“Sampai singa memiliki sejarawannya sendiri, sejarah perburuan akan selalu memuliakan si Pemburu.”
(Albert Chinualumogu Achebe)
(Bagian ke-2, kelanjutan dari : ANTARA JASAD SAHABAT NABI, AMANGKURAT I DAN UTSMAN BIN YAHYA)
AMANGKURAT AGUNG PUTRA SULTAN AGUNG
PLERED, Bantul, tahun 1647 sebuah Istana teramat megah didirikan oleh Raja Mataram Islam di Puncak Kejayaannya. Melengkapi dilantiknya Sang Raja baru di tahun 1645 dan penobatannya tahun 1646. Istana yang dibangun dengan mengerahkan 300.000 rakyat Mataram, seluas 2 x 2 mil (10,36 km2) atau sekitar 1.000 hektar luasnya. Sebuah Istana dengan tembok benteng setinggi 7 meter, dan di dalamnya lengkap segala kompleks bangunan termasuk alun-alun seluas 12 hektar dengan masjid megah di sebelah baratnya. Hingga tahun 1666 pembangunan masih terus berjalan, dan apabila selesai dengan sempurna maka akan menjadi benteng yang sangat sulit ditembus. Mungkin setara dengan Istana Majapahit 1,5 abad sebelumnya, yang hancur lebur karena perang saudara dan bencana alam. Istana yang akan menakutkan bagi Kompeni Belanda, karena simbol dari kemegahan dan kebangkitan. Istana yang dikelilingi danau buatan dan bendungan, simbol dari kemakmuran agraris. Sebuah bangunan air untuk wisata, pengairan dan latihan perang (Segarayasa).
Selain pasukan daratnya yang kuat, Mataram dilengkapi pula Armada Perang Laut di pesisir utara Jawa. Kelanjutan dari sangarnya pasukan bahari Imperium Majapahit dan Demak. Dari gambaran tersebut bisa disimpulkan bagaimana sosok dari Raja Muda yang naik tahta di umur 27 tahun tersebut. Putra dari Raja terbesar Mataram, Sultan Agung yang telah mengegerkan dunia. Dimana telah berani frontal menyerang VOC Belanda di Batavia, pada tahun 1628 dan 1629. Sebuah serangan yang sangat menggetarkan karena di jaman itu, VOC Belanda adalah perusahaan dagang terkaya di dunia. Melebihi 20 perusahaan terkaya dunia saat ini bila disatukan. Tentu saja mampu membiayai perang dari segala lini dan merekrut pasukan dari segala bangsa.
Dan serangan itu berhasil membawa kepala Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen untuk dibawa ke Mataram dan dikubur di undag-undagan (anak tangga) menuju Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Posisi yang berdekatan dengan Tumenggung Endranata, sang Pengkhianat Mataram di era tersebut. Pengkhianat yang telah mengadu-domba Mataram agar lemah dari dalam dan membocorkan informasi ke VOC atas segala siasat dan strategi Mataram. Termasuk sarannya membakar lumbung-lumbung padi logistik pasukan Mataram di sekitar Priangan dan Cirebon. Sehingga Batavia gagal diduduki, serta VOC urung terusir dari Bumi Nusantara. Dan memang pengkhianat akan selalu ada dalam setiap masa. Mereka yang lebih suka menjual harga-diri pribadinya daripada memperjuangkan harga-diri bangsanya. Mereka yang lebih suka bersimpuh kepada bangsa asing yang jahat daripada membela sesama anak negeri putra Ibu Pertiwinya.
Serangan tersebut tidak bisa dibilang gagal, karena telah membuat VOC tidak berani mengganggu armada dan jalur laut Mataram. Mereka bertahan di Batavia dan terbatas ‘bermain’ di sekitar wilayah tersebut untuk menyusun kekuatan baru. Pastinya juga menyusun taktik dan strategi baru dalam menguasai Nusantara.
Apalagi ketika Sultan Agung mempertegas kerjasama dengan Imperium Ottoman Turki (Utsmani) dengan mendapatkan pengukuhan gelar SULTAN oleh Syarif Makkah pada tahun 1641. Makin kokohlah Mataram Islam posisinya di hadapan Belanda yang sedang menancapkan kukunya di Batavia hingga ke barat Nusantara.
Dan strategi yang disusun itu akan menemukan momentumnya dengan meninggalnya Sang Sultan di tahun 1645.
Sejarah akan selalu membangun ceritanya dengan momentum baru, baik akibat perubahan alam atau timbul dan tenggelamnya seorang tokoh besar.
Amangkurat AGUNG, atau Amangkurat I adalah raja ke-4 sekaligus putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Terbesar Mataram Islam. Selengkapnya silsilah beliau adalah Amangkurat Agung putra Sultan Agung putra Panembahan Hanyokrowati putra Panembahan Senopati Sutawijaya pendiri Mataram Islam. Dari jalur ayahnya beliau masih keturunan Sunan Giri melalui Nyai Sabinah ibunya Sutawijaya. Sedangkan dari jalur ibunya yaitu Ratu Batang, beliau adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati. Memang keluarga Nusantara saling kawin-mawin antara keluarga Kerajaan dan Keulamaan. Sejatinya bersaudara baik dari jalur ayah maupun ibu. Sehingga selain berdarah umaro’ sekaligus ulama’. Dengan pertalian kekeluargaan seperti itu, adalah aneh apabila digambarkan konflik berdarah perang saudara diceritakan sedemikian masifnya antar keluarga, kecuali ada ADU-DOMBA.
Sumber Tulisan :https://rminubanten.or.id/amangkurat-agung-pergulatan-sisi-terang-dan-gelap-dari-mataram-islam/