Di Rabitah Rumail Menampilkan Manuskrip-Manuskrip Palsu: Hanif Mengutip Wafi Tidak Mengerti
Untuk mempertahankan nasab Ba’alwi, Rumail Abbas berusaha mencari mansukrip abad ke-5 sampai abad ke-8. Namun, tampaknya usaha itu akan sia-sia. Algoritma dari historiografi abad ke-9 Hijriah di Yaman dan wilayah lain yang berkaitan dengan Ahmad bin Isa, mengunci berbagai kemungkinan tersambungnya keluarga Ba’alwi kepada genealogi Ahmad bin Isa. Dengan semua hal itu, Rumail Abbas katanya menemukan beberapa mansukrip yang dapat menolong nasab Ba’alwi. Klaim itu bisa kita lihat dari presentasinya di acara diskusi nasab di Rabitah Alwiyah (7/9/2024) maupun dalam tulisan-tulisannya di berbagai media. Berikut ini akan penulis urutkan beberapa klaim penemuan manuskrip Rumail Abbas dan ulasannya:
Di bawah ini salah satu manuskrip Rumail yang ditayangkan dalam presentasi diskusi di Rabitah Alwiyah Jakarta (7/9/2024), naskah itu memuat sanad hadits Umar ibn Sa’d al-din al-Dzifari yang, menurut Rumail, ia dapatkan dari Muhammad Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid.
Umar ibn Sa’d Al-Din Al-Dzafari w. 667 H., kata Rumail, ia anak dari Sa’d Al-Din Al-Dzafari yang populer dengan gelar Taj Al-Arifin. Kata Rumail lagi, ia memproduksi dan menyalin kitab berjudul: Al-Arba’un Al-Musnad li Al-Imam Muhammad ibn Ali Al-Faqih Al-Alawi atau Faqih Muqoddam (w. 652 H.). Umar ibn Sa’d Al-Din Al-Dzafari, kata Rumail lagi, mengompilasi 40 hadis yang ia dapatkan dari Muhammad ibn Ali Faqih Muqoddam (w. 653 H.), dan beberapa musnid menyebut nama “Shohib Mirbath”. Pertanyaannya: benarkah seorang Faqih Muqoddam adalah seorang ahli hadits? Ia sebagai sosok yang namanya sama sekali tidak tereportase oleh kitab Thorfat al-Ash’hab karya Raja Yaman Ibnu Rasul tahun 696 Hijriyah; tidak tereportase kitab Al-Suluk karangan ulama Yaman Al-Janadi tahun 732 Hijriyah; tidak tereportase kitab Al-Athoya al-Saniyah karangan Raja Yaman tahun 778 Hijriyah. Bagaimana sekarang ada orang menemukan kitab hadits berupa Musnad atas namanya?
Ini penampakan manuskrip Musnad Faqih Muqoddam:
Dalam manuskrip itu disebut bahwa Umar bin Sa’d mendapatkan hadits dari Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam, dan Faqih Muqoddam mendapatkannya dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid. Sanad ini jelas sanad palsu, karena Abul Hasan Ali bin Jadid tidak mempunyai murid bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam.
Dalam kitab Al-Suluk fi Thabaqat al-Ulama Wa al-Muluk, Al-Janadi (w.732 H.) menyebut nama murid-murid Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid, tetapi tidak ada yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam. Adapun nama-nama murid Ali bin Jadid yang disebut Al-Suluk adalah: Muhammad bin Mas’ud al-Sufali, Ibnu Nashir al-Himyari, Ahmad bin Muhammad al-Junaid, Hasan bin Rasyid, Muhammad bin Ibrahim al-Fasyali, Umar bin Ali Sahibu Baiti Husain (Al-Suluk, juz 2, h. 136). Dalam kitab Banu al-Mu’allim al-jaba’iyyun wa Banu al-Jadid al-Alawiyyun, Abu Umar menyebutkan sembilan nama dari murid Ali bin Jadid, namun tidak juga disebutkan ia mempunyai murid yang bernama Muhammad bin Ali Faqih Muqoddam (lihat hal. 6). Jelas sekali manuskrip yang memuat sanad-sanad Faqih Muqoddam di atas adalah sanad palsu.
Rumail menyebutkan bahwa tahun penulisan manuskrip itu tahun 667 Hijriyah. Dilihat dari bentuk manuskripnya, ia sangat tidak meyakinkan. Tinta biru seperti itu tidak lazim digunakan pada abad ke-7 Hijriah; kertas yang bergaris-garis semacam itu diproduksi sekitar tahun 1960 M. Selain dilihat dari isinya, dilihat dari media yang digunakan pun, manuskrip ini jelas manuskrip palsu. Bentuk tulisan manuskrip ini sangat identic dengan manuskrip kitab hadits tulisan Salim bin Jindan (w. 1969 H.). Perhatikan potongan manuskrip yang terdapat dalam media online “Jaringan Santri”[11] yang memuat sebuah manuskrip kitab hadits karya Salim bin Jindan yang diberi judul Riwayah bi al-Fi’li di bawah ini:
(Lihat di https://jaringansantri.com/manuskrip-ilmu-hadis-habib-salim-bin-jindan/)
Dilihat dari bentuk tulisan dan jenis kertas yang bergaris-garis yang biasa digunakan oleh Salim bin Jindan, antara naskah Rumail dan naskah Salim bin Jindan sangat identic. Naskah Rumail itu 99% adalah tulisan tangan Salim bin Jindan yang wafat di Jakarta tahun 1969 M.
Lalu bagaimana penapat ulama Yaman tentang Salim bin Jindan? Doktor Muhammad Badzib dalam Akun Media Sosial Saluran Telegram nya yang diposkan tanggal 16 Mei 2024 menyebutkan bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan “la yuhtajju biha wala yu’tamadu alaiha” (tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan pegangan). Doktor Badzib mengutip pendapat Abdullah Alhabsyi dalam kitabnya “Maashadir al fikri al Islami fi al Yaman” bahwa kitab-kitab Salim bin Jindan adalah kitab yang diambil dari “ruang hampa”.
Abdullah Muhammad Al-Habsyi menyebut bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan tidak baerfaidah dan dalam kitab-kitab itu ada “Mujazafah” (ucapan kacau dan tanpa referensi); didalamnya pula ada “al-khaltu” (ucapan rusak dan igauan orang yang tidak sadar) (h. 558).
Selain Abdullah Al-Habsyi, menurut Badzib, Sagaf Ali al-Kaf pun berpendapat yang sama, bahwa kitab-kitab Syekh Salim bin Jindan dalam ilmu nasab penuh dengan “akadzibu la yu’tamadu alaiha” (kedustaan dan tidak dapat dijadikan pegangan).
Manuskrip Hasan al-‘Allal (460 H.)
Inilah penampakan manuskrip yang katanya ditemukan atau dibeli Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah “bin” Ahmad bin Isa (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari Al-Husain bin Muhammad bin Ubaid bin al-Askari. Nampaknya manuskrip inilah yang dijadikan dasar Hanif Alathas ketika di Rabitah Alwiyah (7/9/2024) menyebut bahwa nasab Ba’alwi sudah disebut tahun 460 H. manuskrip ini pula dikutif Wafi dalam presentasi nasab Ba’alwi di Pamekasan. Hanif dan Wafi adalah dua orang yang tidak konsisten, satu sisi mereka menolak kitab sezaman, di sisi lain mereka mencantumkan bukti-bukti palsu dari kitab sezaman. Nampaknya keduanya was-was dengan konklusi fallaci mereka bahwa kitab sezaman tidak disyaratkan. Mereka berdua juga tidak yakin dengan bukti manuskrip yang di munculkan Rumail Abbas. Akhirnya mereka gunakan semuanya, berharap mukibin bingung akhirnya tetap percaya bahwa Ba’alwi adalah tetap cucu Nabi.
Begini, Bos. Manuskrip ini jelas “manuskrip lucu-lucuan”; ia manuskrip “bodong” tanpa identitas. Tidak disebutkan diambil dari kitab apa, karya siapa, ditulis tahun berapa, selama ini manuskrip itu ada di mana. Tetapi, menurut penulis, nampaknya ia potongan sana-sanad yang terdapat dalam kitab palsu “Al-Arba’un” yang diatribusikan kepada Umar bin Sa’ad al-Din al-Dzifari (w. 667 H.) yang telah disebutkan di atas. Naskah itu adalah naskah palsu mengatasnamakan Umar bin Sa’d. Kitab tersebut diduga kuat adalah tulisan Salim bin Jindan tahun 1960 Masehi.
Jelas sekali rangkaian sanad itu sengaja diciptakan bukan untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi lebih untuk kepentingan disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti palsu bahwa sosoknya betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits. Sayangnya creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab, nama-nama perawi sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab “ruwat” (para perawi). Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok historis atau bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab ruwat (para perawi hadits) yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Dalam sanad hadits Rumail itu, Abdullah “bin” Ahmad bin Isa katanya mendapat hadits dari Al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Ibnu al-Askari memang seorang perawi hadits, namanya ditulis dalam kitab-kitab ruwat hadits (kitab yang menyebut nama-nama para perawi hadits). Di dalam sanad itu disebut bahwa Ibnu al-Askari mendapatkan hadits dari Abu Ja’far bin Muhammad bin al-Husain al-Daqqaq. Al-Daqqaq pula terkonfirmasi sebagai perwai hadits.Tapi apakah benar Ibnu al-Askari meriwayatkan hadits kepada Abdullah?
Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi maka, namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau yang mendekatinya, semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah. Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti Al-Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.
Untuk menguji sanad palsu itu, mari kita teliti seorang nama perawi yang disebut di sana, ia adalah Al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Benarkah ia mempunyai murid bernama Abdullah “bin Ahmad bin Isa”?
Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok al-Husan bin Muhammad bin al-Askari.
الْحُسَيْن بن مُحَمَّدِ بْنِ عبيد بن أَحْمَدَ بْنِ مخلد بن أبان أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الدَّقَّاق المعروف بابن العسكري …حَدَّثَنَا عنه أَبُو الْقَاسِمِ الأزهري، وأبو مُحَمَّد الجوهري، والحسن بن مُحَمَّدٍ الْخَلالُ، وأحمد بن مُحَمَّد العتيقي، وأبو الفرج بن برهان، والقاضي أَبُو العلاء الواسطي، وعبد العزيز بن عَلِيّ الأزجي، وعلي بن مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَن المالكي، والقاضي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ البيضاوي، وأحمد بْن عُمَرَ بن روح النهرواني، وأبو الْقَاسِم التنوخي. (تاريخ بغداد: جزء 8 ص. 569)
Dalam kitab “Tarikh Bagdad” karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al-Azhari, Abu Muhammad al-Jauhari, al-Hasan bin Muhammad al-Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin Burhan, al-Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, al-Qodi Abu Abdillah al-Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).
Jelas nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” tidak termasuk murid atau orang yang meriwayatkan hadits dari Ibnul Askari. Sanad itu baik dilihat dari sisi media maupun isi, terbukti palsu. Dengan terbuktinya manuskrip itu palsu baik dari sisi isi maupun media, maka seharusnya kesadaran jiwa adalah jawaban dari semua kegundahan ini; keikhlasan menerima takdir Tuhan adalah obat peringan rasa sakit; lalu beradaptasi adalah perawatan yang menjanjikan kesembuhan. Semakin cepat beradapatsi maka akan semakin cepat kembali kepada sedia kala. Semakin melawan takdir Tuhan, maka akan semakin lama rasa sakit mengurabi jiwa; akan semakin dalam perih dan luka. Toh banyak manusia hidup dalam kemuliaan dan kehormatan tanpa adanya atribusi nasab leluhur mereka. Bahkan mayoritas raja dan penguasa dunia hari ini bukanlah dari mereka yang menjadikan nasab sebagai modalnya.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Link palsunya manuskrip: