Kekecewaan Seorang Nahdliyyin atas Lahirnya JATMA: Di Mana Ruh Persatuan Thariqah?
Oleh: Seorang Nahdliyyin dan Pengamal Thariqah
Sebagai warga Nahdliyyin dan pengamal thariqah, saya diliputi kegelisahan dan tanda tanya besar atas deklarasi organisasi tandingan bernama JATMA Aswaja yang dilakukan oleh Habib Luthfi bin Yahya bersama Helmy Faishal Zaini pada Jumat, 18 April 2025 di Kanzus Sholawat, Pekalongan. Organisasi ini diklaim sebagai wadah baru bagi para pengamal thariqah, berdiri secara independen dengan legalitas dari Kemenkumham.
Lalu, di mana posisi JATMAN PBNU yang selama ini menaungi kami para pengamal thariqah mu’tabarah? Bukankah Habib Luthfi sendiri pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam JATMAN dan menjadi simbol kesatuan para salik dalam naungan Nahdlatul Ulama?
Deklarasi JATMA menimbulkan luka batin yang tidak kecil bagi kami. Thariqah adalah jalan ruhani, bukan jalan politik. Ia tumbuh dalam diam, dalam ikhlas, dalam pengabdian yang penuh cinta. Lalu mengapa sekarang muncul organisasi tandingan yang justru membuka peluang polarisasi di tubuh kaum sufi?
Saya tidak menuduh. Namun, sebagai murid dan pengamal thariqah, saya merasa berhak bertanya: apakah pendirian organisasi baru ini lahir dari musyawarah ruhani, atau dari kekecewaan dan ambisi pribadi?
Kami telah lama dibimbing untuk tidak terpikat pada dunia dan kuasa. Tapi kini kami justru melihat dunia memasuki rumah thariqah melalui jalur organisasi baru yang bersifat independen dan lepas dari struktur Nahdlatul Ulama.
Saya kecewa. Bukan karena ingin membela satu kelompok, tapi karena khawatir: thariqah yang seharusnya membawa pencerahan malah bisa terseret ke pusaran konflik organisasi. Sufi sejati tak mendirikan tandingan, ia mendirikan cinta dan kebijaksanaan.
Kini saatnya kita merenung: apakah pendirian organisasi tandingan ini mencerminkan ajaran sufistik sejati? Apakah ia lahir dari semangat persatuan atau justru membawa pesan pemisahan? Sebagai warga Nahdliyyin dan pengamal thariqah, saya memohon kepada para masyayikh dan mursyid untuk memikirkan kembali langkah ini demi ukhuwah dan kelestarian sanad ruhani kita bersama.
Mari kita jaga ruh tasawuf agar tetap bersinar—tanpa noda ambisi dan polarisasi.
Wallahul Musta’an.
—