Ba’alawi dan PKI: Ironi Sejarah dan Pengingkaran Identitas

Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan tokoh-tokoh keturunan Ba’alawi dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sebuah babak yang memalukan dan penuh ironi bagi kalangan habib Ba’alawi. Salah satu tokoh paling kontroversial adalah D.N. Aidit, ketua terakhir PKI, yang berasal dari marga Aidid—marga keturunan Ba’alawi yang berasal dari Yaman. Meski berasal dari garis keluarga Ba’alawi, kalangannya sendiri sering kali mengabaikan atau bahkan menolak mengakui D.N. Aidit sebagai bagian dari keluarga besar mereka. Padahal, putra D.N. Aidit sendiri telah mengonfirmasi bahwa marga Aidit adalah bagian dari imigran Yaman, yang secara jelas menunjukkan keterkaitannya dengan Ba’alawi .
Ironi semakin jelas terlihat ketika kita melihat pahlawan-pahlawan bangsa seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, hingga tokoh Perang Sepehi, KRT Sumodiningrat, sering kali diklaim oleh kalangan Ba’alawi sebagai bagian dari keturunan mereka. Namun, ketika menyangkut tokoh yang memiliki sejarah kelam seperti D.N. Aidit, klaim ini justru menghilang. Mengapa demikian? Adakah upaya pengingkaran terhadap sejarah yang sebenarnya terkait dengan D.N. Aidit karena hubungannya dengan PKI yang notabene adalah musuh besar Islam di Indonesia? Hal ini seakan membuktikan bahwa dalam klaim-klaim nasab, ada kecenderungan untuk hanya mengakui tokoh-tokoh yang berjaya, sementara mereka yang kalah dalam sejarah atau dicap negatif diabaikan.
Selain D.N. Aidit, ada juga nama-nama lain dari klan Ba’alawi yang terlibat dalam PKI, seperti Ahmad Sofyan dan Fahrul Baraqbah. Kedua tokoh ini tercatat sebagai anggota penting dalam PKI, bahkan sempat menjadi anggota parlemen . Fakta ini menambah bukti keterlibatan beberapa keturunan Ba’alawi dalam gerakan komunis yang justru bertentangan dengan ajaran agama dan tradisi keluarga habib.
Lebih jauh lagi, jika kita melihat sejarah, banyak ulama-ulama pribumi dari Masyumi dan terutama Nahdlatul Ulama (NU) menjadi korban kekejaman PKI. Namun, tidak ada catatan tentang ulama dari Ba’alawi yang menjadi korban dalam konflik ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa justru ulama pribumi yang banyak menjadi korban PKI, sementara keterlibatan keturunan Ba’alawi dalam PKI lebih terlihat di kalangan pimpinan dan anggota penting partai tersebut?
Kesimpulannya, fakta bahwa tokoh-tokoh seperti D.N. Aidit, Ahmad Sofyan, dan Fahrul Baraqbah berasal dari klan Ba’alawi memberikan bukti jelas mengenai keterlibatan beberapa habib dalam gerakan komunis di Indonesia. Meskipun banyak dari kalangan Ba’alawi yang menolak mengakui hal ini, catatan sejarah, data resmi keluarga, serta kesaksian dari keturunan D.N. Aidit sendiri menunjukkan bahwa klaim ini tidak dapat diabaikan. Fakta bahwa negara Yaman Selatan (Hadramaut), wilayah asal klan Ba’alawi, pernah menjadi negara komunis di dunia Arab menambah bukti bahwa beberapa anggota klan ini memiliki keterkaitan dengan ideologi komunis.
Sebagai penutup, masyarakat perlu bersikap jujur dalam menilai sejarah, tanpa mengabaikan fakta-fakta yang ada, sekalipun fakta tersebut bertentangan dengan klaim-klaim yang selama ini diyakini.



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *