Dalam Chanel Youtube Al Famibani, Sholeh al-Jufri mengatakan: “kalau ada orang tidak mengakui nasab Ba’alwi, adalah nasabnya, menyambung kepada Nabi Muhammad S.a.w., maka ilmu ahulusunnah waljama’ah yang ada di Indonesia runtuh. Ilmu-ilmu yang tersebar di kiai-kiai yang ada di Jawa ini, bahkan di Nusantara, runtuh, ilmunya palsu semua, kenapa? Karena yang membawa ilmu-ilmu yang ada di Nusantara ini adalah ilmu Ba’alwi. Kalau Ba Alwinya tidak di anggap kan runtuh semua…”.
Apa yang disampaikan oleh Sholeh al-jufri dari klan Ba’alwi ini adalah dusta. Narasi itu tidak sesuai dengan fakta sejarah, bahwa Islam masuk ke Indonesia jauh ratusan tahun sebelum datangnya imigran Ba’alwi ke Indonesia. Bagaimana bisa dikatakan: orang yang ada di di Indonesia tahun 1448 M. seperti Sunan Ampel, bisa berguru kepada orang yang baru datang ke Indonesia tahun 1920, seperti Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakek dari Taufiq Assegaf).
Klaim-klaim dusta semacam itu, bagi para peneliti sejarah Ba’alwi adalah hal lumrah yang dapat ditemui dalam banyak sumber-sumber sejarah eksternal mereka. Kita bisa ambil satu contoh, Seperti disebut dalam banyak sumber internal Ba’alwi, bahwa ulama fiqih terkenal di kota Mirbat, Syekh Muhammad bin Ali al-Qol’I, adalah murid dari Muhammad “Sohib Mirbat” Ba’alwi. Setelah dikonfirmasi dalam kitab-kitab sezaman, ternyata, jangankan Syekh al-Qol’I belajar kepada Muhammad Ba’alwi, sosok Muhammad Ba’alwi ini sendiri diduga kuat fiktif, tidak dicatat oleh satupun kitab-kitab nasab dan sejarah pada zaman itu.
Para kiai-kiai yang ada di Indonesia hari ini, mempunyai sanad keilmuan dan “silsilah rante-rante” kepada para Walisongo sebagai pembawa sanad silsilah keilmuan Islam mula-mula di Nusantara. Silsilah itu tersambung dengan ulama-ulama Timur-Tengah pada masanya. Walisongo bukan keturunan Ba’alwi dan tidak berguru kepada Ba’alwi. Seperti yang terdapat dalam naskah Mertasinga, bahwa Sunan Gunung Jati (1448-1568 M.) lahir di Makkah, ayah seorang ulama dan pejabat dari Mesir. Ia belajar kepada para ulama-ulama di Mesir dan makkah, diantaranya kepada Syekh Najamuddin al-Kubro dan kepada cucu-cucu murid Ibnu Atoillah al-Sakandari (w.1309 M.), pengarang kitab yang terkenal “Sharh al-Hikam”.
Para ulama-ulama nusantara generasi selanjutnya, seperti Imam Haji wangsareja (w. 1681 M.) dari Kresek, Banten, leluhur KH Ma’ruf Amin, menuntut ilmu di Makkah dan berguru kepada Ibnu ‘Allan (w. 1647 M.), pengarang kitab “Dalil al-Falihin”, sebuah kitab syarah untuk kitab “Riyad al-Solihin”. (lihat Sejarah Banten pupuh 37,39, 43, 58).
Bahkan Ibnu ‘Allan, mengarang khusus dua kitab yang dititipkan kepada Imam Haji Wangsareja untuk diberikan kepada Sultan Abul Mafakhir untuk diajarkan di Banten. Pertama adalah kitab “Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah ‘Anil As’ilah al-Jawiyyah” (Manuskripnya masih tersimpan rapih di koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor A 105). Kitab kedua yang ditulis Ibnu ‘Allan untuk Sultan Abul Mafakhir Banten adalah “Raf’ul Hijab ‘An ‘Ara’is Khamsatil Abwab” (lihat manuskrip dengan kode Or. 5660 pada halaman 66v hingga 73v di perpustakaan Leiden Belanda).
Generasi ulama Nusantara selanjutnya, seperti Abdurrauf Singkil (w. 1693 M.), Aceh; Syekh Yusuf Makassar (w.1669 M.), dan Syekh Abdussukur kasunyatan, Banten, ketiganya adalah murid dari Syekh Ibrahim al-Kurani (w. 1690 M.), seorang ulama Kurdistan yang berkarir di Madinah al-Munawwarah. (lihat Ginanjar Sya’ban, Al-Maslakul Jali: Fatwa Ulama Madinah atas Polemik Siti Jenar di Nusantara (1674)).
Syekh Arsyad al-Banjari (w. 1812 M.), Mufti Kesultanan Banjar, pengarang kitab “Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amriddin”, belajar kepada ulama-ulama Timur-Tengah diantaranya kepada Syekh Muhammad Abdul Karim Samman al-Qadiri al-Khalwati al-Madani, pendiri tarekat Sammaniah, Syekh al-Syarqowi, Syekh al-Damanhuri dll.
Kemudian, pada abad 19 Masehi, seorang ulama Banten mendapat kedudukan tinggi di Timur-Tengah karena keilmuannya dan karya tulisnya yang berkwalitas. Ia adalah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M.) dari Tanara, Banten. Rumah kelahiran beliau dengan rumah penulis hanya berjarak kurang lebih 12 kilometer. Ia berguru di Makkah kepada Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abdul Hamid Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki dll.
Murid-murid Syaikh Nawawi al-Bantani tersebar seantero Nusantara. Hari ini para ulama yang ada di Indonesia, mayoritas salah satu sanad keilmuannya melalui Syaikh Nawawi al-Bantani. Pemikiran-pemikirannya tentang Ahlussunah waljamaah mewarnai keislaman Indonesia hari ini. Murid-murid langsungnya sangat banyak yang menjadi ulama-ulama besar diantaranya: Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Kholil al-Bangkalani Madura, Syekh Husain al-Bantani Carita-Banten, Syekh Tubagus Ahmad Bakri Purwakarta, Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani Caringin-Pandeglang, Syekh Arsyad Thawil al-Bantani -Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara-, Syekh Hasan Mustopa Garut, Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi Delhi-India, Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi al-Sumbawi Sumbawa -Nusa Tenggara Barat, Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani Pattani-Thailand, Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani -Cucu Syekh Nawawi-, Syekh Sholeh Darat as-Samarani Semarang, Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari Jombang -Pendiri Nahdlatul Ulama-, KH Ahmad Dahlan Yogyakarta – Pendiri Muhammadiyah-, Syekh Sulaiman Arrasuli -Pendiri PERTI-, KH Hasan Genggong – Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong-, KH Mas Abdurahman al-Bantani -Pendiri Mathla’ul Anwar-, KH Raden Asnawi, Kudus, Haji Abdul Karim Amrullah Sumatera Barat, KH Thahir Jamaluddin Singapura, KH Dawud Perak-Malaysia, KH Hasan Asyari Bawean, KH Najihun Mauk- Tangerang, KH Abdul Ghaffar Tirtayasa-Serang, KH Ilyas Kragilan-Serang, KH Wasyid -Pejuang Geger Cilegon 1888-, KH Muhammad Romli Kresek-Tangerang, KH Tubagus Ismail -Pejuang Geger Cilegon 1888-, KH Arsyad Qashir al-Bantani -Pejuang Geger Cilegon 1888, dll.
Pesantren-pesantren tua di Indonesia hari ini, adalah murid dan keturunan dari para ulama-ulama murid Syekh Nawawi al-Bantani di atas. Pendiri Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim, adalah murid dari Syaikh Kholil Bangkalan dan Dan Syaikh Hasyim Asy’ari; pendiri Pesantren Ploso, KH Ahmad Jazuli utsman, adalah murid dari KH Zainuddin Mojosari, dan KH Zainuddin Mojosari adalah murid dari KH Soleh Darat; KH zubair dari Pesantrean Sarang adalah murid dari Syeikh Mahfudz al-Turmusi; K. H. Abdul Wahhab Hasbullah dari Pesantren Tambak Beras adalah murid Syaikh Hasyim Asy’ari, begitu pula KH Bisyri Syansuri dari pesantren Denanyar; Buya Dimyati Banten adalah murid dari Syakih Abdul Halim. Syakih Abdul Halim adalah murid dari Syaikh Husain Carita.
Ini adalah contoh kecil sanad keilmuan dari ulama-ulama Nusantara. Yang demikian itu, hanya mengambil dari beberapa sampel daerah di Indonesia saja. Dari situ kita lihat, bahwa klaim Soleh al-Jufri, bahwa sanad keilmuan ulama-ulama Ahlussunnah Waljama’ah di Nusantara berasal dari Ba’alwi, tertolak. Bahkan, hari ini, sangat jarang ulama-ulama Ba’alwi kelahiran Indonesia yang alim dan menonjol dalam Ilmu-ilmu keislaman seperti nahwu, Fikih, Usul Fikih, Tafsir, Mantiq, Balagoh, dan sebagainya. Ilmu-ilmu itu tergeser oleh pendirian majlis ratib, majlis ceramah, majlis kliwonan dan majlis solawatan. Ketika jama’ah sudah membesar maka disebutlah bahwa pengasuh majlis itu adalah seorang ulama bahkan wali, sementara keilmuannya belum pernah teruji; belum terdengar bagaimana cara ia membaca kitab “Fathul Muin” di hadapan para kiai-kiai pesantren NU yang alim dan allamah.
Dalam kesempatan ini penulis mengajak kepada seluruh anak Bangsa, untuk menyadari suatu hal, yaitu bahwa, ada sekelompok orang yang sedang berusaha membuat historiografi keislaman di Indonesia menurut versi mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah: pembelokan sejarah dan nasab Walisongo; klaim jasa masa lalu dengan dongeng-dongeng peran leluhur mereka misalnya dalam kemerdekaan; merebut otoritas keagamaan dengan haul-haul tokoh mereka yang diatasnamakan haul kota tertentu, padahal tokoh itu tidak diketahui jasanya bagi Bangsa Indonesia pada saat hidupnya, selain menjaga sebuah majlis; doktrin-doktrin perbudakan melalui narasi kesucian dan kehebatan keluarganya, pada saat yang sama mereka meniupkan sihir psikologis tentang rendahnya martabat Bangsa Indonesia secara genetik, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
Dari itu, penulis mengajak kepada putra-putri Indonesia yang telah mempunyai kesadaran yang sama akan semua hal di atas, untuk memberi pencerahan kepada lingkungan kita yang paling dekat kemudian kepada yang jauh bisa kita jangkau. Penulis mengajak agar hari ini putra-putri Indonesia sebanyak-banyaknya membuat chanel-cahanel youtube dan Media Sosial lainnya, untuk menyanggah narasi-narasi mereka. Setiap ada sejarah bangsa yang dibelokan, langsung diangkat dan disanggah secara ilmiyah berbasis data yang seharusnya. Demikian pula, penulis mengajak kepada putra-putri Indonesia yang diberikan kemampuan menulis, agar membuat tulisan akan hal itu. Yang mempunyai kelebihan dana, membuat website-website sebanyak-banyaknya, agar narasi-narasi sesat yang banyak berseliweran di beranda-beranda youtube dan Google dapat dikalahkan oleh algoritma kebenaran yang masiv.
Jangan pula dilupakan, yang mempunyai kemampuan IT (Tehnologi Informasi) untuk menulis di Wikipedia dan jenis ensiklopedia digital bebas lainnya tentang sejarah para ulama kita dan nasabnya yang sahih yang bukan hasil pembelokan. Bila melihat bahwa ulama kita telah ditulis Wikipedia dengan bernasab kepada Ba Alwi misalnya, padahal ia bukan Ba’alwi, agar tulisan itu dihapus dan diganti dengan nasab yang sesungguhnya.
Dan kepada para ulama dan akademisi, bukti apalagi yang harus diberikan, semua sudah terang benderang, ada upaya tidak terpuji dari mereka, penulis mengajak untuk membuat buku dan jurnal-jurnal ilmiyah, baik local maupun internasional, tentang sanggahan terhadap upaya pembelokan sejarah; tentang nasab ulama kita yang sebenarnya; tentang doktrin dan ajaran mereka dalam nilai-nilai kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar. Jika semua hari ini kita lakukan, maka esok, sejarah-sejarah palsu itu tidak akan lagi dikonsumsi oleh anak cucu kita. Lalu anak cucu kita akan berdiri tegak sebagai manusia yang bermartabat; manusia-manusia yang mempunyai fikiran yang suci dari doktrin sesat dan sejarah yang penuh kepalsuan.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani.
Apa yang disampaikan oleh Sholeh al-jufri dari klan Ba’alwi ini adalah dusta. Narasi itu tidak sesuai dengan fakta sejarah, bahwa Islam masuk ke Indonesia jauh ratusan tahun sebelum datangnya imigran Ba’alwi ke Indonesia. Bagaimana bisa dikatakan: orang yang ada di di Indonesia tahun 1448 M. seperti Sunan Ampel, bisa berguru kepada orang yang baru datang ke Indonesia tahun 1920, seperti Ja’far bin Syaikhon Assegaf (kakek dari Taufiq Assegaf).
Klaim-klaim dusta semacam itu, bagi para peneliti sejarah Ba’alwi adalah hal lumrah yang dapat ditemui dalam banyak sumber-sumber sejarah eksternal mereka. Kita bisa ambil satu contoh, Seperti disebut dalam banyak sumber internal Ba’alwi, bahwa ulama fiqih terkenal di kota Mirbat, Syekh Muhammad bin Ali al-Qol’I, adalah murid dari Muhammad “Sohib Mirbat” Ba’alwi. Setelah dikonfirmasi dalam kitab-kitab sezaman, ternyata, jangankan Syekh al-Qol’I belajar kepada Muhammad Ba’alwi, sosok Muhammad Ba’alwi ini sendiri diduga kuat fiktif, tidak dicatat oleh satupun kitab-kitab nasab dan sejarah pada zaman itu.
Para kiai-kiai yang ada di Indonesia hari ini, mempunyai sanad keilmuan dan “silsilah rante-rante” kepada para Walisongo sebagai pembawa sanad silsilah keilmuan Islam mula-mula di Nusantara. Silsilah itu tersambung dengan ulama-ulama Timur-Tengah pada masanya. Walisongo bukan keturunan Ba’alwi dan tidak berguru kepada Ba’alwi. Seperti yang terdapat dalam naskah Mertasinga, bahwa Sunan Gunung Jati (1448-1568 M.) lahir di Makkah, ayah seorang ulama dan pejabat dari Mesir. Ia belajar kepada para ulama-ulama di Mesir dan makkah, diantaranya kepada Syekh Najamuddin al-Kubro dan kepada cucu-cucu murid Ibnu Atoillah al-Sakandari (w.1309 M.), pengarang kitab yang terkenal “Sharh al-Hikam”.
Para ulama-ulama nusantara generasi selanjutnya, seperti Imam Haji wangsareja (w. 1681 M.) dari Kresek, Banten, leluhur KH Ma’ruf Amin, menuntut ilmu di Makkah dan berguru kepada Ibnu ‘Allan (w. 1647 M.), pengarang kitab “Dalil al-Falihin”, sebuah kitab syarah untuk kitab “Riyad al-Solihin”. (lihat Sejarah Banten pupuh 37,39, 43, 58).
Bahkan Ibnu ‘Allan, mengarang khusus dua kitab yang dititipkan kepada Imam Haji Wangsareja untuk diberikan kepada Sultan Abul Mafakhir untuk diajarkan di Banten. Pertama adalah kitab “Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah ‘Anil As’ilah al-Jawiyyah” (Manuskripnya masih tersimpan rapih di koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor A 105). Kitab kedua yang ditulis Ibnu ‘Allan untuk Sultan Abul Mafakhir Banten adalah “Raf’ul Hijab ‘An ‘Ara’is Khamsatil Abwab” (lihat manuskrip dengan kode Or. 5660 pada halaman 66v hingga 73v di perpustakaan Leiden Belanda).
Generasi ulama Nusantara selanjutnya, seperti Abdurrauf Singkil (w. 1693 M.), Aceh; Syekh Yusuf Makassar (w.1669 M.), dan Syekh Abdussukur kasunyatan, Banten, ketiganya adalah murid dari Syekh Ibrahim al-Kurani (w. 1690 M.), seorang ulama Kurdistan yang berkarir di Madinah al-Munawwarah. (lihat Ginanjar Sya’ban, Al-Maslakul Jali: Fatwa Ulama Madinah atas Polemik Siti Jenar di Nusantara (1674)).
Syekh Arsyad al-Banjari (w. 1812 M.), Mufti Kesultanan Banjar, pengarang kitab “Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amriddin”, belajar kepada ulama-ulama Timur-Tengah diantaranya kepada Syekh Muhammad Abdul Karim Samman al-Qadiri al-Khalwati al-Madani, pendiri tarekat Sammaniah, Syekh al-Syarqowi, Syekh al-Damanhuri dll.
Kemudian, pada abad 19 Masehi, seorang ulama Banten mendapat kedudukan tinggi di Timur-Tengah karena keilmuannya dan karya tulisnya yang berkwalitas. Ia adalah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M.) dari Tanara, Banten. Rumah kelahiran beliau dengan rumah penulis hanya berjarak kurang lebih 12 kilometer. Ia berguru di Makkah kepada Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Abdul Hamid Daghestani, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki dll.
Murid-murid Syaikh Nawawi al-Bantani tersebar seantero Nusantara. Hari ini para ulama yang ada di Indonesia, mayoritas salah satu sanad keilmuannya melalui Syaikh Nawawi al-Bantani. Pemikiran-pemikirannya tentang Ahlussunah waljamaah mewarnai keislaman Indonesia hari ini. Murid-murid langsungnya sangat banyak yang menjadi ulama-ulama besar diantaranya: Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Kholil al-Bangkalani Madura, Syekh Husain al-Bantani Carita-Banten, Syekh Tubagus Ahmad Bakri Purwakarta, Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani Caringin-Pandeglang, Syekh Arsyad Thawil al-Bantani -Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara-, Syekh Hasan Mustopa Garut, Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi Delhi-India, Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi al-Sumbawi Sumbawa -Nusa Tenggara Barat, Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani Pattani-Thailand, Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani -Cucu Syekh Nawawi-, Syekh Sholeh Darat as-Samarani Semarang, Hadratusyaikh KH Hasyim Asyari Jombang -Pendiri Nahdlatul Ulama-, KH Ahmad Dahlan Yogyakarta – Pendiri Muhammadiyah-, Syekh Sulaiman Arrasuli -Pendiri PERTI-, KH Hasan Genggong – Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong-, KH Mas Abdurahman al-Bantani -Pendiri Mathla’ul Anwar-, KH Raden Asnawi, Kudus, Haji Abdul Karim Amrullah Sumatera Barat, KH Thahir Jamaluddin Singapura, KH Dawud Perak-Malaysia, KH Hasan Asyari Bawean, KH Najihun Mauk- Tangerang, KH Abdul Ghaffar Tirtayasa-Serang, KH Ilyas Kragilan-Serang, KH Wasyid -Pejuang Geger Cilegon 1888-, KH Muhammad Romli Kresek-Tangerang, KH Tubagus Ismail -Pejuang Geger Cilegon 1888-, KH Arsyad Qashir al-Bantani -Pejuang Geger Cilegon 1888, dll.
Pesantren-pesantren tua di Indonesia hari ini, adalah murid dan keturunan dari para ulama-ulama murid Syekh Nawawi al-Bantani di atas. Pendiri Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim, adalah murid dari Syaikh Kholil Bangkalan dan Dan Syaikh Hasyim Asy’ari; pendiri Pesantren Ploso, KH Ahmad Jazuli utsman, adalah murid dari KH Zainuddin Mojosari, dan KH Zainuddin Mojosari adalah murid dari KH Soleh Darat; KH zubair dari Pesantrean Sarang adalah murid dari Syeikh Mahfudz al-Turmusi; K. H. Abdul Wahhab Hasbullah dari Pesantren Tambak Beras adalah murid Syaikh Hasyim Asy’ari, begitu pula KH Bisyri Syansuri dari pesantren Denanyar; Buya Dimyati Banten adalah murid dari Syakih Abdul Halim. Syakih Abdul Halim adalah murid dari Syaikh Husain Carita.
Ini adalah contoh kecil sanad keilmuan dari ulama-ulama Nusantara. Yang demikian itu, hanya mengambil dari beberapa sampel daerah di Indonesia saja. Dari situ kita lihat, bahwa klaim Soleh al-Jufri, bahwa sanad keilmuan ulama-ulama Ahlussunnah Waljama’ah di Nusantara berasal dari Ba’alwi, tertolak. Bahkan, hari ini, sangat jarang ulama-ulama Ba’alwi kelahiran Indonesia yang alim dan menonjol dalam Ilmu-ilmu keislaman seperti nahwu, Fikih, Usul Fikih, Tafsir, Mantiq, Balagoh, dan sebagainya. Ilmu-ilmu itu tergeser oleh pendirian majlis ratib, majlis ceramah, majlis kliwonan dan majlis solawatan. Ketika jama’ah sudah membesar maka disebutlah bahwa pengasuh majlis itu adalah seorang ulama bahkan wali, sementara keilmuannya belum pernah teruji; belum terdengar bagaimana cara ia membaca kitab “Fathul Muin” di hadapan para kiai-kiai pesantren NU yang alim dan allamah.
Dalam kesempatan ini penulis mengajak kepada seluruh anak Bangsa, untuk menyadari suatu hal, yaitu bahwa, ada sekelompok orang yang sedang berusaha membuat historiografi keislaman di Indonesia menurut versi mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah: pembelokan sejarah dan nasab Walisongo; klaim jasa masa lalu dengan dongeng-dongeng peran leluhur mereka misalnya dalam kemerdekaan; merebut otoritas keagamaan dengan haul-haul tokoh mereka yang diatasnamakan haul kota tertentu, padahal tokoh itu tidak diketahui jasanya bagi Bangsa Indonesia pada saat hidupnya, selain menjaga sebuah majlis; doktrin-doktrin perbudakan melalui narasi kesucian dan kehebatan keluarganya, pada saat yang sama mereka meniupkan sihir psikologis tentang rendahnya martabat Bangsa Indonesia secara genetik, padahal kenyataannya adalah sebaliknya.
Dari itu, penulis mengajak kepada putra-putri Indonesia yang telah mempunyai kesadaran yang sama akan semua hal di atas, untuk memberi pencerahan kepada lingkungan kita yang paling dekat kemudian kepada yang jauh bisa kita jangkau. Penulis mengajak agar hari ini putra-putri Indonesia sebanyak-banyaknya membuat chanel-cahanel youtube dan Media Sosial lainnya, untuk menyanggah narasi-narasi mereka. Setiap ada sejarah bangsa yang dibelokan, langsung diangkat dan disanggah secara ilmiyah berbasis data yang seharusnya. Demikian pula, penulis mengajak kepada putra-putri Indonesia yang diberikan kemampuan menulis, agar membuat tulisan akan hal itu. Yang mempunyai kelebihan dana, membuat website-website sebanyak-banyaknya, agar narasi-narasi sesat yang banyak berseliweran di beranda-beranda youtube dan Google dapat dikalahkan oleh algoritma kebenaran yang masiv.
Jangan pula dilupakan, yang mempunyai kemampuan IT (Tehnologi Informasi) untuk menulis di Wikipedia dan jenis ensiklopedia digital bebas lainnya tentang sejarah para ulama kita dan nasabnya yang sahih yang bukan hasil pembelokan. Bila melihat bahwa ulama kita telah ditulis Wikipedia dengan bernasab kepada Ba Alwi misalnya, padahal ia bukan Ba’alwi, agar tulisan itu dihapus dan diganti dengan nasab yang sesungguhnya.
Dan kepada para ulama dan akademisi, bukti apalagi yang harus diberikan, semua sudah terang benderang, ada upaya tidak terpuji dari mereka, penulis mengajak untuk membuat buku dan jurnal-jurnal ilmiyah, baik local maupun internasional, tentang sanggahan terhadap upaya pembelokan sejarah; tentang nasab ulama kita yang sebenarnya; tentang doktrin dan ajaran mereka dalam nilai-nilai kemanusiaan yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar. Jika semua hari ini kita lakukan, maka esok, sejarah-sejarah palsu itu tidak akan lagi dikonsumsi oleh anak cucu kita. Lalu anak cucu kita akan berdiri tegak sebagai manusia yang bermartabat; manusia-manusia yang mempunyai fikiran yang suci dari doktrin sesat dan sejarah yang penuh kepalsuan.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani.