Kebodohan Kolektif dan Matinya Akal: Mengapa Masih Banyak yang Percaya Nasab Palsu Kabib Klan Ba’alwi

*Kebodohan Kolektif dan Matinya Akal: Mengapa Masih Banyak yang Percaya Nasab Palsu Kabib Klan Ba’alwi*

Di tengah terang benderangnya bukti ilmiah yang mengungkap ketidaksahihan nasab Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, ironisnya, sebagian besar masyarakat justru masih takzim, patuh, bahkan rela menutup akal sehat demi mempertahankan keyakinan palsu. Ini bukan sekadar fenomena keagamaan, melainkan tragedi intelektual: matinya akal dalam masyarakat yang telah lama dikondisikan untuk tidak berpikir kritis.

 

*Kebodohan yang Dipelihara dan Kurangnya Literasi*

Salah satu sebab utama mengapa sebagian masyarakat masih tunduk pada narasi palsu ini adalah karena kebodohan yang struktural—yakni kebodohan yang dipelihara. Literasi sejarah, ilmu nasab, dan sains genetika nyaris absen dalam pendidikan publik. Bahkan ketika bukti genetik, sejarah, dan filologi telah tersedia secara terbuka, mereka tetap lebih percaya pada dongeng-dongeng turun-temurun yang tidak pernah bisa dibuktikan secara akademik.

Padahal, fungsi utama akal dalam Islam adalah untuk membedakan antara yang benar dan yang bathil. Ketika akal tidak difungsikan, maka agama tidak lagi menjadi jalan pencerahan, tetapi berubah menjadi sarana kultus dan perbudakan spiritual.

 

*Kyai Hapal Kitab, Tapi Tidak Memahami Esensi*

Yang lebih menyedihkan, sebagian dari kalangan kiai—yang dianggap sebagai penjaga moral dan ilmu umat—justru ikut mengukuhkan narasi sesat tersebut. Mereka memang hafal kitab, menguasai ilmu nahwu-sharaf, bahkan mengisi forum-forum pengajian. Tapi jika ditelisik lebih dalam, mereka sama tidak berfungsinya secara akal sehat seperti kaum awam yang mereka pimpin.

Ilmu mereka berhenti pada hafalan. Mereka tidak memfungsikan ilmu untuk mencari kebenaran yang hakiki. Ketika berhadapan dengan argumen-argumen akademik berbasis ilmu sejarah, filologi, dan genetika, mereka bungkam. Mereka memilih jalan nyaman: mengikuti arus mayoritas demi kedudukan, ketenaran, atau ketakutan terhadap stigma.

Sesungguhnya mereka ini bukan bodoh karena tidak tahu, tapi karena memilih untuk menonaktifkan fungsi akal dan nurani. Dan dalam pandangan Islam, orang semacam ini bahkan bisa lebih rendah dibanding yang awam: tahu tapi tidak mau jujur.

 

*Bukti Ilmiah Sudah Terang Benderang*

Sudah tak terhitung kajian dan penelitian yang menunjukkan bahwa:

  • Secara sejarah, tidak ada dokumen otentik yang menyambungkan nasab Ba’alwi ke Nabi Muhammad SAW secara sahih dan bersanad valid.
  • Secara filologis, nama “Ubaidillah bin Ahmad bin Isa” tidak pernah muncul dalam dokumen-dokumen mutawatir awal sebelum dikarang belakangan abad ke-9 Hijriah.
  • Secara genetika, mayoritas Klan Ba’alwi terbukti memiliki haplogroup G, bukan J1 seperti garis Nabi Muhammad SAW dan bangsa Arab Quraisy.
  • Secara perilaku, banyak dari mereka memperlihatkan sifat yang bertentangan dengan akhlak kenabian—menjual agama, memalsukan sejarah, dan mengkultuskan diri.

 

*Ketika Ilmiah Dibalas Makian*

Lebih parah lagi, respons terhadap kajian ilmiah dan tafsir Al-Qur’an malah dibalas dengan kebencian primitif. Dalam sebuah grup WhatsApp, artikel ilmiah yang mengungkap kebenaran tentang nasab Klan Ba’alwi justru dibalas dengan caci maki:

“Lo ngerti apa anak PKI, tukang fitnah anjing”

Inikah cerminan dari “keturunan Nabi”? Alih-alih menyuguhkan bantahan yang berbasis dalil, mereka menunjukkan bahwa satu-satunya senjata mereka adalah makian, bukan argumentasi.

 

*Penutup: Waktunya Umat Bangkit dengan Akal dan Hati*

Sudah saatnya umat Islam—baik yang awam maupun para kiai—kembali kepada Al-Qur’an dan akal sehat. Menguji kebenaran tidak cukup hanya dengan “katanya habib,” tetapi harus dengan ilmu dan integritas. Kebenaran tidak ditentukan oleh silsilah buatan, gelar kehormatan, atau klaim turun-temurun. Ia ditentukan oleh dalil, bukti, dan kejujuran ilmiah.

Bagi yang masih mempertahankan klaim palsu meski bukti telah jelas, maka mereka bukan sedang membela Nabi, tapi sedang mempermainkan agama atas nama Nabi.

“Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS Al-Mu’minun: 115)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *