DIALOG TENTANG TAHLILAN DENGAN PENGIKUT SEKTE WAHABI

DIALOG TENTANG TAHLIL (Sambil ngopi)
DIALOG KE-1
Abu : “Mar, kamu katanya Islam koq masih 7 harian di kematian itu namanya tasabuh , kamu tahu gak 7, 40, 100 hari itu ajaran Hindu Budha.”
Umar : “Masak kang , kalo begitu Hindu Budha itu termasuk Islam dong…”
Abu : “Kamu ngaco Hindu Budha itu kafir blog, goblog”.
Umar : “Masak kafir tahlilan, bukankah tahlil itu kalimat tauhid…?”
Abu : “Bukan tahlilnya tapi acaranya , barang siapa tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir, maka ia bagian darinya…”
Umar : “Aku malah jadi bingung kang…”
Abu : “Ya, karena kamu goblog…”
Umar : “Kang, Nabi lahir itu Abu Jahal sudah ada belum?”
Abu : “Ya sudah to, dia paman nabi.”
Umar : “Abu Jahal Islam kang?”
Abu : “Kafir, jahiliyah…”
Umar : “Kenapa Nabi berberjubah kayak Abu Jahal kang, apa Nabi tasabuh juga ?”
Abu : “Ee e e itu urusan dunia masalah pakaian…”
Umar : “Kalau urusan dunia tidak tasabuh ya…?”
Abu : “Ya dong…”
Umar : “Boleh gak kang aku pake daster…?”
Abu : “Haram, itu menyerupai cewek.”
Umar : “Tapi ini urusan dunia kang, katanya bukan tasabuh…”
Abu : “Dah kamu ngeyel mojokin aku aja, ini masalah tahlil 7 hari ini ibadah Hindu Budha. Titik”
Umar : “Kang pusatnya Hindu Budha tu di India, di India sana gak ada acara 7, 40, 100 hari tuh, apalagi di sedekahi wong mayatnya aja dibakar. Ini semula tradisi masyarakat Jawa, oleh para Walisongo tradisi yang sudah ada itu dipelihara kemudian diberi ruh islam,
Abu : Tapi ini bukan tradisi umat Islam, nabi tidak pernah mencontoh budaya orang kafir seperti ini, kenapa tidak diganti budaya islam? Jadi syirik kan…?”
Umar : “Kang Abu, katanya sudah jadi ustadz, koq cetek men ilmunya…?”
Abu : “Maksudmu bagaimana? Ngawur kamu Lop”
Umar : “La koq suruh ngganti budaya islam, emang ada budaya islam?”
Abu : “Ada, di Arab banyak contohnya”
Umar : “Itu budaya Arab kang bukan budaya Islam. Jadi Islam itu bukan budaya tapi Islam itu ruh , system , ajaran. Namanya ruh, sistem, ajaran itu bisa dimasukkan kedalam apa saja , ruh itu bisa dimasukkan ke tubuh orang Indonesia atau orang Arab tujuan utamanya sama ” illa liya’budun “
Abu : “Tapi ini bertentangan dg Islam…”
Umar : “Mana bertentangannya? Tahlil itu baca kalimah tauhid, ayat suci Alqur’an, sholawat dan berdoa apa Islam melarang itu.?”
Abu : “Bukan bacaannya, tapi itu budaya Jawa kenapa dipertahankan?”
Umar : “Sampean pernah umroh kan ? Kenapa sampean thowaf ?”
Abu : “Itu rukun haji/ umrah, harus dilaksanakan.”
Umar : “Sampean tahu sejarah thawaf ?”
Abu : “Terus terang, meskipun aku ustadz dan rajin dauroh tidak tahu sejarah thawaf.”
Umar : “Oke kang, sebenarnya ada banyak sekali budayanya kafir jahiliyyah yang oleh Kanjeng Nabi diadopsi menjadi syariat namun tetap mempertahankan budaya itu sendiri sehingga bisa merangkul semua agama dan kalangan, contoh nya, aku tunjukkan budayanya kafir jahiliyah yang menjadi hukum syariat :
1) THOWAF
Thowaf itu ada sebelum Nabi lahir , para wanita arab itu keliling ka’bah 7x dg telanjang bulat .*Gak usah ngiler ya dengar cewek bugil* — itu upacara pemujaan karna di samping ka’bah ada patung tuhan mereka latta dan uzza kenapa mereka telanjang , menurut ajaran dia menghadap Tuhan / berdoa harus suci , ingat kang syariat Nabi Musa kalo baju kena najis itu harus di sobek dan di buang. Kalo syariat Nabi kita dicuci ya! Nah budaya ini, keliling ka’bah 7x tidak dihilangkan Nabi tapi masuki ruh Islam latta uzza dibuang , suci tdk berarti telanjang tapi suci bersih ( simbul bersih suci itu sekarang warna putih ) jadilah pakaian ihram itu berwarna putih.
2) AQIQAH
Sudah jd tradisi di Arab sana kalo punya anak disyukuri dg menyembelih binatang peliharaan dan melumurkan darah penyembelihan.
Oleh Nabi, budayanya masih dipertahankan diberi ruh Islam. Menyembelihnya masih, tapi tidak dilumuri darah dan rambutnya di cukur dan diberi minyak wangi. Itu kang, haji umrah…”
Abu : “Oh begitu ta, baru tahu nih!”
Umar : “Makanya ayo kita banyak belajar jangan nyalahi orang melulu. Ayo minum kopinya dulu…Srupuuut ahhh.”
😂☕
DIALOG KE-2

Dialog Tentang Tahlilan Sunni vs Wahabi

WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan ke 1000. Kalau tidak, Anda akan masuk neraka!”
SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100 dan 1000?”
WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula!”
SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah wal Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul
karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”

WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”

SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”
WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut orang-orang Hindu melakukan kesyirikan!?”
SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah Swt. dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮْﺩٍ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:ﺫَﺍﻛِﺮُ
ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻐَﺎﻓِﻠِﻴْﻦَ ﺑِﻤَﻨْﺰِﻟَﺔِ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮِ ﻓِﻲ
.ﺍﻟْﻔَﺎﺭِّﻳْﻦَ

Dari Ibnu Mas’ud Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir
no. 9797 dan al-Mu’jam al-Ausath no. 271. Al-Hafidz as-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al- Jami’ ash-Shaghir no. 4310). Dalam acara tahlilan selama 7 hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi Tahlilan
itu.
WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada
7 hari kematian, hari ke 40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh!”
SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama!?”
SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah Saw.”
WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah!?”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda. Coba Anda perhatikan hadits ini:

ﻋَﻦْ ﺃُﻡِّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺴَّﺒْﺖِ ﻭَﻳَﻮْﻡَ
ﺍْﻷَﺣَﺪِ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻣِﻦْ ﺍْﻷَﻳَّﺎﻡِ ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ
ﺇِﻧَّﻬُﻤَﺎ ﻋِﻴﺪَﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻓَﺄَﻧَﺎ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ
.ﺃُﺧَﺎﻟِﻔَﻬُﻢْ

Ummu Salamah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau Saw. bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad no. 26750, an-Nasa’i juz 2 halaman 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya. Maka Rasulullah Saw. menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan sebagai penghormatan kepada si mati.
WAHABI: “Owh, iya ya.”
SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
WAHABI: “Ya, baca kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas. Sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf dan gengsi belajar agama kepada para kyai pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silakan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”
Semoga bermanfaat.
#SALAM DAMAI
#ISLAM RAHMATAN LILALAMIN
والله أعلم



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *