*DEKONSTRUKSI KRITIS ATAS NARASI TIDAK TEPAT GUS SA’ID LIRBOYO: Antara Revisionisme Sejarah, Manipulasi Fikih, dan Psikopolitik Permusuhan*
*(Bantahan terhadap Pandangan Gus Sa’id Lirboyo)*
—
1. Penyalahgunaan Fikih untuk Legitimasi Feodalisme Nasab
Gus Sa’id menyatakan bahwa “memusuhi dzurriyah Rasulullah” merupakan dosa yang lebih besar daripada maksiat biasa, dengan merujuk pada hadis Nabi. Namun, klaim ini bertentangan dengan prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang menolak kultus keturunan dan menekankan meritokrasi keilmuan.
QS Al-Hujurat: 13 menyatakan bahwa kemuliaan manusia ditentukan oleh ketakwaan, bukan keturunan.
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin juga menegaskan bahwa amal perbuatan lebih utama daripada nasab.
Bahkan dalam fiqh pernikahan Madzhab Syafi’i, keutamaan nasab Quraisy hanya berlaku dalam konteks kafa’ah, bukan legitimasi sosial-politik.
Dengan menjadikan darah sebagai dasar kemuliaan dan perlindungan hukum, Gus Sa’id secara tidak sadar telah menarik umat kembali pada semangat jahiliyah, bertolak belakang dengan misi Rasulullah yang justru menghancurkan struktur kasta.
—
2. Pemutarbalikan Sejarah dan Pembajakan Narasi Walisongo
Gus Sa’id menuduh PWI sebagai pihak yang “mencoreng Walisongo”, padahal ironi terbesar justru ada pada dirinya sendiri. Ia terlibat dalam proyek rekayasa sejarah NU demi melanggengkan hegemoni kelompok tertentu.
Walisongo bukan simbol eksklusivisme keturunan, tetapi akulturasi dakwah. Sejarawan H.J. de Graaf mencatat, meskipun beberapa Walisongo berasal dari luar, mereka merangkul pribumi dengan pendekatan inklusif dan kultural.
JATMAN NU sendiri didirikan untuk menjaga manhaj Ahlul Bait, bukan untuk menyembah keturunan Habib tertentu.
Dengan menutup ruang kritik terhadap Habāib atas dasar status dzurriyah, Gus Sa’id mengerdilkan ajaran ittiba’ Rasul menjadi kultus individu. Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai Walisongo dan prinsip Aswaja.
—
3. Psikopolitik Permusuhan: Menciptakan Musuh Imajiner
Retorika Gus Sa’id penuh dengan diksi kebencian seperti “azab”, “su’ul khatimah”, dan “teroris”, yang tidak berdasar secara ilmiah. Ini adalah bentuk manipulasi emosi umat untuk menciptakan musuh imajiner dan membentengi diri dari kritik.
Konsep Auliya Allah dalam tasawuf tidak pernah eksklusif bagi nasab tertentu. Imam Al-Qusyairi menegaskan bahwa wali Allah bisa berasal dari siapa pun yang bertakwa, tanpa memandang keturunan.
Dari sudut pandang psikologi sosial, sikap Gus Sa’id mengarah pada group narcissism, yakni membangun identitas kelompok dengan menciptakan pihak luar sebagai kambing hitam.
—
4. Distorsi Makna Dosa dan Kekeliruan Fatwa
Gus Sa’id menyatakan bahwa bergabung dengan PWI akan berakhir dengan su’ul khatimah. Ini adalah bentuk pemerkosaan terhadap makna dosa dalam etika Islam.
Dalam filsafat moral Al-Ghazali, dosa adalah pelanggaran terhadap hak Allah, bukan terhadap manusia yang mengaku sebagai “wakil keturunan Rasul.”
Tidak satu pun kitab muktabar seperti Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa mengkritik dzurriyah adalah dosa besar. Ini menunjukkan bahwa klaim Gus Sa’id adalah bentuk bid’ah takfiri yang berbahaya.
Dari sudut pandang ushul fiqh, fatwa Gus Sa’id memuat dua kekeliruan fatal:
1. Ta’assub al-Nasab: Fanatisme buta terhadap nasab, padahal Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa menyeru kepada ashabiyyah, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Abu Dawud)
2. Tasydid bi La Dalil: Memberatkan umat dengan klaim dosa tanpa dasar dalil qath’i. Aswaja sendiri menganut prinsip Al-Ibahah Al-Asliyyah: hukum asal sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil pengharamannya.
—
5. Seruan Pembebasan: Kembalilah pada Islam yang Mencerahkan
Gus Sa’id harus bertanggung jawab atas narasi-narasi sesat yang ia bangun, karena:
Ia telah memalsukan sejarah NU demi mengangkat kelompok tertentu.
Ia telah merusak fikih Aswaja dengan menyusupkan feodalisme nasab ke dalam dalil-dalil agama.
Ia telah memecah ukhuwah dengan membangun tembok kebencian dan anti kritik.
Sebagaimana kata Imam Syafi’i:
> “Perkataanku benar sejauh ia sejalan dengan kebenaran, dan bisa salah bila bertentangan dengannya.”
Maka, kebenaran tak perlu disembunyikan di balik nama besar, dan kultus bukanlah jalan menuju ilmu dan kedewasaan iman.
—
Wallahu A’lam.
Silakan disebarkan demi melawan kebatilan yang disamarkan dengan jubah suci.