Berhati-hatilah Dengan Akidah Rasisme Pernikahan

Berhati-hatilah Dengan Akidah Rasisme Pernikahan


Yang keliru adalah ketika melarang wanita keturunan ahlibait untuk menikah dengan seorang pria yang memiliki agama dan akhlak yang baik, hingga wanita tersebut menjadi ‘perawan tua’ dengan alasan pria itu bukan keturunan ahlibait. Hal ini jelas bertentangan dengan penghulu ahli bait, Rasulullah SAW,

 

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

 

“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. at-Tirmidzi)

Demikian pula hal ini bertentangan dengan tindakan Amir al-Mukminin Sayyidina Ali ra yang menikahkan anak perempuannya, Ummu Kultsum dengan Umar bin al-Khaththab ra yang sama sekali bukanlah dari keturunan ahli bait.

Namun itu berbeda dengan keyakina dari Klan Ba’Alwi (merasa dirinya sebagai dzuriyah Nabi SAW) yang tertulis didalam kitab BUGHYATUL MUSTARSYIDIN karya Al Habib Al Allamah Abdurrahman al Masyhur :

“(Masalah) seorang wanita syarifah alawiyah dipinang oleh laki-laki yang bukan syarif (non sayyid) . Beliau menjawab “Aku berpendapat tidak boleh menikahinya walaupun si wanita itu rela dan si walinya juga rela. Karena nasab mulia dan sah ini tidak bisa dicari dan diminta. Dan bagi setiap keturunan Fathimah Az-Zahra memiliki haq sebagai kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Yaitu harus mendapat restu dari mereka semua.

Ini pernah terjadi bahwa ada seoarng arab dari Makkah menikah dengan seorang wanita syarifah, berita ini di dengar oleh seorang saadah (Para Habaib) . Kemudian pernikahan ini dibubarkan setelah hampir saja penganten pria disergap masa. Akhirnya ia memilih untuk menceraikan istrinya. Pernah juga terjadi di daerah lain, para saadah di sanapun bangkit menentang mereka menulis RISALAH mengenai “ tidak diperbolehkannya pernikahan semacam ini “ dan penganten wanita pun diambil paksa dari pangkuan penganten pria. Mereka melakukan ini semua karena semata-mata ingin membela nasab yang mulia jangan sampai dihinakan atau diremehkan oleh orang meskipun sebenarnya ulama fiqih menganggap sah pernikahan ini, asalkan calon penganten wanita dan walinya sama-sama ridho untuk melakukannya. Namun para pendahulu kita (ulama salaf) punya pendapat yang tidak bisa dipahami oleh ahli fiqih karena di sana ada rahasia-rahasia yang tidak bisa diungkapkan. Terima saja pendapat mereka, maka engkau akan selamat dan memperoleh keberuntungan. Dan jangan sekali-kali menentang, sebab engkau akan merugi dan menyesal !! “

Dijelaskan oleh Al Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya, Mufti pertama dan terahir yang di angkat oleh penjajah Belanda di Batavia ;

“Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid”.

Selanjutnya ia berkata:

“Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah SAW”.

Faktanya bahwa leluhur ahlulbait sendiri tidak pernah mengajarkan akidah rasisme dalam pernikahan berdalih kafa’ah, karena semua kaum muslim hukumnya setara dalam pernikahan. Mereka pun pernah menikahkan putri-putri mereka dengan non ahlulbait. Setidaknya ada 10 nama ini saja sebagai bukti:

1. Ruqayyah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.

2. Ummu Kultsum binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.

3. Zainab binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abul ‘Ash.

4. Ummu Kultsum binti Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.

5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.

6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.

7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.

8. ‘Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.

9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.

10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.

Terkait pernikahan Sayyidina Utsman dengan dua putri Rasululullah SAW, Klan Ba’Alwi di Indonesia biasanya berkata: “Itu adalah khushushiyah, Rasulullah SAW bisa menikahkan siapapun dengan siapapun. Selain itu, wanita Ahlulbait tidak boleh menikah dengan pria non ahlulbait”.

Dengan demikian berarti, menurut mereka, Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah durhaka karena menikahkan seorang putrinya dengan Sayyidina Umar bin Al-Khatthab. Keluarga Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain juga telah durhaka empat kali karena menikahkan dua orang putrinya dan dua orang saudarinya dengan non ahlulbait. Demikian juga keluarga Sayyidina Hasan Al-Mutsanna telah durhaka dua kali karena menikahkan dua orang putrinya dengan non ahlulbait.

Baiklah, saya akan membawa saudara-saudara sekalian pada kisah Sayyidina Umar, seoarang sahabat yang shaleh dan pejuang non ahlulbait. Ketika beliau melamar seorang syarifah cucu langsung Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Ummu Kultsum binti Fathimah binti Rasulullah SAW, Sayyidina Umar mau menikahi Sayyidah Ummu Kultus hanya untuk mendapatkan kehormatan dan hubungan sabab dengan Rasulullah SAW, yakni menjadi menantu cucu Rasulullah SAW. Karena beliau pernah bersabda:

 

كل سببٍ ونسبٍ منقطعٌ يوم القيامة إلا سببي ونسبي

 

“Semua hubungan sabab dan nasab itu terputus pada hari kiamat, kecuali sababku dan nasabku”.

Yang dimaksud hubungan sabab adalah hubungan pernikahan. Maka semua orang yang menikahi keturunan Rasulullah SAW berarti memiliki hubungan sabab dengan beliau. Itulah “sabab” menurut pemahaman Sayyidina Umar dan para sahabat lainnya, sehingga mereka pun mengusulkan agar Sayyidina Umar menikahi Sayyidah Ummu Kultsum.

Ketika Sayyidina Umar sang Khalifah melamar Sayyidah Ummu Kultsum pada Sayyidina Ali, Sayyidina Ali langsung menolak. Apa apalasannya? Apakah karena Sayyidina Umar bukan Bani Hasyim dan tidak sekufu’ nasabnya dengan Sayyidah Ummu Kultsum? Tidak. Sama sekali tidak!

Alasan beliau hanya dua saja, pertama karena Sayyidah Ummu Kultsum masih terlalu muda untuk menikah, kedua, karena Sayyidina Ali sudah berniat untuk menikahkan Sayyidah Ummu Kultsum dengan anak saudaranya, yakni putra Sayyidina Aqil bin Abi Thalib.

Namun Sayyidina Umar memohon-mohon agar Sayyidina Ali menerima lamaran itu. Beliau menjelaskan alasan kenapa beliau sangat berharap dapat menikahi Sayyidah Ummu Kultsum, yaitu untuk mendapatkan hubungan sabab sebagaimana Hadits Nabi tadi. Sayyidina Umar kemudian meyakinkan Sayyidina Ali dengan berkata:

 

زوِّجْنيها يا أبا الحسن، فإني أرصد من كرامتها ما لا يرصده أحد، هي عندي مكرمةٌ أشد التكريم

 

“Nikahkan aku dengannya, wahai Abul Hasan, sesungguhnya aku akan menjaga kemuliaannya dimana tidak ada orang lain yang dapat menjaganya melebihi aku, bersamaku dia akan sangat dimuliakan”.

Melihat ketulusan Sayyidina Umar itu, akhirnya Sayyidina Ali menikahkan beliau dengan Sayyidah Ummu Kultsum.

Ada pemahaman yang menyatankan pernikahan syarifah dengan non sayyid itu memutus nasab keturunan si syarifah dari Rasulullah SAW, maka ini adalah tindakan kejahatan terhadap anak-anak Syarifah. Kata seorang Ba’Alwi, syarifah yang menikah dengan non sayyid berarti jahat pada anak-anaknya, dia lebih mempedulikan nafsunya sendiri sehingga mengorbankan nasab anak-anaknya.

Nah, pemahaman ini sangat erat hubunganya dengan pemahaman mereka yang lebih mengutamakan nasab dalam tujuan pernikahan, bahwa anak syarifah dengan non sayyid itu tidak termasuk ahlubait, bahkan tidak termasuk dzurriyat Rasulullah SAW.

Waallahu Alam

 

Dari berbagai sumber




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *