Ajaran Martabat Tujuh dari Nusantara yang Menggegerkan Dunia Islam pada Abad ke-16

*Ajaran Martabat Tujuh dari Nusantara yang Menggegerkan Dunia Islam pada Abad ke-16*

Pada abad ke-16, terjadi ketegangan di Nusantara mengenai ajaran sufi yang dikenal sebagai Wahdatul Wujud atau Kesatuan Wujud. Ajaran ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240 M) dan Abd al-Karim al-Jili (1365-1402 M), yang kemudian disebarkan melalui karya Syeikh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanfuri dalam kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby . Karya ini mengajarkan konsep “Martabat Tujuh”, yang kemudian menggegerkan dunia Islam, terutama ketika ajaran tersebut mulai menyebar di Nusantara.

 

*Penyebaran Martabat Tujuh di Nusantara*

Ajaran Martabat Tujuh yang dibawakan dari Gujarat oleh Syeikh al-Burhanfuri memiliki pengaruh yang mendalam terhadap pemikiran mistik di Aceh. Pada abad ke-17, beberapa tokoh sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Rauf dari Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri menjadi pengembang utama ajaran ini di Nusantara.

Martabat Tujuh adalah ajaran tentang bagaimana Allah menampakkan diri-Nya melalui tujuh tingkatan keberadaan, dari yang paling abstrak hingga yang paling konkret. Ajaran ini menjadi dasar bagi banyak intelektual di kalangan ulama Nusantara dan dunia Islam pada masa itu.

 

*Penjelasan Martabat Tujuh*

Berikut adalah penjelasan singkat mengenai tujuh tingkatan dalam Martabat Tujuh:

  1. *Martabat Ahadiyah*
    Ini adalah martabat pertama yang disebut “Martabat la Ta’yun” atau “Martabat Ketakterdefinisi.” Pada tingkat ini, Wujud Allah masih suci dan tidak terikat oleh apapun. Ini adalah martabat esensi-Nya yang paling murni.
  2. *Martabat Wahdah*
    Martabat kedua adalah ilmu Allah tentang Dzat-Nya dan segala ciptaan dalam bentuk global. Martabat ini dikenal sebagai “Martabat al-Wahdah” atau Kesatuan.
  3. *Martabat Wahidiyah*
    Ini adalah martabat ketiga, di mana ilmu Allah mulai mencakup perincian dan pembedaan. Disebut juga sebagai “Martabat Al-Wahidiyah.”
  4. *Martabat ‘Alam Arwah*
    Martabat keempat adalah alam roh, yang menjadi dasar bagi segala ciptaan yang lebih konkret.
  5. *Martabat ‘Alam Mitsal*
    Ini adalah martabat bentuk-bentuk halus, yang tidak lagi menerima pembagian atau perubahan.
  6. *Martabat ‘Alam Ajsam*
    Martabat ini adalah alam materi, di mana segala sesuatu terlihat dan dapat dibedakan.
  7. *Martabat Insan*
    Martabat terakhir adalah manusia, yang merupakan bentuk manifestasi tertinggi dari Allah. Manusia dianggap sebagai cerminan sempurna dari Wujud Ilahi.

 

*Kontroversi di Kalangan Ulama Nusantara*

Ajaran Martabat Tujuh menimbulkan kontroversi di kalangan ulama fiqh (hukum Islam) di Nusantara. Banyak yang menolak penyebaran ajaran ini karena dianggap terlalu sulit dipahami oleh umat awam dan dapat menimbulkan penyimpangan dalam pemahaman keagamaan. Para ulama di berbagai pesantren Nusantara pun mengajarkan ajaran ini disebarkan secara terbuka.

 

*Syeikh Ibrahim al-Kurani dan Rekonsiliasi Pemikiran*

Untuk meredakan konflik intelektual ini, Syeikh Ibrahim al-Kurani, seorang ulama besar dari dunia Islam, menulis karya Ithaf al-Dhaki sebagai tanggapan atas permintaan murid sekaligus sahabatnya, Syeikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri. Al-Kurani berusaha menyatukan dua kutub pemikiran yang bertentangan: antara syari’ah (hukum Islam) dan hakikat (tasawuf).

Dalam karyanya, Syeikh al-Kurani menekankan bahwa tidak ada pertentangan antara syari’at dan hakikat. Ia menggunakan prinsip al-Jam’u Muqaddam ‘ala al-Tarjih , yaitu menggabungkan pemahaman yang tampaknya bertentangan sebagai upaya rekonsiliasi. Menurutnya, ajaran tasawuf seperti Wahdatul Wujud tidak bertentangan dengan syari’ah jika dipahami dengan benar.

 

*Pengaruh Syeikh al-Kurani di Nusantara*

Pemikiran Syeikh al-Kurani yang damai dan toleran memiliki pengaruh besar dalam menyatukan berbagai pandangan yang bertentangan di Nusantara. Ia berhasil menciptakan dialog intelektual yang sehat antara para pendukung tasawuf dan para ulama fiqh, sehingga tradisi keilmuan dan keberagamaan di Nusantara berkembang dengan lebih harmonis.

Melalui karya-karyanya, Syeikh al-Kurani telah membantu membentuk landasan intelektual yang kuat bagi Islam Nusantara, yang terkenal dengan keragaman dan toleransinya.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *