*”Sanggahan Ilmiah dan Argumentatif Terhadap Dr. Ahmad Fahrur Rozi: Klarifikasi Seputar Pengakuan Keturunan Nabi Muhammad SAW oleh Ulama Nusantara”*
Dalam tulisan ini, saya ingin menyanggah klaim yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Fahrur Rozi terkait pengakuan Ulama Nusantara terhadap keturunan Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Analisis ini akan didasarkan pada fakta historis, logika ilmiah, dan telaah yang objektif terhadap keputusan yang dihasilkan dalam Bahtsul Masail NU.
*1. Tidak Ada Penetapan Jalur Nasab, Hanya Berbasis Husnudzon*
Fahrur Rozi mengklaim bahwa ulama besar Nusantara, seperti Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, secara tegas mengakui Sadah Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pengakuan ini bukanlah hasil dari penelitian genealogi atau verifikasi jalur nasab yang sahih. Ulama-ulama tersebut menyebut individu Ba’alawi sebagai “Sayyid” berdasarkan husnudzon atau anggapan baik, bukan karena ada penelitian yang memastikan keturunan mereka dari Nabi. Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ulama-ulama tersebut melakukan analisis mendalam untuk menetapkan jalur nasab tersebut.
Berikut paparan yang lebih rinci mengenai perbedaan antara ulama yang melakukan itsbat (penetapan) jalur nasab dan mereka yang hanya diam husnudzon (berprasangka baik):
________________________________________
*A. Ciri-Ciri Ulama yang Meng-itsbat Nasab Seseorang*
Itsbat nasab berarti penetapan garis keturunan yang dilakukan melalui proses yang serius, sistematis, dan berdasarkan bukti yang dapat divalidasi. Ulama yang meng-itsbat nasab memiliki ciri-ciri tertentu, di antaranya:
• *Menggunakan Metodologi Ilmiah dan Historis* : Ulama yang meng-itsbat garis keturunan seseorang tidak hanya berpegang pada kebiasaan atau tradisi lisan. Mereka melakukan penelitian mendalam, mencakup kajian sejarah yang teliti dan melibatkan pembuktian silsilah melalui dokumen tertulis atau manuskrip yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka akan memeriksa keakuratan catatan silsilah dan riwayatnya dengan sumber-sumber yang terpercaya, seperti kitab-kitab klasik atau arsip sejarah resmi. Pertanyaan: adakah ulama nusantara yang menulis kitab untuk mengistbat nasab klan ba’alwi?
• *Memiliki Verifikasi yang Kuat* : Penetapan nasab biasanya melibatkan analisis dokumen kuno yang memuat silsilah lengkap yang bisa dirunut secara akurat. Jika terdapat klaim bahwa seseorang adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, bukti-bukti yang dipakai harus berasal dari sumber primer yang sah. Misalnya, penggunaan kitab-kitab yang didukung oleh para sejarawan terkenal, yang mendokumentasikan secara rinci garis keturunan hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan: adakah ulama nusantara yang menulis kitab untuk mengistbat nasab klan ba’alwi dengan verifikasi kitab nasab terdahulu dari ulama lain yang ahli dibidangnya?
• *Konsensus Ulama* : Dalam hal itsbat nasab, biasanya terdapat konteks dari sejumlah ulama atau lembaga keagamaan yang memiliki otoritas. Mereka akan menyepakati keabsahan klaim tersebut berdasarkan bukti yang sama. Keputusan ini sering diambil dalam forum resmi seperti Bahtsul Masail atau lembaga yang bertanggung jawab atas perkara nasab.
Pertanyaan, apakah ada consensus ulama nusantara untuk pengesahan nasab habib klan ba’alwi?
*B. Ciri-Ciri Ulama yang Bersikap Husnudzon Terhadap Nasab*
Sebaliknya, ulama nusantara terdahulu yang hanya meggunakan husnudzon terhadap klaim nasab memiliki pendekatan yang berbeda. Husnudzon, atau berprasangka baik, dilakukan bukan karena bukti yang kuat, melainkan atas dasar keyakinan, tradisi, atau penghormatan terhadap seseorang. Ciri-ciri ulama yang hanya berhusnudzon meliputi:
• *Berpegang pada Tradisi Lisan* : Mereka cenderung menerima klaim nasab tanpa menuntut bukti yang dapat dilakukan secara historis atau ilmiah. Kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun, dan ulama menerima klaim tersebut demi menjaga keharmonisan dan adab dalam masyarakat, terutama terhadap kelompok yang memiliki peran sosial dan keagamaan yang besar.
• *Tidak Melakukan Penelitian Mendalam* : Ulama yang berpikir husnudzon tidak merasa perlu melakukan penelitian silsilah atau menelusuri dokumen sejarah secara rinci. Mereka tidak membahas silsilah detail-detail atau menguji keabsahan klaim keturunan dengan analisis yang mendalam.
• *Menghormati dan Memuliakan Berdasarkan Kebiasaan* : Sebutan “Sayyid” yang diberikan kepada individu dari kalangan Ba’alawi lebih karena penghormatan atau pengakuan sosial, bukan dari hasil verifikasi garis keturunan. Ini didasarkan pada adab yang diajarkan dalam Islam, di mana prasangka baik kepada sesama muslim, terutama kepada mereka yang dianggap memiliki keterkaitan dengan keluarga Nabi, sangat dianjurkan.
*C. Analisis terhadap Klaim Dr. Fahrur Rozi*
Fahrur Rozi mengklaim bahwa ulama besar seperti Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi mengakui Sadah Ba’alawi sebagai keturunan Nabi. Namun berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama-ulama tersebut menyebut individu Ba’alawi sebagai “Sayyid” bukan karena mereka melakukan itsbat nasab, tetapi karena mereka bermaksud husnudzon.
Tidak ada bukti konkret bahwa ulama-ulama besar tersebut melakukan verifikasi ilmiah terhadap garis keturunan Ba’alawi. Dengan kata lain, pengakuan mereka terhadap Sadah Ba’alawi didasarkan pada prasangka baik dan tradisi, bukan pada hasil penelitian silsilah atau bukti yang dapat dibenarkan.
Maka, Perlu dipahami bahwa itsbat nasab dan husnudzon adalah dua hal yang berbeda secara fundamental. Itsbat memerlukan bukti yang kuat dan proses penelitian yang mendalam, sedangkan husnudzon adalah bentuk penghormatan dan keyakinan yang tidak memerlukan verifikasi. Oleh karena itu, klaim bahwa ulama besar Nusantara secara tegas mengakui Sadah Ba’alawi sebagai keturunan Nabi harus dilihat dalam konteks husnudzon, bukan itsbat yang sahih dan ilmiah.
*2. Fakta data sejarah, Bahtsul Masail NU 1932 Hanya Membaas Gelar Sayyid dan Syarif*
Keputusan yang dihasilkan oleh Bahtsul Masail NU pada tahun 1932 dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa gelar “Sayyid” dan “Syarif” adalah khusus untuk keturunan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Fakta ini penting karena tidak ada satu pun kalimat dalam keputusan tersebut yang menyebutkan gelar “Habib.” Ketidakhadiran gelar ini dalam dokumen resmi Bahtsul Masail menunjukkan bahwa ulama-ulama Nusantara tidak mengakui gelar “Habib” sebagai pengesahan untuk keturunan Nabi.
Penggunaan istilah yang sangat spesifik, seperti “Sayyid” dan “Syarif,” menunjukkan bahwa keputusan Bahtsul Masail NU tidak mengakui klaim-klaim yang tidak memiliki dasar silsilah yang kuat. Ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa klaim keturunan yang tidak sah, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar Ba’alawi, tidak diterima secara resmi.
*3. Mengapa Gelar Habib Tidak Disebutkan?*
Gelar “Habib” pertama kali diberikan kepada Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, yang hidup pada tahun 992-1072 Hijriyah (1572-1652 Masehi). Ketika Bahtsul Masail NU diadakan pada tahun 1932, gelar ini telah ada selama beberapa abad. Namun, meskipun sudah lama dikenal, gelar “Habib” tetap tidak dimasukkan dalam diskusi atau keputusan resmi NU. Hal ini menunjukkan bahwa gelar tersebut tidak dianggap memiliki keabsahan dalam konteks silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW oleh ulama Nusantara.
Logikanya, jika gelar “Habib” diakui secara sah sebagai identitas keturunan Nabi, tentu ulama dalam Bahtsul Masail akan menyebutnya. Namun kenyataannya, tidak ada satu pun referensi yang mengindikasikan pengakuan terhadap gelar ini. Hal ini menunjukkan ketidakterimaan ulama Nusantara terhadap gelar “Habib” dalam konteks keturunan Nabi.
*4. Kesimpulan dan Sanggahan*
Dr. Ahmad Fahrur Rozi menggunakan analogi yang tidak relevan dengan konteks diskusi ini. Mengitsbatkan “gus” sebagai panggilan untuk putra kiai tidak sama dengan mengitsbatkan keturunan Nabi. Penetapan gelar keturunan Nabi harus didasarkan pada bukti-bukti yang dapat dilaksanakan secara ilmiah dan historis, bukan semata-mata atas dasar kebiasaan atau asumsi.
Pernyataan Dr. Rozi yang menyebut penulis tidak memahami data atau membelokkannya justru menimbulkan pertanyaan besar: mengapa gelar “Habib” tidak diakui secara resmi dalam keputusan-keputusan NU jika memang diakui secara sah? Argumentasi ini menunjukkan bahwa klaim keturunan Ba’alawi tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat dan hanya didasarkan pada tradisi yang dipertahankan tanpa verifikasi.
Dengan demikian, mari kita berpikir secara logis dan ilmiah: keputusan Bahtsul Masail NU menegaskan pengakuan gelar “Sayyid” dan “Syarif” untuk keturunan Nabi yang sah, bukan gelar “Habib” yang tidak memiliki dasar silsilah yang kuat. Ini adalah bukti nyata bahwa ulama Nusantara mengutamakan verifikasi nasab yang dapat dipertanggungjawabkan.