Dosa-Dosa Ubaidillah

Dosa-Dosa Ubaidillah

Dinasti fathimiyah atau dinasti Ubaidiyah adalah dinasti syiah yang berdiri pada tahun 296 H (909 M) di Afrika Utara (berpusat di Mesir). Pendirinya adalah Abu Abdillah Ubaidillah al-Mahdi. Mereka mengaku-ngaku sebagai keturunan Fathimah az-Zahra.

Para sejarawan berbeda pendapat tentang nasab mereka. ada yang mengatakan bahwa mereka menisbatkan dirinya kepada Ismail bin Ja’far ash-Shadiq, oleh karena itu mereka disebut juga dengan Islamiliyah. Ada juga yang menyebutkan bahwa mereka menisbatkan dirinya pada seorang lelaki asal Persia bernama Abdullah bin Maymun al-Qaddah al-Ahwazi yang mengatakan bahwa tuhan itu ada dua, tuhan nur dan tuhan kegelapan. Dinasti ini berkuasa dari tahun 909 M-1171 M dan wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir, dan Suriah.

Dalam bukunya, Prof. Ali Muhammad ash-Shalabi menyebutkan beberapa penyimpangan orang-orang Syiah Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara, di antaranya sebagai berikut:

1. Sikap da’i mereka yang berlebihan dalam memuji Ubaidillah al-Mahdi hingga menempatkannya seperti Tuhan. Dia dianggap mengetahui yang gaib, dan dipercaya sebagai nabi utusan Allah. Di antara para da’i tersebut ada yang mengatakan bahwa Ubadillah al-Mahdi adalah anak Rasulullah dan hujjatullah bagi segenap manusia. Bahkan ada pula yang mengatakan Ubaidillah al-Mahdi adalah Allah sang pemberi rezeki kepada manusia.[1]

2. Para pengikut Ubaidillah sering menghukum gantung orang-orang yang menyelisihi akidah mereka. selain itu, sebagaimana yang disebutkan Al-Qadhi Iyadh, mereka sering mencela para sahabat Rasulullah, menggantung kepala-kepala kambing kemudian diberi nama dengan nama-nama para Sahabat Rasulullah dan perilaku-perilaku sangat keji lainnya yang mereka lakukan.[2]

Mereka juga sering memaksa orang lain agar mengikuti keyakinan mereka dan mengancam akan membunuhnya jika tidak menurut. Mereka menghukum gantung 4000 manusia hanya dalam sekali hukuman. Sejarawan al-Qabasi mengatakan, “Jumlah orang yang mati di penjara pemerintahan Ubaidillah di kota al-Mahdiyah sejak kedatangan Ubaidillah al-Mahdi sampai sekarang mencapai 4000 orang; dari golongan ulama, ahli ibadah, dan orang-orang shaleh. Jumlah sebanyak itu selain yang mati dibunuh di luar penjara. Mereka disiksa di jalan-jalan, sepanjang kota Qairawan.”

3. Mereka melarang dan mengharamkan fatwa mazhab Imam Malik. Bagi mereka yang mengeluarkan fatwa mengikuti pendapat Imam Malik dianggap sebagai kejahatan yang berhak dipenjara atau dibunuh, sebagaimana yang mereka lakukan kepada seorang ulama terkenal bernama Abu Abdillah Muhammad bin al-Abbas bin al-Walid yang meninggal pada tahun 329 H.

4. Mereka menggugurkan keshahihan hadits-hadits Mutawatir. Terkadang mereka melakukan penambahan secara sepihak terhadap ajaran agama tanpa ada dalilnya, seperti penambahan pada lafaz adzan ‘hayya ala khairil amal’ (mari menuju suatu kebaikan). Mereka juga menggugurkan sunnah shalat tarawih sehingga kemudian manusia meninggalkan shalat di masjid. Sungguh berat hukuman bagi orang yang berani adzan tanpa mengucapkan kalimat ‘hayya ala khairil amal’, yaitu dipotong lidahnya, kemudian dicampakkan lidah itu di depan matanya. Setelah itu dia akan disiksa, lalu dibunuh.

5. Pemerintah Dinasti Fathimiyah bersikap keras dalam melarang setiap bentuk pertemuan dan perkumpulan yang dilakukan kaum Muslimin. Mereka khawatir pertemuan dan perkumpulan itu dapat mengarah ke upaya revolusi dan gerakan pembangkangan terhadap akidah syiah.

6. Menghancurkan karya-karya ulama dan cendekiawan ahlussunnah dan tidak mengizinkan penerbitan ulang karya-karya itu. Hal itu mereka lakukan terhadap karya-karya seorang ulama yang bernama Abu Muhammad Ibnu Abu Hasyim (364 H). Ketika meninggal dunia, beliau mewariskan buku sangat banyak yang semuanya ditulis dengan tangan sendiri. Buku-buku tersebut dilaporkan kepada penguasa Bani Ubaid sehingga akhirnya dirampas.

7. Mereka memaksa melakukan pemaksaan kepada banyak orang yang berpuasa agar berbuka dan berhari raya meskipun hilal bulan syawal belum bisa dilihat. Bahkan mereka tak segan-segan membunuh ulama yang memfatwakan “jangan berbuka, kecuali setelah melihat hilal (syawal)” sebagaimana yang mereka lakkukan terhadap ulama ahli fikih bernama Ibnu Hubla, hakim Kota Burqah.

Imam adz-Dzahabi menceritakan dalam buku biografinya, “imam asy-syahid adalah hakim kota Burqah. Ia pernah didatangi seorang gubernur kota Burqah kemudian mengatakan kepada dirinya, “Besok Hari Raya Idul Fitri” dia kemudian menjawab, “iya, hingga kita melihat hilal. Kami tidak akan menyuruh orang lain berbukan hingga hilal bisa dilihat. Kami tidak akan menanggung dosa orang lain.” kemudian gubernur itu mengatakan, “Demikian yang dinyatakan al-Manshur.” Menurut pendapat Ubaidillah, menentukan berbuka puasa hanya menggunakan hisab, tanpa mempertimbangkan ru’yah. Padahal ketika itu hilal benar-benar tidak nampak. Para gubernur Bani Ubaidillah ketika itu telah berhari raya.

Hakim Ibnu Hubla berkata,”Saya tidak akan keluar untuk shalat id.” Kemudian sang gubernur memerintahkan seseorang agar menjadi khatib shalat id pagi itu. lalu dia mengadukan apa yang terjadi kepada al-Manshur, sehingga Hakim Ibnu Hubla diperintahkan menghadap. Ibnu Hubla diperintahkan untuk meninggalkan pendapatnya tetapi beliau enggan. Akhirnya ia diikat dan dijemur di bawah terik matahari hingga syahid –insyaallah-. Sebelum itu dia sempat berteriak kehausan meminta minum, tetapi tidak diberi minum; tetapi justru disalib.[3]

8. Pemerintah Dinasti Fathimiyah di Afrika Utara sengaja melakukan upaya penghilangan berbagai peninggalan sejarah para pendahulu Khalifah ahlus sunnah. Ubaidillah pernah dengan sengaja mengeluarkan instruksi kepada bahwahannya agar menghapus nama-nama para khalifah ahlus sunnah yang telah membangun benteng-benteng dan masjid-masjid untuk kaum muslimin. Nama-nama mereka dalam catatan sejarah diganti dengan nama dirinya.

9. Di antara kejahatan yang juga dilakukan oleh Ubaidillah al-Mahdi adalah sengaja membiarkan kuda-kudanya memasuki masjid. Suatu ketika hal itu pernah ditanyakan kepada seorang penjaga kudanya, “mengapa engkau membiarkan kuda-kuda itu masuk ke dalam masjid?” ia menjawab “kotoran dan air kencingnya suci. Karena ia kuda milik al-Mahdi.” Mendengar hal itu ada seorang yang tidak terima. Ia menghadap langsung kepada ubaidillah al-Mahdi tetapi justru orang itu malah dibunuh.

Wallahu Alam

——-
[1] Al-Bayan al-Magrib, juz I, h. 258-259.
[2] Madrasah al-Hadits bil Qairawan, juz I, h. 76.
[3] Riyadhun Nufus, juz II, h. 29.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *