyematan “AL-KABURI” terhadap KH Imaduddin Utsman Al-Bantani.
Melalui postingan ini saya mengajak para sedulur sekalian untuk berfikir secara obyektif , siapa yg sebenarnya lebih layak , pantas dan pas untuk menyandang gelar “AL-KABURI” tersebut, apakah Klan Ba’alwi ataukah KH Imaduddin Al-Bantani.
Mari kita analisa bersama untuk mendapat nilai persentase-nya:
- Ketika pertemuan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta:
* KH Imaduddin hadir
* Dari Rabithah Alawiyah tidak ada satupun yg datang juga tidak mengirimkan satupun utusan resminya.
- Ketika pertemuan di Kesultanan Banten:
* KH Imaduddin mengirim utusan resmi tiga orang , salah satunya Tengku Qori
* Dari Rabithah Alawiyah tidak ada satupun yg datang juga tidak mengirimkan satupun utusan resminya.
- Ketika pertemuan di Pasuruan :
* KH Imaduddin hadir
* Dari Rabithah Alawiyah tidak ada satupun yg datang juga tidak mengirimkan satupun utusan resminya.
- Ketika diundang di podcas Bisikan Roma:
* KH Imaduddin hadir
* Dari pihak Rabithah Alawiyah, seperti Taufiq Assegaf, R1z1q , B@h@r, DLL tidak ada satupun yg datang.
- Ketika pertemuan di Rabithah Alawiyah :
* KH Imaduddin tidak hadir.
* Dari pihak RA , seperti Taufiq Assegaf, R1z1q , B@h@r tidak ada satupun yg hadir. Hanya ada Hnif Al-Athos
Nah…. dari kelima pertemuan yg saya sebutkan di atas persentase ketidak haadirannnya :
* Pihak KH Imaduddin 20% TIDAK HADIR
* Pihak Rabitah Alawih 80% TIDAK HADIR.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : Sesungguhnya pihak Rabithah Alawiyahlah paling berhak pas dan pantas untuk menyandang gelar “AL-KABURI” ,
Tetapi sangat disayangkan , dengan kelicikannya pihak RA justru memutar balikkan fakta memframing KH Imaduddin sbg “AL-KABURI” , *SALAM BERFIKIR CERDAS DAN WARAS.*
*MKB*: “Gak ada marinya ngeladenin tim horenya ngimad…Cuman Barengin omon2 wae.Dalil gak ada, teori sendiri yang di pakai. Sama dengan junjungan nya ngimad sarman!!!!” Ulama sedunia sudah mempercayai klan ba’alwi, kamu meremehkan pandangan bathin ulama seperti mbah kyai Hasyim Asy’ari!!!, Ulama dulu tidak mewjibkan kitab sezaman!!!!”
*SY:*
Bayangkan jika kita ingin mengetahui kisah hidup seorang tokoh terkenal seperti presiden pertama di suatu negara. Tentu saja, kita akan lebih mempercayai informasi dari catatan sezaman, seperti koran, surat, atau buku yang ditulis oleh orang-orang yang hidup di masa itu atau bahkan melihat langsung peristiwa-peristiwa tersebut. Mengapa? Karena mereka menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala mereka sendiri atau mendapatkan informasi langsung dari sumber utama.
Sekarang, bandingkan ini dengan informasi yang kita dapatkan seribu tahun kemudian dari cerita yang beredar di masyarakat tanpa bukti tertulis atau saksi mata dari masa itu. Dalam rentang waktu ribuan tahun, cerita bisa berubah, dilebih-lebihkan, atau bahkan ditambah-tambahkan sehingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang tidak.
Begitu juga dengan nasab atau sejarah Nabi Muhammad SAW: untuk memastikan keasliannya, kita memerlukan catatan yang berasal dari orang-orang yang hidup di masa beliau atau generasi tak jauh setelahnya. Jika kita mengandalkan sumber yang muncul ratusan tahun kemudian tanpa bukti dari generasi sezaman, ada risiko besar informasi itu telah tercampur dengan tambahan-tambahan yang tidak benar.
Dengan menggunakan sumber sezaman, kita menjaga agar informasi tetap asli dan menghindari kesalahan dalam memahami sejarah atau nasab beliau.
Jadi, kesimpulannya, kalau kita ngomongin nasab dan sejarah, yang dibutuhin itu bukti nyata, bukan cuma klaim atau cerita turun-temurun. Di zaman dulu, mungkin sulit buat ngecek kebenaran nasab karena teknologi terbatas. Tapi sekarang, kita punya alat dan ilmu, mulai dari manuskrip sejarah sampai tes DNA, buat memastikan semuanya lebih akurat.
Intinya, kasyaf atau pandangan spiritual mungkin punya tempatnya dalam kehidupan religius, tapi buat urusan sejarah dan nasab, yang penting adalah data dan bukti yang bisa diuji. Jadi, kalau ada cara lebih pasti untuk ngecek nasab atau sejarah, kenapa nggak kita pakai?
*MKB*: Gak usah dibuat ribet…Carikan ibaratnya ; Bahwa kitab se zaman menjadi syarat mutlak diperlukan untuk itsbat nasab…🤭, Kalau itu ada, Taslim lah…😀
*SY*: Oke, kalau memang mau bukti kuat soal nasab dari Ubaidillah abad ke-4 hijriah, ya minimal kita butuh sumber tertulis dari zamannya atau yang deket-deketlah. Logikanya, kitab sezaman itu kayak “KTP” historis—bukti yang paling valid buat ngecek kebenaran cerita.
Kalau cuma pakai kitab yang ditulis ratusan tahun setelahnya, ya kurang kuat, ibaratnya kayak gosip yang makin lama makin nggak jelas. Malah Prof. Dr. Manachem Ali, pakar filologi, sering tekankan pentingnya pakai sumber yang sezaman atau dekat dengan peristiwanya biar informasinya nggak ngambang.
Jadi, kalau emang ada bukti kuat berupa kitab atau dokumen dari abad ke-4 yang jelas nulis soal tokoh bernama Ubaidillah ini, ya siap taslim lah! Tapi kalau nggak ada, nggak salah juga kan kita menganggap Ubaidillah sebagai Tokoh fiktif?
*MKB*: Gak usah jauh-jauh…Kitab nasab mana yang menjelaskan bahwa; Kitab se zaman menjadi kunci, atau syarat mutlak dalam itsbat nasab…? Saya perlu ta’bir, bukan opinimu…
Kalau ada Taslim lah 😀
*SY*: Oke, bro, kita bahas dengan santai. Sebenarnya, banyak kitab dan referensi dalam ilmu nasab yang menekankan pentingnya bukti historis dan dokumen se-zaman. Misalnya, di dalam kitab “Al-Bayān fī al-Nasab” oleh Syekh al-Dakhil, disebutkan bahwa penelitian nasab yang valid harus berdasarkan bukti sejarah yang kuat dan catatan yang ada pada zamannya. Ini menjadi dasar bagi banyak ahli nasab dalam menentukan keabsahan suatu keturunan.
Selain itu, di dalam “Al-Muwafaqat” karya Abu Ishaq al-Syathibi, ada penjelasan tentang pentingnya menggunakan dokumen dan saksi yang kredibel dalam menyusun nasab. Ini menunjukkan bahwa para ulama terdahulu juga memahami bahwa tanpa bukti yang valid, klaim nasab akan sulit dipertanggungjawabkan.
Jadi, bukan hanya sekadar opiniku, tetapi ada banyak referensi yang menguatkan bahwa kitab se-zaman itu sangat penting dalam itsbat nasab. Intinya, penting untuk kita semua mengedepankan bukti yang jelas dan valid .
Oke, bro! Berikut ini beberapa ta’bir (pernyataan) dari ulama dan referensi tentang pentingnya kitab se-zaman dalam itsbat nasab:
- Ibn Hajar al-Asqalani dalam “Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah” menjelaskan bahwa penetapan nasab harus didukung oleh bukti yang kuat, termasuk catatan yang ada pada zaman tersebut. Ia menekankan bahwa tanpa bukti yang dapat diverifikasi, klaim nasab akan dianggap lemah.
- Al-Khathib al-Baghdadi dalam “Al-Jami‘ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami‘” menegaskan pentingnya verifikasi dalam ilmu nasab. Ia mencatat bahwa para ahli nasab harus menggunakan dokumen dan saksi yang sah untuk menentukan keaslian suatu keturunan.
- Syekh al-Dakhil dalam “Al-Bayān fī al-Nasab” menyatakan bahwa peneliti nasab harus merujuk kepada kitab se-zaman untuk mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini merupakan langkah penting dalam menegakkan klaim nasab yang sah.
Jadi, dalam konteks ini, kitab se-zaman menjadi kunci untuk memastikan keabsahan nasab. Ini bukan hanya sekadar opini, tetapi juga merupakan prinsip yang dipegang oleh banyak ulama dan peneliti di bidang nasab.
*MKB* : Share ta’bir dalam kitab nya aja…😀☕,
*SY*: sekarang gini saja, kita bicara pakai ilmu, bukan labeling dan framing,
BAGAIMANA BISA 8 TOKOH BESAR KEBANGGAAN KLAN BAALAWI ( Ahmad bin Isa (w. 345 H.), Ubaidillah (w. 383 H.), Alwi (w. 400 H.), Muhammad (w. 446 H.), Alwi II (w. 512 H.), Ali Khali Qosam (w. 529 H.), Muhammad Sohib Mirbat (w. 550 H.), Ali Walidul Faqih (w. 590 H.) TIDAK TERCATAT DI BUKU SEJARAH NON BAALAWI?
Dan satu saja yang ini, 3 PERTANYAAN DASAR
” Imam Tanpa Jejak: Mengapa Tak Ada Bukti Keberadaan Imam Ubaidillah di Kitab-Kitab di jamannya? (Sebuah kejanggalan karena Tidak ada catatan tokoh ini selama 600 tahun)”
Untuk menguji keabsahan klaim terhadap Imam Ubaidillah sebagai seorang “imam” dan tokoh agama terkenal pada abad ke-4 Hijriyah. Jika memang beliau adalah seorang imam dan keturunan Nabi Muhammad SAW, ada beberapa hal yang seharusnya ditemukan:
- Mengapa tidak ada catatan tentang Imam Ubaidillah dalam kitab-kitab dari abad ke-4 Hijriyah? Biasanya, tokoh-tokoh agama yang memiliki peran penting, apalagi keturunan langsung Nabi SAW, akan tercatat dalam berbagai sumber sejarah atau kitab biografi pada masanya atau pada periode yang dekat. Para sejarawan dan ulama cenderung mendokumentasikan riwayat hidup dan kiprah seorang tokoh agama yang terkenal di zamannya, terutama jika ia memiliki kedudukan istimewa sebagai imam. Ketiadaan catatan ini menimbulkan pertanyaan besar, karena sangat tidak biasa bagi seorang imam besar untuk menarik perhatian para akademisi pada masa itu.
- Mengapa tidak ada karya tulis yang dapat dikaitkan dengan Imam Ubaidillah? Seorang imam atau ulama besar biasanya meninggalkan jejak intelektual dalam bentuk karya tulis, fatwa, atau pandangan keagamaan yang dicatat oleh murid-muridnya. Apalagi jika dia benar-benar seorang pemimpin agama besar, tidak memiliki karya tulis atau pendapat-pendapat yang diakui sangat janggal. Sebagai perbandingan, banyak ulama di sekitar abad ke-4 Hijriyah yang menghasilkan karya yang tetap kita warisi hingga kini. Oleh karena itu, masuk akal untuk bertanya: jika beliau seorang imam, mengapa tidak ada karya tulis atau pemikiran yang terjaga hingga sekarang?
- Mengapa tidak ada murid atau pengikut yang mencatat kehidupan dan ajaran Imam Ubaidillah? Pada umumnya, seorang ulama besar akan memiliki murid-murid yang mencatat ajaran dan kisah hidup. Jika dia memang seorang imam yang memiliki pengaruh, maka murid atau pengikutnya sewajarnya akan menghimpun pengetahuan dan pemikirannya agar bisa diwariskan. Ketiadaan bukti ini semakin memperlemah klaim bahwa beliau adalah seorang imam besar.
Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena setiap klaim historis memerlukan dasar dokumentasi atau bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Percakapan keaslian dan validitas silsilah adalah bagian dari menjaga keotentikan sejarah dalam Islam.
*Daftar kejanggalan/kesalahan dan fakta yang tidak logis yang mengarah pada kepalsuan/kebohongan yang dilakukan HABIB/Klan Ba’alwiy dalam kitab-kitab referensi mereka 😘
- Syekh Umar bin Abdullah al-Khatib dan Kitab Al-Jauhar al-Syafaf: Ada dua manuskrip dari kitab ini, satu di Perpustakaan Ahmad bin Hasan al-Athas (Huraidah, Yaman) dan yang lain di Maktabah al-Ahqaf, Yaman, dengan tanggal 1256 H. Validitas kitab ini perlu diteliti melalui perbandingan dengan naskah lain, karena ada kritikan dari ulama seperti Abdullah al-Habsyi yang menyatakan kitab tersebut penuh dengan kisah-kisah fiktif, bukan sejarah yang bisa dipercaya.
- Kitab Al-Burqoh Al-Musyqi’oh: Al-Sakran, yang menulis kitab ini, menceritakan tentang Ahmad bin Isa tanpa menyebutkan referensi dari sumber-sumber sebelumnya. Al-Sakran menulis biografi tokoh-tokoh seperti Ahmad bin Isa dan Ubaidillah tanpa merujuk sumber-sumber yang kredibel, menimbulkan keraguan tentang keabsahan informasinya.
- Kitab Al-Raud Al-Jali: Dua edisi dari kitab ini memiliki kesimpulan yang berbeda terkait Abdullah anak Ahmad. Edisi tahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Gani menyebut ketidakpastian, sedangkan edisi Abu Bakar Ba Dzib menganggapnya disepakati. Perbedaan ini menunjukkan adanya ketidakseragaman informasi dalam sumber yang berbeda.
- Kitab Tarikh Hadramaut (Tarikh Syanbal): Kitab ini dicurigai oleh sejarawan seperti Profesor Hussein Saleh bin Issa sebagai plagiat dari Tarikh Ibnu Hisan. Syekh Syanbal, yang dikatakan sebagai penulisnya, juga tidak dikenal di kalangan sejarawan, dan orientalis Robert Bertram Serjeant mendapati bahwa naskah ini baru disalin, menandakan bahwa kitab ini tidak bisa dipercaya sebagai sumber sejarah yang sahih.
- Kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut: Kitab ini dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap dan dilengkapi dengan tambahan dari kitab Tarikh Syanbal yang diragukan. Pentahqiq tidak membedakan mana bagian asli dari manuskrip dan mana tambahan, sehingga kitab ini tidak dapat dianggap sebagai sumber rujukan yang kredibel.
- Kitab Al-Imam Al-Muhajir: Kitab ini menyajikan biografi Ahmad bin Isa tanpa referensi yang jelas. Penulisnya, Muhammad Dhiya Syihab, bahkan melakukan kesalahan fatal dengan salah mengidentifikasi Ahmad bin Isa dalam kitab Tarikh Bagdad, yang sebenarnya merujuk pada Ahmad bin Isa bin Mansur, bukan Ahmad bin Isa al-Naqib.
*MKB*: Mau bilang apa tentang habib silahkan, kita semua g ambil pusing,silahkan hina maki habaib sepuasnya!
*SY*: Mengklaim keturunan Nabi SAW itu nggak bisa sembarangan. Harus ada bukti ilmiah, sejarah, dan data genetik yang kuat. Kalau bener keturunan beliau, pasti ada catatan sejarah yang jelas. Genetika kayak tes DNA juga penting buat bukti, biar klaimnya nggak cuma katanya. Jadi, untuk menjaga keaslian silsilah Nabi SAW, bukti nyata itu wajib, supaya nggak ada yang gampang tertipu.
*MKB* Seberapa kuat dalil ngimad yang syadz, untuk sekedar batalkan nasab Saadah Ba’alawi.
Ngimpi ngimad…😔
*SY*: “Menyingkap Fakta: Klan Ba’alwi Bukan Dzuriat Nabi Muhammad SAW Berdasarkan Isbat Nasab Saadah”
Silahkan lihat paparan dalam website ini:
“Menyingkap Fakta: Klan Ba’alwi Bukan Dzuriat Nabi Muhammad SAW Berdasarkan Isbat Nasab Saadah”
Naqobah Asyraf adalah lembaga resmi yang bertugas memverifikasi nasab para keturunan Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai Saadah atau Asyrof. Menurut sumber sejarah, Naqobah Asyraf telah ada sejak masa Dinasti Abbasiyah dan terus berlanjut hingga era Kesultanan Turki Usmani, berakhir pada tahun 1924 . Sejak awal berdirinya, Naqobah Asyraf diakui sebagai satu-satunya lembaga yang berhak melakukan pengisian dan pencatatan nasab Saadah. Salah satu pertanyaan kunci yang sering diajukan adalah apakah klan Ba’alwi telah diisbat oleh Naqobah Asyraf. Faktanya, tidak ada satupun anggota dari klan Ba’alwi yang pernah diisbat oleh Naqobah Asyraf, meskipun mereka telah eksis sejak masa Abbasiyah. Hingga berakhirnya masa Kesultanan Turki Usmani pada tahun 1924, Naqobah Asyraf tidak pernah mengisbat seorangpun dari klan Ba’alwi sebagai Saadah .
*MKB*: Ini sama perkataan anak PKI ki imed!!!
*SY*: Ga ada satupun Ulama dunia Yg MengItsbat Nasab ba’alwi … Nasab ba’alwi Hanya di itsbat oleh :
◆ Habib Ali sakron dalilnya
ASUMSI .. dlm kitab Al burqoh hal 151 (895 H)
◆ Habib Muhammad bin alawi khirid dalilnya MIMPI… dalam kitab Al guror hal 115 (930 H)
*MKB*: Pendapat ngimad, pendapat nyeleneh… Yang menyalahi nassabah lokal maupun internasional. 🙃
*SY*: dipikirnya TURKI itu jawa tengah kali ya dibilang bukan bagian dari dunia internasional.
Naqobah Asyraf adalah lembaga resmi yang bertugas memverifikasi nasab para keturunan Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai Saadah atau Asyrof. Menurut sumber sejarah, Naqobah Asyraf telah ada sejak masa Dinasti Abbasiyah dan terus berlanjut hingga era Kesultanan Turki Usmani, berakhir pada tahun 1924 .
*MKB* : Tuh kitab ngimad ☝️ (MKB Menunjukkan kitan rujukan klan ba’alwi yang ditulis seorang tokoh yang hidup di abad setelah 10Hijriah, yang menulis keberadaan tokoh di abad 4 Hijriah), Saat dia masih warasnya…Dan sekarang makin nyeleneh…Korang Lakoh ngimad itu…🤭
*SY*: Yang mengherankan, bagaimana bisa seseorang yang hidup di abad ke-4 Hijriah mempunyai catatan yang baru muncul setelah abad ke-10 Hijriah? Kalau tokoh tersebut memang berpengaruh, wajar saja jika ada banyak catatan langsung dari zamannya. Tapi kalau referensinya baru ditulis lebih dari enam abad kemudian, itu menjadi tanda tanya besar. Apakah mereka mendapat info itu lewat mimpi atau sekadar cerita turun-temurun yang tidak ada bukti konkretnya? Jika klaim ini benar, harus ada sumber yang lebih dekat dan akurat dari masanya.
*MKB*: Dari kemarin, cuman omon2 doang…Mana ta’bir lu, kalau kitab se zaman menjadi syarat mutlak dalam itsbat nasab…? Gak bisa jawab, Taslim aja’ luu…. Kecuali lu gengsi…🤭
*SY*: Jadi gini gan—kalau mau bener-bener ngecek nasab alias garis keturunan itu valid apa enggak, kita memang perlu bukti dari kitab-kitab yang ditulis sejaman. Kenapa? Karena kalau kita cuma pake referensi dari zaman belakangan, nanti bisa aja nasabnya jadi gak jelas atau malah nyasar, soalnya gak ada bukti solid dari zaman aslinya. Jadi, sumber-sumber sejaman itu kayak “saksi hidup” yang paling mendekati sama aslinya.
Terus, jangan khawatir kalau emang nasabnya bener tapi masih ada yang ragu—kan sekarang udah ada teknologi DNA. Tinggal tes aja buat pastiin hubungan genetiknya. Teori tanpa bukti atau sumber zaman aslinya tuh kayak anggapan yang gak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi di ilmu nasab itu bagian dari ilmu sejarah yang merupakan ilmu pasti.
Jadi, jangan khawatir nasab bakal putus kalau kita teliti dengan benar dan pake cara yang ilmiah!
*MKB*: Ikutan teori ngimad, rusak semua nasab orang..🤭
*SY*: Wah gan, kayaknya gak nyampe ya maksudnya? Justru pake kitab sejaman itu yang bikin nasab makin jelas, bukannya malah bikin rusak. Bayangin aja, kalau kita ngandelin kitab yang baru muncul ratusan tahun setelah orangnya hidup, gimana kita bisa yakin itu nasab beneran? Nggak lucu kan kalau asal percaya tanpa bukti zaman aslinya?
Kalau nasabnya memang bener, nggak perlu takut pakai cara yang jelas dan terbukti. Teknologi DNA aja sekarang bisa membantu membuat validasi kalau kitab sejaman kurang. Jadi yang sebenarnya ‘rusak’ itu kalau kita tidak menggunakan sumber yang jelas dan hanya mengambil asumsi.
*MKB*: Kitab se zaman tidak menjadi syarat mutlak dalam itsbat, apalagi tes DNA untuk nasab jauh…Tambah gak masuk Broo…🤭
*SY*: Bro, logika kamu di sini justru yang bikin bingung. Gini deh, kalau kita mau bicara tentang keabsahan nasab, harusnya kita pegang prinsip dasar sejarah dan ilmiah.
Kitab sezaman itu penting banget, karena dia jadi salah satu bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Gak bisa dong kita hanya mengandalkan klaim tanpa ada bukti yang jelas. Sejarah itu membutuhkan referensi yang valid, bukan hanya omongan dari mulut ke mulut atau asumsi belaka. Nah, kalau kita bicara soal DNA, itu juga ilmu yang lebih bisa diandalkan dibandingkan cerita-cerita tanpa bukti.
Kalau kamu bilang kitab sezaman bukan syarat mutlak, berarti kamu ngagap semua catatan sejarah yang ada bisa disangka-sangka semata? Bukankah itu mengabaikan disiplin ilmu sejarah? Coba deh, baca buku-buku tentang historiografi. Misalnya, Prof.Dr.Manachem Ali dari Universitas Airlangga, yang menguraikan pentingnya bukti historis dalam penelitian genealogis.
Selain itu, ada juga pakar luar negeri seperti Dr. Michael Hammer yang menekankan betapa pentingnya data genetik dan dokumen historis dalam menentukan keabsahan nasab. Tanpa itu, semua argumen yang kamu ajukan hanya akan terdengar seperti omongan kosong belaka.
Jadi, lain kali kalau mau berdebat soal sejarah dan nasab, pastikan argumen kamu punya dasar yang kuat ya! Jangan sampai terjebak dalam kesimpulan yang tanpa bukti.
*MKB*: Ilmu nasab cuman nubdzah min ilmil fiqh…Tidak begitu penting…Yang bermasalah, orang batalin nasab orang lain dengan teorinya sendiri, tidak mengikuti qaidah fi ilmin nasab..Dan itu masuk tho’an Fin nasab. ☕
*SY*: Gan, begini ya, ilmu nasab itu bukan sekedar tambahan dalam ilmu fiqh. Dia punya kedudukan penting dalam sejarah dan identitas suatu kelompok. Menganggap enteng ilmu nasab sama aja kayak nge-junk fakta sejarah dan kebenaran yang udah ada. Coba deh, kamu baca buku “The Genealogical Science” karya Prof.Dr.Manachem Ali. Di situ betapa pentingnya penelitian nasab dalam memahami sejarah dan hubungan antar kelompok.
Memang benar ada kaidah yang harus diikuti dalam ilmu nasab, dan kita perlu hati-hati agar tidak asal menuduh orang lain membatalkan nasab. Tapi, yang perlu dicatat adalah, ketika ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa suatu klaim nasab itu meragukan, ya kita harus bisa menerimanya dengan lahan lapang. Gak bisa kan kita menutup mata terhadap data dan bukti yang ada hanya karena udah terlanjur percaya?
Ulama Sunni Aswaja seperti Syekh Ali Jaber dan banyak lagi juga menggarisbawahi pentingnya kebenaran dalam membahas nasab, bukan hanya berdasarkan klaim tanpa bukti yang jelas. Dalam kitab-kitab seperti “Ilmu Nasab” oleh Dr. Abu Bakar Al-Jazairi, dia menekankan bahwa nasab yang sah harus dapat dibuktikan dengan data yang valid.
Jadi, jangan menganggap remeh ilmu nasab. Kita harus cermat dan objektif dalam menilai. Harusnya semua yang kita bahas itu ada pada dasarnya, bukan sekadar opini atau teori tanpa bukti nyata. Yuk, kita tetap kritis dan terbuka dalam diskusi!
*MKB*: Apa penting nya ilmu nasab…? Saya perluan nasib…😀
*SY*: Bro, serius deh, pentingnya ilmu nasab itu lebih dari sekedar formalitas. Ilmu nasab itu bukan hanya soal siapa keturunan siapa, tapi lebih dari itu. Ini tentang identitas, warisan, dan memahami sejarah kita sebagai umat.
Bayangkan aja, dengan memahami nasab, kita bisa belajar dari pengalaman leluhur kita, dan itu sangat berharga! Jangan sampai kita kehilangan akar dan identitas kita hanya karena meremehkan hal ini.
Kalau kamu bilang butuh nasib, itu juga bisa jadi refleksi dari pemahaman kita tentang diri sendiri. Koneksi kita dengan sejarah dan keluarga bisa memberikan kekuatan dan motivasi gan.
Jadi, bukannya asal koment, mending kita coba lihat dari sisi positifnya, yuk!😉
*MKB*: Ilmu ttg nasab, jadikan sebagai koleksi pribadi aja’.Dengan tidak membatalkan nasab orang lain, itu bumerang dan masuk dalam kategori tho’an binnasab.
*SY*: Bro, kalau mau dijadikan koleksi pribadi sih, itu hak kamu. Tapi, ilmu nasab bukan hanya tentang koleksi. Ini memahami tentang sejarah dan konteks sosial kita.
Loh, yang kita bahas itu nasabnya orang paling mulia di dunia dan pemimpin umat Islam (nasabnya Baginda Nabi Muhammad SAW), jadi kita harus peduli dengan hal ini. Kalau itu nasabnya tukang tambal ban sebelah ya sebodo teuing, bodo amat, ngapain kita urusin?
Ngomong-ngomong soal “tho’an binnasab,” kita perlu hati-hati dalam menyebut sesuatu yang belum tentu benar. Jangan samakan analisis yang didasarkan pada fakta dan penelitian dengan fitnah. Mempertanyakan klaim tanpa bukti itu penting, dan harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah, bukan sekadar berasumsi atau perasaan.
Jadi, kalau kamu mau berdiskusi ya jangan hanya baper ya gan. Kita harus bisa berargumentasi dengan data dan referensi yang solid, bukan sekadar membuat pernyataan tanpa dasar. Gitu aja!✌️
Akhirnya MKB tidak bisa jawab, dan sudah tidak bisa jawab lagi, kemudian saya temukan MKB komentar di grup Whatsapp lain, dan komentarnya begini : “Ngadepin gank” kimad…Gak cukup 1009 dalil..hhh”* , dijawab oleh salah satu anggota grup: 1 DALIL itu cukup jika dalil itu berfungsi sebagaimana mestinya dalil yg mengarahkan pikiran kita secara dalalah menuju madlul (yg ditunjuk) ,Kalau gak berfungsi demikian, maka satu juta DALIH pun gak bisa berfaedah apa²……
*Akhir kata:*
Jika manusia itu menggunakan akal pikir dan nurani /nalar, tentu akan mudah memahami kebenaran dari realitas fakta ilmiah (Sejarah, Filologi, kajian perilaku, dan ilmu genetika) bahwa klan ba’alwi SANGAT JELAS bukan dzuriat Nabi Muhammad saw,
namun demikian saat ini masih banyak orang yang jadi mukibin kabib klan ba’alwi, sangat disadari bahwa semua itu disebabkan oleh karena 2 faktor yaitu:
- Kebodohan
- Ndableg tidak mau menerima kebenaran (mendekaki orang gemblung).