Doktrin Sesat Kafa’ah Nikah Ba’alawi di Indonesia
Oleh KH. Ali Badri Masyhuri
Banyak habaib yang mengklaim bahwa kafaah nasab atau syarifah tidak boleh menikah dengan non sayyid adalah kesepakatan semua keluarga Baalawi. Hal ini bertentangan dengan fakta. Di Hadramaut sendiri, ketatnya masalah kafaah hanya terjadi di kota Tarim saja.
Berkatalah Habib Ali bin Muhsin Assegaf: Kakek saya (Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf) mendapat cerita dari Sayyid Yusuf bin Abid, bahwa Sayyid Abdurramah bin Syihab (yang tinggal di Tarim) mengirim seorang syarifah –yang wali nikahnya sedang pergi jauh– pada Sayyid Yusuf (yang tinggal di luar Tarim), agar habib Yusuf menikahkan syarifah itu dengan seorang lelaki dari keluarga Bahanan (bukan sayyid). Maka beliau pun menikahkannya. Tidaklah akad pernikahan itu dioper pada Sayyid Yusuf kecuali karena Sayyid Abdurrahman bin Syihab takut ditegur oleh para sayyid di Tarim (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Di Tarim sekalipun, ketatnya perkawinan antar trah hanya di kalangan tertentu saja. Setidaknya di kalangan ulama’ habaib masih ada toleransi. Dalam kitab Al-Istizadah di halaman yang sama, Habib Ali bin Muhsin Assegaf juga menceritakan bahwa Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus Al-Adani pergi ke Tarim dan menikahkan para syarifah di sana dengan keluarga Bafadhal (bukan sayyid).
Habib Abu Bakar Al-Idrus Al-Adani adalah seorang ulama’ kota Adan, kelahiran tahun 852 H, terkenal sebagai orang yang alim dan waliyullah, beliau adalah keponakan Habib Ali As-Sakran.
Kemudian, seperti yang telah saya singgung di awal, bahwa ketika di Nusantara raya (Indonesia, Malaysia dan Singapura) ada ribut imigran Yaman antara Baalawi dan non Baalawi gara-gara ada seorang India menikahi syarifah Baalawi, datanglah fatwa dari dua ulama besar di Hadramaut. Yang pertama dari Qadhi Siwun bernama Habib Alwi bin Abdurrahman Assegaf, dan yang kedua dari Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf yang merupakan mufti provinsi Hadramaut.
Kedua fatwa itu membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid. Terkait fatwa itu, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf berkata:
وبمثل ذلك أفتيت أنا في سنة 1.358 هـ بشأن رجل جاء من الهند وتزوج بشريفة برضاها من وليها مستندا في ذلك قول المنهاج وشروحه ، ولو أذنت في تزويجها بمن ظنته كفؤا فظهر بعد ذلك فسقه أودناءة نسبه أو حرفته فلا خيار لها لتقصيرها بترك البحث .. ورفعت فتواي لكثير من أهل العلم ومنهم إنسان عين تريم لذلك العهد السيد عبد الله بن عمر الشاطري فلم يقدح فيها أحد وأمضي الكاح إلى اليوم (حال تأليف الكتاب 1366 هـ)
Terjemah:
“Dan seperti itu juga saya berfatwa pada tahun 1.358 H, tentang seorang lelaki yang datang dari India dan menikahi sorang syarifah dengan keridhaannya dari walinya, berdasarkan pendapat kitab Al-Minhaj dan kitab-kitab syarahnya. Dan seandainya seorang syarifah telah mengizinkan (walinya) untuk menikahkannya dengan lelaki yang ia kira sepadan, kemudian nampaklah (setelah akad nikah) bahwa suaminya itu adalah orang fasiq atau rendah nasabnya atau (rendah) pekerjaannya, maka syarifah itu tidak punya pilihan lagi (untuk menggagalkan pernikahannya), karena dia sendiri yang sembrono dengan tidak meneliti (sebelum pernikahan)… Sayapun memperlihatkan fatwa saya itu pada banyak ulama’, diantaranya adalah ulama yang paling agung pada zaman itu di kota Tarim, yaitu Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Tidak seorangpun dari mereka yang menolak fatwa saya. Pernikahan (orang India dengan syarifah) itupun berlanjut hingga kini (saat menulis kitab itu tahun 1.366 H.)”.
Lalu kenapa Baalawi Indonesia sangat kompak berpegang teguh pada pendapat yang tidak membolehkan syarifah menikah dengan non sayyid, sementara di Hadramaut sendiri dianggap masalah khilafiyah? Sampai-sampai Habib Ali bin Muhsin Assegaf berkata:
كما أن من المستغرب حصر الاهتمام بفتوى السيد عمر العطاس مع أنه لا يأتي في مرتبة العلماء الأعلام بحضرموت الذين أفتوا بما ينقض فتواه من أساسها..
Terjemah:
“Sebagaimana termasuk yang aneh, adalah bahwa mereka hanya peduli dengan fatwa Sayyid Umar Alatas (Singapura), padahal beliau dibawah level para ulama’ besar Hadramaut yang telah berfatwa menentang fatwa beliau mulai dari dasarnya.” (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.391).
Bahkan yang lebih dahsyat lagi adalah yang diceritakan oleh Habib Ali bin Muhsin Assegaf:
ومن الطريف ما ذكره الجد ابن عبيد الله بأنه بذلت له مئتا ريال وهو مبلغ كبير في ذلك العهد بواسطة الشيخ سالم بن محمد الخطيب ليفتي ببطلان العقد فلم يوافق الجد على مخالفة الشرع لأجل مصلحة
Artinya:
“Dan termasuk yang lucu adalah apa yang diceritakan kakek saya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, bahwa beliau pernah diberi uang (sogokan) sebesar 200 reyal, nilai uang yang sangat besar ketika itu, uang itu diberikan melalui Syekh Salim bin Muhammad Al-Khatib, agar Habib Abdurrahman berfatwa tidak sah syarifah menikah dengan non sayyid. Namun beliau menolak, beliau tidak mau melanggar syari’at demi sebuah kepentingan” (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.371).
Dari semua cerita di atas, juga cerita-cerita sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan Baalawi yang hijrah ke Indonesia itu memang beda sekali dengan Baalawi yang sejak awal bertahan di Hadramaut.
Pertama, kebanyakan yang hijrah ke Indonesia ini memang bertujuan mencari harta dunia, sehingga kepergian mereka pun tidak diridhoi oleh ulama’ habaib Hadramaut. Kedua, kebanyakan Baalawi Indonesia pada masa konflik itu memusuhi ulama’ habaib Hadramaut, karena habaib Hadramaut menentang fatwa Habib Ustman bin Yahya terkait pernikahan syarifah dengan non sayyid. Kesimpulannya, kebanyakan Baalawi yang hijrah ke Indonesia itu memang para pembangkang, sedangkan yang bertahan di Hadramaut adalah Baalawi yang baik-baik.
Kembali ke masalah kafa’ah, fakta yang diceritakan oleh kitab Al-Istizadah itu jelas-jelas membantah klaim bahwa pendapat Habib Utsman bin Yahya adalah pendapat yang disepakati oleh ulama Baalawi sedunia, alih-alih ahlulbait sedunia.
Mengenai apa yang dikatakan oleh Habib Ali bin Muhsin Assegaf, bahwa aneh sekali ketika Baalawi Indonesia bersikeras memegang fatwa Habib Umar Alatas yang senada dengan fatwa Habib Utsman bin Yahya, padahal level mereka di bawah ulama habaib Hadramaut. Kita pun pasti menganggap itu sebagai hal yang aneh.
Mereka berani mencaci ulama’ habaib Hadramaut demi mempertahankan pendapat yang lemah ini, bahkan demi pendapat yang lemah ini mereka mengorbankan persaudaraan dengan sesama imigran Yaman yang non Baalawi; bertikai fisik dan saling caci di media sehingga membuat malu bangsa Arab di negara-negara Arab, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk perang opini.
Maka atas keanehan itu kemudian muncul pertanyaan, ada apa dibalik semua ini? Saya pun kemudian merasa menemukan jawabannya setelah membaca sejarah mereka dalam kitab Al-Istizadah.
Ceritanya, pemerintah kolonial Belanda membuat peraturan bahwa imigran Yaman tidak boleh menikah dengan pribumi dan tidak boleh berpakaian dengan pakaian pribumi. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.351)
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, rupanya Belanda khawatir imigran Yaman akan simpati dan mendukung perjuangan pribumi kalau menjadi besan atau menantu pribumi.
Saya mencurigai Snouck Hurgronje sebagai orang yang berinisiatif mengangkat masalah kafaah ini untuk mendukung peraturan Belanda itu. Snouck Hurgronje adalah orientalis bayaran Belanda yang pakar dalam keilmuan dan sejarah Islam. Pasti dia tahu bahwa di kalangan Baalawi ada yang fanatik soal kafaah.
Dia pun memanfaatkan itu untuk mendukung peraturan pemerintah kolonial Belanda, karena dengan fatwa Habib Utsman itu, setengah target peraturan Belanda terpenuhi, setidaknya untuk kalangan Baalawi, yaitu perempuan Baalawi tidak berani menikah dengan pribumi karena bertentangan dengan fatwa dan bertentangan dengan peraturan Belanda.
Jadi, pihak kolonial Belanda memang patut dicurigai ada main didalam membesar-besarkan masalah kafa’ah nasab yang sebenarnya sepele ini, yakni masalah khilafiyah. Kecurigaan ini didukung dengan fakta bahwa ternyata imigran Yaman bukan hanya membuat keributan di Indonesia saja, melainkan juga membuat keributan di Afrika, India dan negara-negara jajahan Belanda lainnya. (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.366)
Sebenarnya, kalangan Baalawi pernah bermasalah terkait kafaah nasab ini. Di Makkah, mereka pernah bermasalah dengan penguasa Hijaz yang dari keluarga syarif Al-Hasani, penguasa Hijaz biasa disebut Syarif Makkah karena Makkah adalah ibu kota Hijaz.
Saat itu, Syarif Makkah marah pada kalangan Baalawi sehingga membuat larangan memanggil Baalawi dengan “sayyid”, bahkan Syarif Makkah pernah menghukum seorang Baalawi karena menikahi seorang syarifah Makkah Al-Hasaniyah. Baalawi itu dihukum dengan pukulan tongkat di depan umum dan dipaksa untuk menceraikan istrinya yang syarifah Al-Hasaniyah (Baca Al-Istizadah, hlm. 1.323 dan 1.373).
Entah kenapa Syarif Makkah semarah itu dan menganggap Baalawi tidak sekufu’ dengan syarifah Makkah, apakah Syarif Makkah termasuk orang yang menolak nasab Baalawi atau karena marah saja? Wallahu a’lam.
Intinya, kasus ini bisa dijadikan pelajaran oleh keluarga Baalawi, bahwa ketika mereka memaksakan pendapat terkait kafaah nasab, sesungguhnya Allah SAW pernah mempermalukan mereka dengan kasus di Makkah itu. Ketika mereka mencaci maki pribumi karena menikahi wanita mereka, ternyata keluarga mereka mengalami hal yang lebih parah daripada pribumi itu, yaitu keluarga mereka dita’zir oleh Syarif Makkah dan dipaksa menceraikan istrinya.
Doktrinisasi masalah kafa’ah kemudian berkembang. Baalawi Indonesia kemudian banyak yang menyebarkan pemahaman-pemahaman yang munurut saya hampir semuanya sesat.
Pemahaman pertama, syarifah lebih baik berzina dengan non sayyid daripada menikah dengan non sayyid, karena kalau berzina maka anaknya tidak putus nasab pada Rasulullah SAW, karena anak zina itu bernasab pada ibunya, kalau anak sah itu bernasab pada ayahnya.
Saya pernah mendengar ini langsung dari seorang habib yang alim. Waktu itu beliau hanya menukil saja dari salah satu habib lain. Namun saya juga mendengar dari orang-orang Kalimantan Barat, bahwa di sana juga sering didengar Baalawi bilang begitu.
Mereka menjadikan istidlal yang lemah untuk bahan doktrinisasi. Saya siap melumpuhkan setiap istidlal mereka dengan semua dalil itu. Sejak tahun 2007, saya sudah mengajak Rabithah Alawiyah untuk diskusi terbuka membahas fatwa Habib Utsman bin Yahya terkait kafa’ah.
Saya sudah bertoleransi dengan mengatakan bahwa itu masalah khilafiyah. Silakan dipakai dengan tanpa menghina orang lain yang tidak sependapat, tapi mereka bersikeras menganggap itu sebagai pendapat yang disepakati oleh semua ulama’ Baalawi.
Jadi, para pendukung Rabithah Alawiyah terkait bab kafaah ini, baik habaib maupun muhibbin, tidak usah membawa dalil di hadapan saya. Kalau mau silakan ketua Rabithah Alawiyah sendiri yang menghadapi saya, saya menunggu mereka sejak 16 tahun yang lalu.
Pemahaman Kedua, non sayyid yang menikahi syarifah berarti tidak beradab pada Rasulullah SAW, bahkan pernikahan itu tergolong maksiat, maka tidak boleh dihadiri akad nikahnya.
Sebenarnya ini berasal dari pemahaman bahwa istri adalah pelayan suaminya. Ketika saya masih muda dan belum menikah, ada seorang habib yang sudah agak tua menasehati saya. Beliau berkata begini:
“Kalau ente menikah nanti, lakukan ini di hari pertama, ente suruh istri ente untuk mengambil air minum. Kalau dia bawa segelas air minum tanpa alas lepek maka bentaklah dia dan suruh kembali ke dapur untuk membawa gelas dengan alas lepek. Kalau sudah pakai lepek tapi gelasnya tidak ditutup maka bentak lagi dan suruh kembali ke dapur untuk membawa gelas tertutup. Kalau dia kembali dengan gelas tertutup maka ente minum sekidit kemudian bentak dia. Ente bilang saja airnya bau, suruh dia mengambil air lagi. Intinya, buat dia takut sama ente sejak hari pertama”.
Tentu saja ini bukan ajaran semua habaib, namun setidaknya kita bisa memahami bagaimana sebagian mereka memperlakukan istri. Yang pasti, sejak zaman jahiliyah, sudah mentradisi di kalangan orang Arab bahwa kaum perempuan adalah mangsa, bahasa arabnya disebut farisah (فريسة), sedangkan kaum laki-laki adalah pemangsanya.
Itu sebabnya, dalam tradisi itu, perempuan harus menikah minimal dengan yang sederajat, karena perempuan adalah pihak yang dimangsa. Perempuan tidak boleh “dimangsa” oleh laki-laki yang dibawah derajat keluarganya, karena hal itu akan menjadi aib (‘ar) bagi keluarga.
Ulama’ fiqih kemudian mempertimbangkan tradisi itu untuk menjaga keharmonisan masyarakat, yaitu dengan menyarankan pernikahan perempuan dengan yang sederajat (sekufu’), baik dalam segi nasab, ekonomi dan sebagainya. Bahkan ulama fiqih melarang seorang ayah menikahkan anak gadisnya dengan lelaki yang tidak sekufu tanpa persetujuan anak gadisnya.
Ketika saya menikah lagi dan istri saya merajuk minta pulang, saya pun berusaha meyakinkannya bahwa sedikit pun perasaan saya tidak berubah padanya; saya tetap menyayanginya dan bahkan semakin menyayanginya, saya pun selalu meminta maaf padanya. Sedangkan salah seorang habib teman saya bercerita, bahwa ketika dia menikah lagi dan istri pertamanya minta pulang maka ia pun berkata: “Ya pulang sendiri sana, aku tidak mau mengantar, kan kamu sendiri yang mau pulang!”.
Jadi, ya.. memang beda tradisi! Maka beda pula hukumnya.
Nah, masyarakat atau komunitas apapun yang menjalankan tradisi seperti itu, baik di Arab maupun di luar Arab, yakni menganggap bahwa perempuan adalah mangsa, tentu saja mereka akan beranggapan bahwa non sayyid yang menikahi syarifah itu tidak beradab pada Rasulullah SAW, karena mereka membayangkan syarifah itu akan menjadi pelayan bagi suaminya.
Itulah sebabnya ada seorang habib yang mengibaratkan non sayyid yang menikah dengan syrifah itu seperti orang shalat yang hanya memakai celana kolor di bawah lutut, tidak pakai baju, shalatnya sah tapi tidak beradab.
Beliau pun melarang menghadiri pernikahan syarifah dengan non sayyid. Saya tidak yakin itu adalah pemahaman yang diajarkan oleh kekek beliau yang datang dari Hadramaut sebagai ulama’. Saya yakin habib itu hanya terpengaruh dengan paham Rabithah Alawiyah yang sejak awal memang menentang faham mayoritas habaib Hadramaut.
Maka menvonis non sayyid yang menikah dengan syarifah sebagai orang yang tidak beradab pada Rasulullah SAW, sebenarnya itu hanya suudzon saja. Mereka pikir semua orang sama seperti mereka didalam memperlakukan istrinya. Namun kalau suudzon ini dijadikan dasar untuk menghukumi setiap non sayyid yang menikahi syarifah, maka jelas ini adalah pemahaman sesat.
Ini bertentangan dengan fakta bahwa leluhur ahlulbait sendiri yang pernah menikahkan putri-putri mereka dengan non ahlulbait. Setidaknya saya tulis 10 nama ini saja sebagai bukti:
1. Ruqayyah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
2. Ummu Kultsum binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Utsman bin Affan.
3. Zainab binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abul ‘Ash.
4. Ummu Kultsum binti Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Umar bin Al-Khatthab.
5. Sukainah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Zaid bin Umar bin Utsman bin Affan.
6. Fathimah binti Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan.
7. Fathimah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Al-Mundzir bin Zubair bin Al-Awam.
8. ‘Idah binti Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Nuh bin Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah.
9. Fathimah binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Ayyub bin Maslamah Al-Makhzumi.
10. Ummul Qasim binti Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Fathimah binti Sayyidina Muhammad, menikah dengan Marwan bin Aban bin Utsman bin Affan.
Terkait pernikahan Sayyidina Utsman dengan dua putri Rasululullah SAW, habaib Indonesia biasanya berkata: “Itu adalah khushushiyah, Rasulullah SAW bisa menikahkan siapapun dengan siapapun. Selain itu, wanita Ahlulbait tidak boleh menikah dengan pria non ahlulbait”.
Dengan demikian berarti, menurut mereka, Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah durhaka karena menikahkan seorang putrinya dengan Sayyidina Umar bin Al-Khatthab. Keluarga Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husain juga telah durhaka empat kali karena menikahkan dua orang putrinya dan dua orang saudarinya dengan non ahlulbait. Demikian juga keluarga Sayyidina Hasan Al-Mutsanna telah durhaka dua kali karena menikahkan dua orang putrinya dengan non ahlulbait.
Baiklah, saya akan membawa saudara-saudara sekalian pada kisah Sayyidina Umar, seoarang sahabat yang shaleh dan pejuang non ahlulbait. Ketika beliau melamar seorang syarifah cucu langsung Rasulullah SAW, yaitu Sayyidah Ummu Kultsum binti Fathimah binti Rasulullah SAW, Sayyidina Umar mau menikahi Sayyidah Ummu Kultus hanya untuk mendapatkan kehormatan dan hubungan sabab dengan Rasulullah SAW, yakni menjadi menantu cucu Rasulullah SAW. Karena beliau pernah bersabda:
كل سببٍ ونسبٍ منقطعٌ يوم القيامة إلا سببي ونسبي
Terjemah:
“Semua hubungan sabab dan nasab itu terputus pada hari kiamat, kecuali sababku dan nasabku”.
Yang dimaksud hubungan sabab adalah hubungan pernikahan. Maka semua orang yang menikahi keturunan Rasulullah SAW berarti memiliki hubungan sabab dengan beliau. Itulah “sabab” menurut pemahaman Sayyidina Umar dan para sahabat lainnya, sehingga mereka pun mengusulkan agar Sayyidina Umar menikahi Sayyidah Ummu Kultsum.
Ketika Sayyidina Umar sang Khalifah melamar Sayyidah Ummu Kultsum pada Sayyidina Ali, Sayyidina Ali langsung menolak. Apa apalasannya? Apakah karena Sayyidina Umar bukan Bani Hasyim dan tidak sekufu’ nasabnya dengan Sayyidah Ummu Kultsum? Tidak. Sama sekali tidak!
Alasan beliau hanya dua saja, pertama karena Sayyidah Ummu Kultsum masih terlalu muda untuk menikah, kedua, karena Sayyidina Ali sudah berniat untuk menikahkan Sayyidah Ummu Kultsum dengan anak saudaranya, yakni putra Sayyidina Aqil bin Abi Thalib.
Namun Sayyidina Umar memohon-mohon agar Sayyidina Ali menerima lamaran itu. Beliau menjelaskan alasan kenapa beliau sangat berharap dapat menikahi Sayyidah Ummu Kultsum, yaitu untuk mendapatkan hubungan sabab sebagaimana Hadits Nabi tadi. Sayyidina Umar kemudian meyakinkan Sayyidina Ali dengan berkata:
زوِّجْنيها يا أبا الحسن، فإني أرصد من كرامتها ما لا يرصده أحد، هي عندي مكرمةٌ أشد التكريم
Terjemah:
“Nikahkan aku dengannya, wahai Abul Hasan, sesungguhnya aku akan menjaga kemuliaannya dimana tidak ada orang lain yang dapat menjaganya melebihi aku, bersamaku dia akan sangat dimuliakan”.
Melihat ketulusan Sayyidina Umar itu, akhirnya Sayyidina Ali menikahkan beliau dengan Sayyidah Ummu Kultsum.
Saya jadi teringat beberapa minggu lalu ada tayangan di Youtube, seorang kiai pengasuh Pesantren di Rembang Pasuruan mengeluhkan apa yang terjadi pada beliau. Beliau menikahi syarifah kemudian dimusuhi oleh habaib, padahal ceritanya begini:
Syarifah itu sejak kecil ditelantarkan oleh ayahnya. Akhirnya, syarifah itu diasuh oleh kiai sepuh desa Rembang, namanya Kiai Yazid, dan beliau sudah wafat. Saya kenal baik dengan beliau dan beliau pernah ke rumah saya. Kiai Yazid mengasuh dan mendidik syarifah itu dengan baik layaknya putri sendiri, hingga syarifah itu tumbuh dewasa dan menjadi ustadzah.
Kiai Yazid yang sudah menganggap syarifah itu sebagai putri sendiri kemudian menjadikannya menantu, dinikahkan dengan salah satu putra beliau yang kini telah menjadi kiyai. Syarifah itupun bertambah gelarnya dengan menjadi “Bu Nyai”, hidup terhormat sebagai istri pengasuh pesantren dan mengajar bahkan berdakwah.
Saudara-saudara sekalin silakan beri penilaian, apakah Kiai Rembang itu merendahkan sang syarifah? Bukankah justru mengangkat derajat syarifah itu yang sewaktu kecil terlantar? Itulah yang beliau maksud dengan perkataan beliau di Youtube, bahwa beliau telah memperlakukan syarifah istri beliau itu layaknya permata yang beliau ambil dari lumpur kemudian beliau letakkan didalam lemari kaca. Demi Allah, katakan di hati yang paling dalam, apakah itu menghina Rasulullah SWA?
Pemahaman Ketiga, pernikahan syarifah dengan non sayyid itu memutus nasab keturunan si syarifah dari Rasulullah SAW, maka ini adalah tindakan kejahatan terhadap anak-anak Syarifah. Kata seorang habib, syarifah yang menikah dengan non sayyid berarti jahat pada anak-anaknya, dia lebih mempedulikan nafsunya sendiri sehingga mengorbankan nasab anak-anaknya.
Nah, pemahaman ini sangat erat hubunganya dengan pemahaman mereka bahwa anak syarifah dengan non sayyid itu tidak termasuk ahlubait, bahkan tidak termasuk dzurriyat Rasulullah SAW. Mari kapan-kapan kita bahas lebih rinci….
Waallahu Alam