Bahaya Laten Fanatik Buta, Dulu, Apalagi Kini dan Nanti

Bahaya Laten Fanatik Buta, Dulu, Apalagi Kini dan Nanti

Bagi para Muhibbin jongosnya Habaib rasis penyembah berhala nasab wajib membaca artikel ini, jika berkeinginan akal sehatnya kembali pulih dan bisa menggunakan nalar kewarasannya. Berikut bahasannya yang di tulis oleh Faizul Abrori;

 

Teror, intimidasi, ujaran kebencian, pembunuhan karakter, mengaku paling sunnah, mengaku paling Qurani, atau mengaku yang paling ahlusunnah wal jamaah, karna berbeda manhaj belaka, bahkan tuduhan kafir terkultuskan hanya sedikit dari penyalahgunaan Al Qur’an dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Mengapa semua ini semuanya terjadi ? Apakah muasal dari fanatik manhaj atau politisasi agama? Padahal Islam melarang ummatnya untuk bersikap fanatik (ashobiyah) pada kelompok. Namun kefanatikan itu hanya boleh pada agama, karena kebenaran agama ini, tidak terbantahkan dengan siapapun dan bagaimanapun, yakni harus meyakini bahwa hanya agama islamlah yang paling benar.

 

Seperti yang diajarkan oleh Nabi bahwa agama itu ada dua prinsip yang pertama ; addinul aqlun, agama itu pasti masuk akal atau rasional contoh paling sederhanya adalah setiap perintah agama sholat, zakat, puasa, haji, muamalah dan pergaulan sosial yang lain semuanya mensyariatkan kita harus berakal (Aqil).

 

Sedangkan yang kedua ; addinul yusrun, mudah atau gampang. Contoh; kalau kita tidak bisa melakukan kewajiaban shalat dengan berdiri, maka duduklah, tidak bisa duduk maka berbaringlah, dan bahkan dengan isyarah hati. Begitupun dengan kewajiban puasa kita dalam perjalanan ataupun dalam keadaan menyusui maka kita diperbolehkan untuk meng-qodo puasa di hari yang lain. Ini bukti bahwa Tuhan tidak memberatkan dan agama memudahkan kita.

 

Oleh karenanya agama yang benar adalah agama yang mendayagunakan akal budinya, agama yang memandang sesama umat beragama sebagai sesama manusia. Bukan lantas fanatik mengkafir-kafirkan yang berbeda.

 

Demikian beberapa ciri sikap ashobiyah terhadap kelompok yang sering terjadi di tengah peradaban kita; (1) Jika ada pendapat berbeda, dia lebih mengutamakan pendapat kelompoknya dan menganggap salah kelompok lainnya. (2) Jika dinasehati dan dikritik, sulit menerima lebih-lebih nasihat dan kritikan yang menentang pendapat kelompoknya. (3) Jika kelompoknya atau pimpinan kelompoknya dikritik, mereka marah dan dibelanya mati-matian hingga melakukan kekejian pada lainnya. (4) Jika ada kekeliruan dalam kelompoknya, dibelanya mati-matian tanpa peduli dalil dan tidak boleh disalahkan, karena kelompoknya so pasti benar. (5) Jika diajak bersatu, enggan sebab ego kepentingan kelompok. (6) Jika ada anggota kelompoknya yang keluar dari pendapat kelompok, maka dianggapnya menyimpang hingga dikucilkan.

Padahal dengan tegas Nabi mengingatkan :

 

 

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

 

 

Dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah.” (HR. Abu Dawud No.4456)

 

Penyebab yang membuat umat buta akan kebenaran adalah menempatkan fanatisme bukan pada tempatnya. Maka dalam hal ini perlu kiranya memahami aspek-aspek dan perbedaan pandangan yang tak bisa terlepaskan antara kebenaran yang bersifat ushul dalam agama dan kebenenaran yang tergolong ijtihad dzanni belaka. Jika bersifat ushul atau ajaran yang pokok dalam agama, maka ini benar-benar dibutuhkan sikap fanatik untuk mempertahankan sikap sebuah keyakinan.

 

Sementara dalam ranah furu’ Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, al-Tibyan fin-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wal-Aqarib wal-Ikhwan. Hal 33 telah memaparkan : “wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala”.

 

Imam syafi’i juga telah memberikan rambu-rambu agar umat islam selalu bersikap toleran dan tidak fanatik dalam masalah furu’.

 

Salah satu ungkapan beliau yang familiar adalah: “pendapatku benar, tapi mungkin salah, tapi mungkin benar”. Nah ulama kita telah memberikan aba-aba agar tidak terlalu fanatik dalam hal furu’ apalagi hanya terkait fanatik buta terhadap sebuah ormas atau tokoh berormas atau mengikuti seorang tokoh ?

 

Jawabannya adalah boleh-boleh saja, namun yang menjadi standart ialah ia harus sesuai dengan al quran dan sunnah. Imam al- Ghazali dalam kitab ihya’ Ulumuddin, Juz 1, hlm, 53 mengutip perkataan Syaidina Ali bin Abi Thalib yang berbunyi : “kebenaran tidak dapat diketahui dengan ketokohan seseorang, ketahuilah kebenaran, maka kamu akan tahu tokoh yang benar”.

 

Meskipun al Quran dan Sunnah menjadi standart dalam mencari kebenaran, agama Islam tidak berarti melarang umat untuk meninggalkan ulama atau anti takliq seperti yang selalu disuarakan Wahabi. Bahkan dalam al Quran dijelaskan bahwa ulama adalah representatif atau rujukan bagi mereka yang tidak paham terhadap kedua nash itu. “maka bertanyalah kepada ulama bila kalian tidak tahu” (QS. An-Nahl:43).

 

Namun dalam merujuk terhadap tokoh seharusnya bukan atas dasar fanatisme, melainkan karena bentuk tamassuk atau berpegang teguh terhadap perintah al Qur’an di atas. Dan juga agar lebih selamat, Nabi memberi peringatan agar senantiasa mengikuti madzhab mayoritas di mana umat islam banyak berpihak, karena disitulah yang lebih dekat pada kebenaran. “Ketika kalian melihat perselisihan, ikutilah kelompok mayoritas”.

 

Keadaan bangsa kita semakin hari semakin terpecah belah karena sikap yang membuat satu sama lain saling bersengketa. Sikap tersebut salah satunya lahir dari rasa fatatik. Baik terhadap tokoh atau golongan bahkan agama tertentu.

 

Apabila fanatik, maka akan terhalang dari kebenaran. Walaupun salah, bisa dibilang benar. Tapi terhadap golongan lain, walaupun benar tetap dibilang salah. Ini yang terjadi bahaya laten fanatisme sekarang di negeri ini.

 

Semoga kita diselamatkan dari sifat ashabiyah (fanatik) kelompok. Semoga pula diri kita diberi kelapangan dada untuk bersaudara dan saling toleran pada sesama. Semoga kita dilindungi dan dijauhkan dari buruknya zaman fitnah ini.

 

Waallahu Alam

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *