Tiga Dalil dalam Diskursus Nasab: Mana yang Bisa Dipertanggungjawabkan?

*Tiga Dalil dalam Diskursus Nasab: Mana yang Bisa Dipertanggungjawabkan?*

(Catatan dari Dosen Filsafat Islam UIN Walisongo, Semarang, KH. Dr. Ubaidillah Ach Tamam Munji, atas pantauan diskusi Tuan Muda Qori dengan Dr. Ribut di Channel Padasuka TV)

 

Dalam diskursus nasab, terdapat tiga jenis dalil yang sering digunakan. Namun, hanya satu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik, sedangkan dua lainnya tidak memenuhi standar pembuktian yang sahih. Tulisan ini akan membahas ketiga dalil tersebut serta mengapa hanya satu yang valid dalam kajian ilmiah.

 

*Dalil yang Dapat Dipertanggungjawabkan: Tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani*

 

Satu-satunya dalil yang dapat dipertanggungjawabkan dalam diskursus nasab adalah hasil penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani. Kajian beliau telah dipublikasikan secara luas dalam bentuk tulisan, baik dalam format digital (PDF) maupun dalam bentuk buku. Keberadaan tulisan ini memastikan bahwa setiap orang dapat mengakses, membaca, dan mengkaji sendiri argumentasi yang disajikan.

 

Yang lebih penting, penelitian KH Imaduddin memiliki metodologi yang jelas, teori yang sistematis, dan landasan akademik yang kuat. Berbeda dengan pendekatan mistifikasi yang sering ditemukan dalam klaim nasab lainnya, penelitian ini terbuka untuk diuji secara akademis oleh siapa pun.

 

*Dalil yang Tidak Bisa Dipertanggungjawabkan: Klaim Rabithah Alawiyah*

 

Dalil kedua yang sering digunakan dalam diskursus nasab adalah klaim Rabithah Alawiyah yang mengeluarkan sertifikat intisab kepada Nabi Muhammad SAW. Sertifikat ini diberikan kepada individu-individu yang mengaku sebagai keturunan Nabi, meskipun leluhur yang diklaim tidak berasal dari Indonesia.

 

Namun, klaim ini menjadi bermasalah ketika diverifikasi dengan pendekatan akademik. Dalam sebuah seminar, Rabithah Alawiyah diberikan 12 pertanyaan untuk menguji validitas klaim mereka. Hasilnya, mereka tidak mampu memberikan jawaban yang memadai. Ketidakmampuan ini menunjukkan bahwa dalil mereka tidak memiliki landasan ilmiah yang dapat diuji.

 

*Dalil yang Dipertanyakan: Klaim Tuan Muda Qori*

 

Dalil ketiga datang dari Tuan Muda Qori, yang mencoba menggugat tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani dengan mengajukan apa yang ia sebut sebagai “antitesis.” Namun, sebelum klaim ini dapat diterima sebagai bagian dari diskursus akademik, harus ada proses verifikasi.

 

Dalam sebuah diskusi yang diadakan di Padasuka TV, posisi Tuan Muda Qori sebagai penggugat justru menunjukkan kelemahan dalam argumentasinya. Dr. Ribut, sebagai panelis, berusaha untuk memverifikasi validitas klaim Tuan Muda Qori. Seharusnya, sebagai pihak yang mengajukan antitesis, Tuan Muda Qori bertanggung jawab untuk memberikan bukti-bukti yang kuat, bukan malah berbalik mempertanyakan panelis yang bertugas menguji argumentasinya.

 

*Masalah dengan Metode Argumentasi Tuan Muda Qori*

 

Dalam dunia akademik, posisi seseorang dalam diskursus harus jelas. Jika seseorang mengajukan sebuah tesis atau antitesis, maka ia harus siap mempertanggungjawabkan klaimnya dengan bukti yang dapat diverifikasi. Tuan Muda Qori, dalam hal ini, tampak tidak memahami perannya dalam diskusi akademik.

 

Jika ia ingin menggugat tesis KH Imaduddin, maka ia harus menyediakan bukti tertulis yang sistematis, bukan hanya argumentasi lisan tanpa landasan yang kuat. Sampai saat ini, klaim yang diajukan oleh Tuan Muda Qori masih sebatas lisan dan belum berbentuk kajian akademik yang dapat diuji secara ilmiah.

 

Selain itu, terdapat inkonsistensi dalam pendekatannya. Sebelumnya, Tuan Muda Qori terlihat seolah mendukung tesis KH Imaduddin, namun kemudian berbalik arah dengan mendukung klaim Rabithah Alawiyah. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai posisi akademiknya: apakah ia benar-benar memiliki dasar penelitian yang kuat, ataukah hanya sekadar mengikuti arus untuk kepentingan tertentu?

 

*Kesimpulan: Perlunya Kejujuran Akademik dalam Diskursus Nasab*

 

Diskursus nasab harus didasarkan pada standar akademik yang jelas. Dari tiga dalil yang telah disebutkan, hanya penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani yang memenuhi kriteria ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

 

Sebaliknya, klaim Rabithah Alawiyah terbukti tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis terkait keabsahan nasab yang mereka klaim. Sementara itu, dalil yang diajukan oleh Tuan Muda Qori juga tidak memenuhi standar akademik, karena masih dalam bentuk lisan dan tidak didukung oleh metodologi yang jelas.

 

Utuk menjaga integritas keilmuan dalam kajian nasab, siapapun yang mengajukan klaim harus siap mempertanggungjawabkannya dengan bukti yang dapat diuji. Jika tidak, maka klaim tersebut tidak lebih dari sekadar opini tanpa dasar yang kuat.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *