Kritik Ilmiah terhadap Sumber dalam Buku Keabsahan Nasab Ba’alwi yang Diterbitkan oleh Klan Ba’alwi

“Kritik Ilmiah terhadap Sumber dalam Buku Keabsahan Nasab Ba’alwi yang Diterbitkan oleh Klan Ba’alwi”

Tulisan diambil dari buku  KETIDAKABSAHAN NASAB BA’ALWI  – Karya KH.Ja’far Shodiq Fauzi

Sebelum membahas satu per satu sumber nasab yang mereka lampirkan, kami ingin mengutip sebuah pernyataan dalam kitab Muqaddimat fi Ilmil Ansab halaman 85:

*”Tidak bisa dijadikan hujjah banyaknya sumber-sumber jika semua sumber tersebut dinukil dari satu ushul yang sama.”*

Memahami pernyataan ini, kritik terhadap sumber menjadi hal yang sangat penting dalam penelitian status sebuah nasab. Sebanyak apa pun sumber yang digunakan sebagai dalil, tidak akan memiliki kekuatan hujjah jika semuanya merujuk pada satu sumber yang bermasalah. Misalnya, jika semua kitab yang mereka gunakan menyebut nama Abdullah, maka pasti sumbernya adalah Kitab Assuluk fi Thabaqatil Ulama’ wal Muluk karya Al-Janadi dari abad ke-8 Hijriyah yang bermasalah dari sisi sumbernya. Begitu pula jika menyebut nama Ubaidillah, maka sumbernya pasti Kitab Al-Burqoh Al-Mutsiqoh karya Syaikh Ali As-Sakran dari abad ke-9 Hijriyah.

Lantas, apa gunanya melampirkan berbagai sumber jika semuanya tetap merujuk pada satu sumber yang sama? Hal ini tidak lain hanya bertujuan untuk menggiring opini pembaca awam dengan mendompleng kebesaran nama ulama terkemuka. Berikut ini kami akan menguraikan satu per satu penjelasan dan bantahan terhadap beberapa sumber yang mereka jadikan hujjah:

 

*1. Kitab An-Nafhah Al-Ambariyah oleh An-Nassabah Muhammad Kazhim bin Abil Futuh Al-Yamani Al-Musawi (w. 880 H)*

Kitab ini tidak dapat dijadikan hujjah atas keshahihan nasab Ba’alwi karena masih berupa manuskrip/dokumen pribadi. Dalam Kitab Rosa’il fi Ilmil Ansab halaman 103 disebutkan:

“Adapun jika kitab rujukannya masih berbentuk manuskrip, maka wajib ditahqiq terlebih dahulu dan dilakukan komparasi terhadap salinan-salinan manuskripnya.”

Selain itu, dalam kitab An-Nafhah Al-Ambariyah tidak disebutkan silsilah nasab yang mencantumkan Ubaid, Alwi, Muhammad, Alwi Ats-Tsani, Ali Khali Qasam, Muhammad Shohib Mirbat, dan seterusnya. Yang disebutkan hanya silsilah nasab Abi Alawi bin Abil Jadid. Ini menunjukkan adanya manipulasi atau penyimpangan data.

 

*2. Kitab Tuhfatut Thalib oleh Al-Nassabah As-Sayyid Muhammad bin Al-Husein Al-Huseini As-Samargandi Al-Madani (w. 996 H)*

Kitab ini berasal dari abad ke-10 Hijriyah dan tidak memiliki sumber otentik yang mendukung pernyataan mengenai hijrahnya Ahmad bin Isa ke Yaman. Dalam Kitab Thabaqat Fuqaha’i Al-Yaman karya Ibnu Samurah dan As-Suluk fi Thabaqat Al-Ulama’ wal Muluk karya Al-Janadi, tidak ditemukan pernyataan tentang hijrah Ahmad bin Isa.

Selain itu, banyak data dalam kitab ini merujuk pada Kitab An-Nafhah Al-Ambariyah. Jika Ubaidillah dimasukkan dalam nasab Abdullah, maka terjadi “adroj” (pemalsuan data). Kitab ini juga merujuk pada Kitab Al-Burqoh Al-Musyiqoh, yang tidak bisa dijadikan hujjah karena referensinya tidak jelas dan menyelisihi kitab-kitab nasab terdahulu.

 

*3. Kitab Tuhfatul Azhar wa Zala’ilu Al-Anhar oleh An-Nassabah Al-Sayyid Dhamin bin Syadqum (hidup pada 1090 H)*

Dalam jilid 3 halaman 95, kitab ini menyebutkan bahwa Ahmad Al-Abah memiliki gelar “Nidzomuddin” dan bahwa keturunannya termasuk Abdullah, yang memiliki anak bernama Alwi dan Isma’il. Namun, terdapat beberapa kesalahan fatal:

  • Gelar “Nidzomuddin” tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab nasab terdahulu.
  • Data yang disajikan tidak berkesinambungan (tidak abdal).
  • Nama-nama anak Abdullah seperti Alwi dan Isma’il ditambahkan tanpa sumber referensi yang jelas.

Dengan demikian, kitab ini tidak dapat dijadikan sumber referensi yang valid untuk mengisbatkan nasab.

 

*4. Kitab-kitab An-Nassabah Abu ‘Allamah Muhammad bin Abdullah Al-Muayadi Al-Hasani (abad ke-11)*

Dalam Kitab Thabaqat An-Nassabin karya Bakar Abu Zeid halaman 165, disebutkan bahwa beliau adalah seorang Syiah Zaidiyah dari Yaman. Beberapa karya nasabnya antara lain:

  • Roudlotut Thullab
  • Tuhfatul Ahbab
  • Bughyatut Thullab
  • Nuhbatul Ahsab Lima’rifatil Ansab

Namun, kitab Roudlotul Albah Lima’rifatil Ansab, yang disebut dalam Buku Keabsahan Nasab Ba’alwi halaman 16, tidak termasuk dalam daftar karya beliau. Selain itu, jika suatu kitab nasab bertentangan dengan kitab nasab terdahulu (ushul), maka kitab tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Hal ini sesuai dengan kaidah ilmu nasab dalam Muqaddimat fi Ilmil Ansab halaman 58:

“Catatan atau kitab nasab yang bertentangan dengan ushulnya tidak bisa dijadikan rujukan.”

 

*5. Kitab Ar-Roudlul Jali oleh Al-Nassabah Al-Hafidz Murtadha Az-Zabidi*

Kitab ini diragukan keasliannya oleh muhaqqiq-nya, Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, dalam Ta’liqot halaman 47:

“Dari banyaknya kerancuan dalam kitab Ar-Roudlul Jali, maka tidak mungkin jika sumbernya adalah Murtadha Az-Zabidi.”

Bahkan jika benar kitab ini berasal dari Az-Zabidi, tetap tidak dapat dijadikan hujjah karena:

  1. Banyak kesalahan dan kerancuan dalam isinya.
  2. Sumber informasinya tidak shahih karena bertentangan dengan kitab-kitab ulama nasab terdahulu.

Dalam Kitab Rosa’il fi Ilmil Ansab halaman 103 disebutkan:

“Kitab-kitab nasab harus berkesinambungan dengan sumber terdahulu.”

 

*6. Al-Nassabah Syaikh al-Syaraf al-Ubaidili (w. 435 H)*

Dalam buku Keabsahan Nasab Ba’alawi, disebutkan bahwa Syaikh al-Syaraf al-‘Ubaidili menjelaskan hijrahnya Ahmad bin Isa dari Madinah ke Bashrah pada dekade kedua abad ke-4 Hijriah. Selanjutnya, ia bersama putranya, Abdullah, pergi ke Hadramaut, Yaman. Pernyataan ini kemudian dikutip oleh al-Imam al-Hafidz al-Musnid al-Nassabah Muhammad Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H) dalam kitab al-Raudhu al-Jaliy fi Nasabi Banî ‘Alawi. Namun, ada beberapa permasalahan terkait validitas sumber ini:

  1. “Khabar Majhul” (Informasi Tidak Jelas)
    Tidak ditemukan pernyataan langsung dari Ubaidili dalam kitab mana pun yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Yaman bersama putranya Abdullah/Ubaidillah. Sumber yang tidak jelas kebenarannya tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah nasab.
  2. “Makhthûth” (Manuskrip Belum Ditahqiq)
    Sebuah sumber informasi dalam bentuk manuskrip tidak dapat dijadikan hujjah sebelum melalui proses tahqiq. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Rosa’il Fi Ilmil Ansab (hal. 103):

“Adapun jika (sumbernya) masih berupa manuskrip maka wajib ditahkik terlebih dahulu dan dikomparasi datanya dari beberapa salinan.”

  1. “Mafqûd” (Sumber Hilang atau Tidak Ada)
    Tidak bisa diterima secara akademis jika suatu sumber referensi dinyatakan hilang, tetapi isinya tetap digunakan sebagai dasar argumen. Dalam kitab Rosa’il Fi Ilmi Ansab (hal. 166) disebutkan:

“Jika terdapat silsilah dalam sebuah kitab yang dinisbahkan kepada seorang tokoh, sedangkan kitab tersebut tidak ada wujudnya karena alasan hilang, terbakar, atau rusak, maka hal tersebut adalah sebuah kebohongan belaka yang tidak memiliki fakta dan realitas.”

 

*7. Al-Nassabah Abu Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi (w. 1273 H)*

Berdasarkan analisis historis, kitab ini ditulis pada abad ke-10 Hijriah. Namun, tidak ada sumber otentik yang mendukung klaim hijrahnya Ahmad bin Isa ke Yaman, kecuali dari kitab Al-Burgoh Al-Musyiqoh. Karena sumber ini tidak memiliki referensi yang jelas, maka kitab tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.

Selain itu, dalam Mu’jam As-Suyukh disebutkan bahwa Abdul Aziz Al-Fasi tidak dianggap tsiqah (terpercaya) karena termasuk dalam kategori Mutthorib (sering mengada-ngada). Dengan demikian, sumber yang digunakan menjadi semakin diragukan.

 

*8. Al-Nassabah Syeikh Mahdi Ar-Roja’i*

Dalam buku Keabsahan Nasab Ba’alawi, dinyatakan bahwa banyak nasab ahli kontemporer memasukkan Ba’alawi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad SAW. Salah satu yang dikutip adalah al-Nassabah Mahdi Raja’i, karena beliau mentahqiq kitab As-Syajarah al-Mubarakah yang digunakan oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani dalam membatalkan klaim nasab Ba’alawi.

Namun, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan:

  1. Latar Belakang Syeikh Mahdi Ar-Roja’i
    • Beliau adalah seorang ulama Syi’ah asal Iran.
    • Beliau adalah murid Ayatullah Al-Mar’asyi, seorang ahli nasab asal Iran.
    • Beliau mentahqiq kitab As-Syajarah Al-Mubarakah.
  2. Inkonsistensi dalam Sikap Pendukung Nasab Ba’alawi Awalnya, kitab As-Syajarah Al-Mubarakah ditolak oleh klan ba’alwi karena ditahqiq oleh Syeikh Mahdi Ar-Roja’i yang bermazhab Syi’ah. Namun, ketika beliau menyatakan bahwa nasab Ba’alawi adalah sah, mereka klan ba’alwi justru menjadikannya sebagai rujukan. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan mereka klan ba’alwi dalam menggunakan sumber ilmiah.
  3. Bantahan terhadap Pernyataan Syeikh Mahdi Ar-Roja’i Dalam kitab Al-Mu’qibun, beliau menyatakan:

“Di antara yang demikian itu, jika para nassabah berkata (dengan menggunakan jumlah ismiyah), maka itu menunjukkan bahwa jumlah keturunannya sudah meliputi keseluruhan jumlahnya.”

Dalam As-Syajarah Al-Mubarakah, Fakhruddin Ar-Razi menggunakan “Shighot Haser” (bentuk pembatasan) dalam menyebutkan putra-putra Syekh Ahmad bin Isa, yaitu hanya tiga orang: Muhammad, Ali, dan Husein. Tidak ada penyebutan Ubaidillah, yang diklaim sebagai leluhur Ba’alawi.

 

*Kesimpulan*

Berdasarkan analisis terhadap berbagai sumber di atas, terdapat beberapa kelemahan dalam klaim keabsahan nasab Ba’alawi:

  1. Tidak adanya bukti kuat dari kitab asli yang menyebut Ahmad bin Isa berhijrah ke Yaman bersama putranya Ubaidillah.
  2. Penggunaan sumber yang tidak jelas, berupa manuskrip yang belum ditahqiq atau referensi yang hilang.
  3. Inkonistensi dalam menerima sumber—kitab yang awalnya ditolak justru kemudian dijadikan rujukan ketika isinya menguntungkan.
  4. Kitab As-Syajarah Al-Mubarakah sendiri tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai putra Syekh Ahmad bin Isa.

 

Dari berbagai analisis terhadap kitab-kitab yang mereka jadikan hujjah, jelas bahwa sumber-sumber yang mereka gunakan memiliki banyak kelemahan, baik dari segi validitas manuskrip, kesinambungan data, maupun ketidaksesuaian dengan kitab-kitab nasab terdahulu. Oleh karena itu, semua kitab ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan keshahihan nasab Ba’alwi.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *