*Blunder Ilmiah dalam Buku ‘Keabsahan Nasab Ba’alwi’ (Bab 1) : Analisis Kritis Berbasis Ilmu Nasab dan Sejarah*
*Blunder dalam Bab 1 Buku Keabsahan Nasab Ba’alwi*
(Tulisan diambil dari buku KETIDAKABSAHAN NASAB BA’ALWI – Karya KH.Ja’far Shodiq Fauzi)
*1. Inkonsistensi dalam Tolak Ukur Keabsahan Nasab*
Dalam bab pertama buku Keabsahan Nasab Ba’alwi, penulis tampak berupaya menjelaskan standar keabsahan suatu nasab dalam perspektif ilmu nasab dengan mengutip kaidah pengisbatan dari Kitab Rosa’il Fi Ilmi Ansab, halaman 101:
“Tetapnya nasab itu dengan bukti-bukti yang jelas dan keterangan yang tsabit (terbukti kebenarannya), dan tidak bisa nasab itu tetap berdasarkan kesyubhatan (sesuatu yang belum jelas kebenarannya).”
Namun, pada bab-bab berikutnya, penulis justru melanggar kaidah yang mereka uraikan sendiri. Mereka menyajikan argumentasi yang didasarkan pada dalil-dalil yang syubhat (ambigu) dan tidak memiliki kejelasan bukti serta referensi yang valid sesuai standar ilmu nasab.
*2. Penggunaan Manuskrip yang Tidak Terverifikasi*
Banyak kutipan yang diambil dari manuskrip yang masih berupa dokumen pribadi. Padahal, dalam dunia akademik, manuskrip harus ditahqiq (diteliti dan diverifikasi) sebelum dijadikan referensi yang sah dalam penelitian ilmiah. Penggunaan manuskrip yang belum diverifikasi menunjukkan ketidaktepatan dalam metode penelitian mereka dan membuka celah terhadap validitas argumentasi mereka.
*3. Gagalnya Kaedah Syuhroh wal Istifadhoh*
Dalam buku ini, penulis tampaknya lebih berusaha menggiring opini bahwa nasab Ba’alwi sudah terisbat (ditetapkan) berdasarkan kaidah Syuhroh wal Istifadhoh. Namun, kaidah tersebut sebenarnya tidak terpenuhi karena beberapa alasan:
- Kepopuleran nasab tidak didukung oleh informasi mutawatir (kesaksian turun-temurun) yang kuat.
- Tidak adanya penolakan umum terhadap nasab Ba’alwi adalah klaim yang tidak berdasar, karena justru ada banyak bukti tertulis yang bertentangan dengan pengakuan mereka.
- Tidak adanya penisbatan awal yang kuat terhadap leluhur mereka di zaman yang sezaman.
- Tidak adanya pengakuan dari keluarga asal (keturunan Syekh Ahmad bin Isa) yang mendukung klaim Ba’alwi.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, syuhroh dan istifadhoh nasab Ba’alwi tidak valid, sehingga wajar jika KH. Imaduddin Usman al-Bantani meminta bukti dari kitab sezaman untuk memverifikasi keterputusan sanad periwayatan nasab mereka yang selama lebih dari 550 tahun tidak memiliki bukti historis yang konkret.
*4. Gagalnya Kaedah Kitab Nasab Sezaman*
Dalam ilmu nasab, jika kaidah pertama (Syuhroh wal Istifadhoh) gagal, maka metode kedua adalah merujuk pada kitab nasab ulama yang kredibel dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan Kitab Rosa’il Fi Ilmi Ansab, halaman 103:
“Metode yang kedua yaitu kitab-kitab ulama nasab yang berkesinambungan, ulama yang kredibel, para peneliti yang benar, yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan amatir yang sembrono dan para pemalsu yang dusta, apalagi jika kitab-kitab tersebut populer dan menyebar.”
Kitab-kitab nasab yang ada sejak abad ke-4 hingga sekarang tidak pernah mencatat bahwa Ubaidillah adalah putra Syekh Ahmad bin Isa. Bahkan, hal ini dikonfirmasi oleh keluarga Al-Qobiji, salah satu keturunan Syekh Ali bin Syekh Ahmad bin Isa. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ansab Al-Asya’ir Al-Arobiyah Fi Najfi i Al-Asyraf, halaman 85:
“As-Syarif Ali bin As-Syarif Ahmad al-Abah yang berhijrah ke Lembah Sungai Indus (Pakistan-Sindh) dari Baghdad pada tahun 313 Hijriyah.”
Oleh karena itu, nasab Ba’alwi tidak memiliki dukungan dari kitab-kitab nasab yang kredibel dan tidak memenuhi standar keilmuan dalam ilmu nasab.
*5. Tidak Memiliki Syahadah Nasab dari Naqobah Internasional*
Dalam kitab Al-Madkhol Ila Ilmi Al-Ansab, halaman 87, dikutip dari Kitab Al-Umm dan Mukhtashor Al-Muzani:
“Boleh memberikan syahadah (kesaksian) jika belum pernah mendengar penolakan, dan tidak ada dalil yang menjadikan keraguan terhadap nasab tersebut.”
Namun, dalam kasus Ba’alwi, tidak ada pengakuan dari keluarga keturunan Syekh Ahmad bin Isa yang menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari keluarga tersebut. Hal ini membuktikan bahwa mereka tidak memiliki Syahadah Nasab (Sertifikat Resmi Penetapan Nasab) dari Naqobah Internasional.
*6. Manipulasi dalam Pengisbatan Nasab*
Buku nasab (paspor nasab) yang mereka keluarkan selama ini merupakan bentuk manipulasi dalam pengisbatan nasab. Mereka bahkan mengandalkan kasyaf (penglihatan batin) dan mimpi untuk menetapkan lokasi makam Syekh Ahmad bin Isa dan menentukan garis keturunan mereka. Padahal, dalam Kitab Muqoddimat Fi Ilmil Ansab, halaman 87, disebutkan:
“Sesungguhnya nasab itu tidak bisa ditetapkan dengan kasyaf (pandangan batin) dan tidak bisa tetap dengan mimpi-mimpi, tetapi harus dengan bukti arkeologis yang menunjukkan keberadaannya serta kabar yang populer dan termasyhur sejak dahulu.”
Hal ini menunjukkan bahwa metode yang mereka gunakan dalam menetapkan nasab tidak sesuai dengan standar ilmu nasab yang benar.
*Kesimpulan*
- Nasab Ba’alwi tidak tsabit (terverifikasi) karena tidak adanya alamat wadlihat (bukti-bukti arkeologi) dan bayyinat tsabitat (bukti kitab sezaman). Nasab tidak bisa tsabit berdasarkan dalil-dalil yang syubhat.
- Syuhroh dan Istifadhoh nasab Ba’alwi tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.
- Nasab Ba’alwi tidak sahih, karena tidak di-istbat dengan bukti syar’i dan tidak memenuhi standar kaidah ilmu nasab.
Dengan demikian, klaim keabsahan nasab Ba’alwi dalam buku ini justru mengandung banyak blunder dan inkonsistensi yang menunjukkan ketidakvalidan klaim mereka.