*Islam Agama Akal Sehat dan Moral: Bukan Agama Amarah dan Kekerasan*
Hari ini, sebagian umat Islam terjebak dalam kegelapan yang menyamar sebagai cahaya. Mereka mengikuti tokoh bukan karena ilmu, bukan karena akhlak, tapi karena retorika lantang dan emosi yang membakar. Mereka lupa bahwa Islam tidak pernah mengajarkan mengikuti seseorang tanpa akal, tanpa ilmu, dan tanpa hati nurani.
Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith adalah dua figur yang menjadi simbol kerusakan narasi keagamaan di tengah umat. Di balik takbir mereka terselip seruan kebencian. Di balik sorban mereka tersembunyi racun permusuhan. Padahal Islam datang membawa rahmat, bukan laknat.
*Umat yang Tidak Berakal: Tertipu dan Tersesat*
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan:
> “Kebodohan adalah penyakit yang lebih berbahaya daripada penyakit fisik. Karena orang bodoh akan mudah tertipu, tersesat, dan menyesatkan.”
Maka tak heran bila banyak dari umat saat ini mengikuti Bahar atau Rizieq hanya karena dikira membela agama, padahal sejatinya mereka sedang membela amarah pribadi yang dibungkus agama.
Bukankah Rizieq Shihab pernah menyerukan untuk berperang melawan bangsa pribumi Indonesia? Bukankah Bahar bin Smith pernah menyuruh pengikutnya membunuh kiai yang berbeda pandangan dengannya?
Apakah perbedaan pandangan ulama dalam soal pemikiran harus diselesaikan dengan ancaman, pentungan, dan parang? Dimana letak akal umat?
*Dalil: Islam Memuliakan Akal dan Ilmu*
Al-Qur’an tidak pernah lelah mengingatkan:
> “Apakah kamu tidak menggunakan akal?” (QS. Al-Baqarah: 44)
“Tidakkah mereka merenung dan memahami?” (QS. Muhammad: 24)
Bahkan Imam Abu Hanifah, ulama besar Aswaja, membangun pondasi keilmuannya dengan logika dan akal sehat yang kuat. Beliau berkata:
> “Barangsiapa yang menggunakan akalnya dalam memahami agama, maka ia akan selamat dari kesesatan.”
Sayangnya, banyak umat yang hari ini tak punya literasi agama, tak belajar kepada ulama sejati, dan hanya ikut karena viral. Mereka bertakbir sambil membawa senjata tajam, niat membunuh sesama muslim—hanya karena beda pendapat. Sungguh jauh dari Islam.
*Khawarij: Leluhur Ideologi Kekerasan*
Apa yang dilakukan oleh Rizieq dan Bahar adalah cerminan dari ideologi Khawarij, yaitu kelompok sesat yang mudah mengkafirkan, memecah belah umat, dan menghalalkan darah sesama muslim.
Imam Hasan al-Bashri (ulama tabi’in) menyatakan tentang Khawarij:
> “Mereka adalah kaum yang bodoh, banyak hafalan tapi sedikit pemahaman. Mereka membaca al-Qur’an tapi tidak memahami maknanya.”
(Lihat Tafsir Al-Qurthubi, QS. Ali Imran: 7)
Bukankah itu juga ciri yang terlihat hari ini pada para provokator agama—banyak teriak takbir, tapi isi ceramahnya penuh caci maki dan ancaman?
*Islam Agama Ilmu dan Moral*
Perbedaan pendapat adalah rahmat. Imam Malik pernah berkata:
> “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya, kecuali penghuni kubur ini (sambil menunjuk ke makam Rasulullah SAW).”
Jadi, mengapa ketika berbeda pendapat, lalu diserukan pembunuhan? Bukankah itu teror? Bukankah itu radikalisme yang tidak sesuai ajaran Islam?
*Bangun Kesadaran Umat: Jangan Ikut Buta*
Wahai umat Islam, sadarilah. Jangan jadi korban dari para pemuka amarah. Jangan ikut dalam arus kekerasan yang dibungkus agama.
Bayangkan, kalian bertakbir tapi mengangkat golok untuk membunuh saudara seiman. Kalian membela agama dengan cara yang justru menghancurkan citra agama. Apa kalian ingin Islam dikenal sebagai agama “okol” (kekerasan)? Islam bukan agama barbar. Islam adalah agama orang berakal dan bermoral.
Jika kalian terus mengikuti tokoh-tokoh seperti Rizieq dan Bahar, maka kalian sedang menjauh dari akhlak Rasulullah SAW, menjauh dari warisan para ulama Aswaja yang selalu menjunjung tinggi ilmu, akhlak, dan cinta damai.
—
*Penutup: Kembali kepada Ulama Aswaja, Bukan Provokator Jalanan*
Ulama Aswaja tidak pernah mengajarkan umat untuk menghina, menghasut, atau menyerang sesama muslim. Mereka mengajarkan hikmah, kesabaran, dan ilmu yang menyejukkan. Kembalilah kepada mereka. Bukan kepada mereka yang hanya bisa berteriak dan memecah belah bangsa.
“Orang bodoh itu bukan hanya yang tak bersekolah, tapi yang tak menggunakan akalnya ketika mengambil sikap.” – KH. Hasyim Asy’ari.
—