Analisis Kritis: Mengapa Kabib Idrus bin Salim Al-Jufri Tidak Layak Menjadi Pahlawan Nasional?

*Analisis Kritis: Mengapa Kabib Idrus bin Salim Al-Jufri Tidak Layak Menjadi Pahlawan Nasional?*

Tulisan dari mukibin Klan Ba’alwiy (Rummail Abbas) yang mengklaim bahwa penetapan status kewarganegaraan Indonesia terhadap almarhum Kabib Idrus bin Salim Al-Jufri adalah bentuk koreksi historis perlu dikaji ulang secara ilmiah dan hukum. Ada beberapa poin yang perlu diperiksa dengan kritis untuk menilai apakah pengakuan ini benar-benar berbasis hukum yang berlaku atau hanya merupakan preseden administratif yang bermasalah.

 

*1. Asas Kewarganegaraan dalam Hukum Indonesia*

 

Dalam sistem hukum Indonesia, kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang berlaku pada saat orang tersebut hidup. UU No. 12 Tahun 2006 memang memperkenalkan asas ius sanguinis dari garis keturunan ibu, tetapi UU ini tidak berlaku surut secara otomatis untuk menentukan status kewarganegaraan orang yang sudah meninggal sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut.

 

Pada masa hidup Kabib Idrus Al Jufri, hukum yang berlaku adalah UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang masih mengutamakan prinsip ius soli dengan beberapa pengecualian. Fakta bahwa Kabib Idrus Al Jufri lahir di Hadramaut, memiliki dokumen imigrasi tahun 1965 yang menyebutnya berkebangsaan Arab, dan tidak pernah secara aktif mengajukan permohonan naturalisasi, menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi syarat sebagai WNI pada masa itu.

 

*2. Dokumen Imigrasi dan Status Kewarganegaraan*

 

Dokumen imigrasi tahun 1965 yang menyatakan bahwa Kabib Idrus Al Jufri adalah warga negara Arab bukan sekadar dokumen administratif biasa, melainkan bukti hukum yang menunjukkan bahwa pada masa itu ia diakui sebagai warga negara asing oleh negara Indonesia sendiri. Mengabaikan dokumen ini dengan alasan bahwa rezim hukumnya telah berubah adalah kekeliruan metodologis, karena hukum tidak dapat menghapus fakta sejarah yang telah tercatat secara resmi.

 

Menggunakan UU No. 12 Tahun 2006 untuk menetapkan kewarganegaraan seseorang yang telah meninggal sebelum undang-undang tersebut berlaku adalah tindakan yang bertentangan dengan asas kepastian hukum. Ini karena hukum tidak dapat berlaku secara retrospektif untuk mengubah status hukum seseorang yang sudah meninggal sebelum undang-undang itu ada.

 

*3. Preseden Administratif yang Berbahaya*

 

Keputusan posthumus ini membuka preseden berbahaya dalam administrasi kewarganegaraan. Jika prinsip yang sama diterapkan ke kasus lain, maka siapa pun yang memiliki leluhur asing dan pernah tinggal lama di Indonesia bisa mengklaim status WNI meskipun tidak ada dokumen resmi yang mendukungnya. Ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mengacaukan sistem administrasi kependudukan Indonesia.

 

Negara yang baik adalah negara yang menghormati hukum yang berlaku pada masanya. Jika ada kasus di mana individu yang telah meninggal ingin diberikan penghormatan atau pengakuan atas jasanya, ada cara lain yang lebih tepat, seperti gelar kehormatan atau penghargaan negara. Tidak perlu memaksakan perubahan status hukum yang sudah jelas.

 

*4. Perbandingan dengan Kasus Internasional*

 

Tulisan yang mendukung kewarganegaraan posthumus Kabib Idrus Al Jufri membandingkan kasus ini dengan proses restorasi kewarganegaraan di negara lain, seperti pengembalian kewarganegaraan Yahudi oleh Jerman dan pemberian kewarganegaraan kehormatan oleh Amerika Serikat kepada Winston Churchill. Namun, analogi ini tidak relevan karena:

 

*Kasus Jerman* melibatkan individu yang secara paksa kehilangan kewarganegaraannya akibat kebijakan rezim Nazi, bukan karena mereka tidak pernah mengajukan diri menjadi warga negara.

 

Kewarganegaraan kehormatan di AS tidak sama dengan kewarganegaraan penuh, melainkan hanya sebuah bentuk penghargaan simbolis.

 

Di Indonesia, sistem hukum kita tidak mengenal konsep kewarganegaraan kehormatan secara formal, sehingga tidak bisa digunakan sebagai pembenaran atas kasus Kabib Idrus Al Jufri.

 

*5. Kesimpulan*

 

Berdasarkan kajian hukum dan administrasi negara, keputusan untuk menetapkan Kabib Idrus Al Jufri sebagai WNI secara posthumus tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat menimbulkan preseden administratif yang berbahaya. Jika negara ingin memberikan penghormatan kepada Kabib Idrus Al Jufri atas jasanya, ada mekanisme lain yang lebih sesuai, seperti pemberian gelar pahlawan nasional atau penghargaan negara lainnya.

 

Sebagai negara hukum, Indonesia harus menjaga prinsip kepastian hukum dan tidak menciptakan aturan baru yang bertentangan dengan ketentuan yang sudah berlaku sebelumnya. Koreksi administratif harus dilakukan dalam batas yang jelas dan tidak boleh mengubah status hukum seseorang secara retrospektif tanpa dasar hukum yang sah.

 

Oleh karena itu, masyarakat harus memahami bahwa keputusan ini lebih bersifat politis daripada berdasarkan asas hukum yang berlaku. Keputusan ini perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan preseden yang dapat mengancam ketertiban hukum di Indonesia.

 

*6. Mengapa Kabib Idrus Al Jufri Tidak Layak Menjadi Pahlawan Nasional?*

 

Selain aspek kewarganegaraan, pengajuan Kabib Idrus bin Salim Al-Jufri sebagai Pahlawan Nasional juga harus dikaji secara lebih objektif. Gelar Pahlawan Nasional di Indonesia diberikan kepada individu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

*Beberapa syarat utama yang harus dipenuhi, antara lain:*

 

*1. Memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia* – Tidak ada bukti kuat bahwa Kabib Idrus Al Jufri terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia secara langsung.

 

*2. Berperan dalam pembangunan nasional yang signifikan* – Kabib Idrus Al Jufri memang berperan dalam dunia pendidikan, tetapi banyak tokoh lain yang memiliki kontribusi serupa bahkan lebih besar dalam bidang ini.

 

*3. Memiliki rekam jejak nasionalisme yang kuat* – Fakta bahwa status kewarganegaraan Kabib Idrus Al Jufri diperdebatkan menunjukkan bahwa ia belum tentu memiliki ikatan nasionalisme yang kuat terhadap Indonesia dibandingkan tokoh-tokoh lain yang lebih jelas kontribusinya.

 

Dengan demikian, pengajuan Kabib Idrus Al Jufri sebagai Pahlawan Nasional harus didasarkan pada fakta sejarah dan hukum yang valid, bukan hanya sentimen kelompok tertentu. Jika standar objektif ini tidak dipatuhi, maka gelar Pahlawan Nasional bisa kehilangan makna dan menjadi alat politik semata.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *