Pahlawan Tanpa Nama: Kisah Heroik di Lereng Tawangmangu
(Real Story : 24 November 2024).
Di Malam dinginnya di Tawangmangu, di tengah rapat koordinasi bersama Laskar Mataram Nusantara, saya bertemu dengan seorang pria sederhana dari Jogja. Rambutnya kusut terkena angin jalanan, jaket subur membungkus tubuhnya, dan wajahnya menunjukkan kelelahan, namun matanya bersinar dengan semangat yang tak biasa.
Ketika jeda rapat tiba, saya mendekatinya dan bertanya, “Berapa lama perjalananmu dari Jogja ke sini?”
“Empat jam,” jawabnya singkat, sambil menarik napas panjang.
Saya penasaran, “Sendirian?”
“Ya,” katanya tanpa ragu, nada suaranya tegas.
Saya mencoba menggali lebih dalam, “Apa motivasimu hadir di rapat ini? Perjalanan sejauh itu, sendirian, dengan motor… pasti tidak mudah.”
Dia mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh keyakinan. Dengan suara yang sedikit serak, dia berkata:
“Rapat ini bertujuan membela negara, membela kehormatan nasab suci Rasulullah SAW yang dirusak oleh klaim klan Ba’alwi. Leluhur saya dulu berjuang dengan tetesan darah dan keringat agar negeri ini merdeka. Rasulullah SAW adalah sosok yang paling saya cintai, teladan hidup saya. Kalau saya hanya duduk manis di rumah, sibuk mencari uang untuk diri sendiri dan keluarga, apa artinya hidup saya? Itu egois! Terlalu egois!”
Dia sejenak terdiam, menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “Dengan datang ke sini, setidaknya saya ikut berpartisipasi. Hanya ini yang bisa saya lakukan saat ini. Tapi saya yakin, perjuangan kecil ini ada artinya.”
Kalimatnya begitu menusuk. Saya mendengarnya. Sederhananya, pria ini menunjukkan keberanian luar biasa. Dia mengajarkan bahwa perjuangan tidak selalu harus besar atau heroik di mata dunia. Terkadang, keberanian untuk meninggalkan kenyamanan, menempuh perjalanan berat, dan mengorbankan waktu adalah wujud cinta dan dedikasi yang paling tulus.
Ketika rapat selesai, saya hanya bisa mengungkapkan pria itu dengan kekaguman. Dia, seorang pahlawan tanpa nama, telah mengingatkan saya akan makna pengorbanan sejati: bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar, lebih mulia.
Di tengah hiruk pikuk dunia yang sering kali melupakan nilai perjuangan, pria itu hadir sebagai pengingat bahwa cinta kepada Rasulullah SAW dan tanah air adalah alasan yang cukup untuk terus melangkah, meski langkah itu terasa berat. Dia bukan sekadar peserta rapat; dia adalah inspirasi bagi kita semua.
TTD
Sang musafir
Rembulan