Ancaman Terhadap Keutuhan Bangsa dari Klaim Nasab Palsu dan Radikalisme Klan Ba’alwi: Urgensi Intervensi Negara

*Ancaman Terhadap Keutuhan Bangsa dari Klaim Nasab Palsu dan Radikalisme Klan Ba’alwi: Urgensi Intervensi Negara*

Indonesia adalah negara hukum yang berdiri di atas dasar Pancasila, UUD 1945, dan semangat kebhinekaan. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, bangsa ini dihadapkan pada fenomena berbahaya: munculnya kelompok elit religius-klanistik yang mengklaim nasab langsung dari Nabi Muhammad SAW tanpa verifikasi ilmiah yang sah, disertai dengan gerakan-gerakan politik radikal yang dipimpin oleh figur-figur seperti Rizieq Shihab. Klaim nasab palsu dan tindakan radikalisasi ini tidak hanya mengganggu harmoni sosial tetapi juga berpotensi merusak fondasi negara bangsa yang telah susah payah dibangun para pendiri negeri.

*1. Bahaya Klaim Nasab Tanpa Verifikasi Ilmiah*

Klaim nasab dari klan Ba’alwi, terutama terhadap jalur Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, telah lama dipertanyakan. Penelitian oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani, seorang cendekiawan NU dan ahli filologi, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti valid historis maupun ilmiah yang menguatkan bahwa Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir benar-benar ayah dari Alawi.

Prof. Dr. Manachem Ali, filolog dan akademisi Universitas Airlangga, juga menjelaskan bahwa catatan silsilah klan Ba’alwi sangat minim referensi primer, serta baru muncul dan tersebar luas beberapa abad setelah tokoh-tokoh yang diklaim hidup. Bahkan yang menulisnya pun, seperti Ali al-Sakran, hidup 5 abad setelah Alawi bin Ubaidillah, dan menulis tanpa sanad atau referensi.

Secara genetika, Dr. Michael Hammer dari University of Arizona membuktikan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW secara paternal berada dalam haplogroup J1 (Y-DNA). Namun, banyak dari klan Ba’alwi justru terbukti memiliki haplogroup G, seperti yang juga diungkap oleh Dr. Sugeng Sugiarto, ahli genetika Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa klaim nasab mereka tidak sesuai dengan kenyataan ilmiah dan berpotensi menyesatkan masyarakat awam yang tidak memiliki kapasitas verifikasi.

*2. Manipulasi Identitas untuk Kepentingan Politik*

Pembiaran terhadap klaim nasab palsu ini telah menghasilkan ekses sosial-politik yang berbahaya. Salah satunya adalah naiknya tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab, yang menjadikan status “habib” sebagai alat legitimasi untuk menyerang siapa pun yang berbeda pendapat dengannya. Ia pernah menyatakan “perang” terhadap lawan pikirannya, sesuatu yang sangat berbahaya dalam konteks negara hukum seperti Indonesia.

Tindakan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menekankan hikmah, kelembutan, dan menjauhi fitnah. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bahwa “agama akan rusak jika dikendalikan oleh orang-orang fanatik yang mengatasnamakan kebenaran tanpa ilmu.”

*3. Provokasi dan Ancaman Terhadap Keutuhan Bangsa*

Lebih mengkhawatirkan lagi, beredar bukti percakapan di grup WhatsApp antara pendukung klan Ba’alwi dan para pengikut mereka (disebut ‘mukibin’). Dalam percakapan tersebut, seorang mukibin menulis:

“Udah ngasah pedang belum bang… untuk memburu mukimad PKI” — menyebut para pendukung riset ilmiah KH Imaduddin sebagai PKI.

Dijawab oleh tokoh Ba’alwi bermarga al-Jufri:

“Gak usah diasah pedang, mereka bunuh diri sendiri.”

Ungkapan ini jelas provokatif, penuh kebencian, dan mencerminkan pola pikir elitis yang membiarkan masyarakat awam saling bertikai, sementara mereka menikmati situasi dari jauh. Ini mirip dengan strategi adu domba kolonial yang dalam jangka panjang akan menghancurkan persatuan nasional dan menghidupkan kembali konflik horizontal seperti yang terjadi di masa 1965.

*4. Bahaya Persekusi dan Stigmatisasi Ulama Aswaja*

Tidak sedikit ulama Aswaja, santri, dan akademisi yang menolak kultus Ba’alwi justru mengalami persekusi dan fitnah. Mereka dicap sebagai “PKI,” “wahabi,” atau “penyebar syubhat,” padahal mereka justru berpegang pada manhaj ilmiah dan prinsip Ahlus Sunnah.

KH Said Aqil Siroj, mantan Ketua Umum PBNU, pernah menegaskan bahwa:

“Islam bukan milik Arab, bukan milik satu marga. Jangan jualan nasab, Islam tidak mengajarkan kultus keturunan, tapi amal dan ilmu.”

*5. Tuntutan Kepada Negara dan MUI*

Negara harus hadir. Pemerintah bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BRIN) perlu:

  • Melakukan verifikasi dan validasi ilmiah terhadap klaim nasab yang beredar di masyarakat.
  • Menindak penyebaran kebencian dan provokasi atas nama agama yang merusak ketertiban umum.
  • Menyusun regulasi tentang nasab dan gelar keagamaan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau bisnis identitas.

*Kesimpulan*

Membiarkan klaim nasab palsu dan radikalisme atas nama agama tanpa intervensi adalah *bom waktu bagi bangsa ini*. Klan Ba’alwi yang menyebarkan klaim nasab tanpa dasar ilmiah serta tokoh radikal seperti Rizieq Shihab yang mendorong perpecahan sosial, merupakan ancaman serius terhadap ideologi bangsa, keutuhan NKRI, dan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan simbolik dan kultus keturunan, sebab Indonesia dibangun atas dasar keadilan, ilmu pengetahuan, dan persaudaraan.

*Referensi Pakar dan Ulama*

  • KH Imaduddin Utsman al Bantani (Filolog NU, peneliti nasab Ba’alwi)
  • Prof. Dr. Manachem Ali (Universitas Airlangga)
  • Dr. Sugeng Sugiarto (Ahli Genetika, pendukung validasi nasab melalui DNA)
  • Dr. Michael Hammer (University of Arizona, pakar genetika populasi)
  • Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin)
  • KH Said Aqil Siroj (Ulama NU)

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *