CATATAN RAMADHAN : TERIMAKASIH NU —-
Mengambil hikmah bisa darimanapun .. ..
Betapa sepinya Ramadhan tanpa kehadiran masjid NU— Rajab dan Sya’ban adalah prolog menyambut Ramadhan yang eksotik. Wajah Islam terasa pekat dari negeri asalnya.
Masjid menjadi episentrum aktifitas menjelang Ramadhan yang humanis dan memenuhi kebutuhan spiritual, Bukan hanya berbagi kurma, tapi juga berbagi pahala membaca Al Quran, bersahut-sahutan saling mendoakan dan memohonkan ampun terhadap kedua orang tua dan kerabat yang sudah meninggal juga kebajikan lain yang banyak — masjid menyertai dan mengakomodasi semua lapis masyarakat, baik yang rajin shalat atau tidak tetap kecipratan berkahnya.
*^^^^*
Sebagian yang tak suka, menyebut banyak melakukan aktifitas ‘bid’ah’ tapi saya sangat suka karena banyak mendapat manfaat. Bagi NU agama itu longgar dan fleksibel — itulah kesan yang saya dapat.
Dari masjid-masjid NU itu, Saya bisa membedakan antara bulan biasa dan bulan Ramadhan dengan aktifitas spesial: tadarus bersahut-sahutan, bedhug ditabuh, mercon dibakar, tarhim dikumandangkan lima menit sebelum adzan sebagai tanda masuk shalat. Sungguh indah.
Dari masjid NU pula saya dapat informasi kapan harus persiapan pulang sebelum shalat Jumat— petani dan pekebun bersiap pulang, saya juga bisa bedakan mana mushala biasa dan masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat karena alunan merdu al Qur’an pada mesin pengeras suara yang diperdengarkan sebelum shalat jum’at. Sungguh bijak.
*^^^^*
Pada setiap Ramadhan, jujur saya akui bahwa masjid-masjid NU yang paling semarak, makmur dengan berbagai aktifitas tadarus, shalawatan, dibaan, dan khataman. Anak kecil hingga orang tua seperti parade mengaji. Paling rajin menngingatkan tentang niat puasa esuk hari dan membangunkan sahur.
Berbagai pernik ditambahkan untuk membangun atmosphere Ranadhan kian eksotik: Nyadran, Megengan, Malem selikuran, Malem Songo dan lainnya, berbeda dengan masjid-masjid lainnya: lampu dimatikan usai shalat tarweh, jendela ditutup, pintu digembok rapat, masjid sepi aktifitas ‘ngaji harus di rumah’ sebab ngaji di masjid usai Taraweh dibilang bid’ah tidak ada uswah. Masjid nya kaku dan formal. Masjid diam seribu bahasa semua harus nunggu petunjuk langit karena takut dengan bid’ah— sebaliknja masjid-masjid NU begitu kreatif dan inovatif. Mereka sudah selesai dengan definisi bid’ah.
Dini hari menjelang subuh: Jauh di pelosok dan penjuru kampung, masjid-masjid NU seperti di gerakkan : sahur,.. sahur , … sahur, .. — kemudian imsak, … imsak … imsak — kemudian tarhim bersahut-sahutan. Hanya ada di masjid NU —dan saya meski tak sepaham ikut mendapat manfaat dari berbagai pertanda meski ada yang bilang bid’ah. Tapi perlahan saya mulai akrab — dan menikmati cara beragama yang humanis. Semacam mengenang masa kecil di kampung halaman.
*^^^^*
Islam ditangan orang NU begitu humanis dan dekat dengan kehidupan — NU adalah Islam yang dipahami mbok Jum, mbakyu Tumiati , kang Supingi, kang Supardi atau Cak Nur . Orang-orang sederhana dengan kebutuhan beragama juga sangat sederhana, tidak muluk-muluk — mereka orang biasa, hidup biasa, beragama juga dengan cara biasa.
NU dapat merangkum semua status sosial dan struktur masyarakat dalam sebuah jamiyah — mewarisi dan merawat metode jitu yang ditemukan para wali songo penyebar Islam di tanah Jawa, NU tidak melawan tradisi apalagi mengubah budaya, sebaliknya menjadikan tradisi dan budaya sebagai media dakwah—
Definisi dan konsep bid’ah perlu diubah — tidak setiap amal butuh dalil dan tidak setiap yang tidak ada dalil disebut bid’ah — Buya Yunahar Ilyas menyebut bahwa dalam ibadah ghairu mahdhah tidak ada bid’ah. Prof Din menyarankan memperbanyak bid’ah sosial. Agar beragama menjadi segar, tidak kering kerontang dari spritualitas.
*^^^*
Meski banyak kata saya pujikan untuk NU, tapi saya tetap Muhammadiyah — saya hanya mencoba jujur melihat realitas, melihat kekurangan sendiri dan mengakui kelebihan orang lain tanpa saling merrendahkan.
🙏🏻❤️
@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar: tadarus 5