Fakta sejarah: “Klarifikasi Gelar Keturunan Nabi: Bahstul Masail dan Surat Penolakan NU pada Masa Kolonial”

*Fakta sejarah: “Klarifikasi Gelar Keturunan Nabi: Bahstul Masail dan Surat Penolakan NU pada Masa Kolonial”*

 

*Bahstul Masail tahun 1932 dan Perdebatan Keturunan Nabi Muhammad SAW*

 

Dalam manuskrip kajian yang baru-baru ini ditemukan, terdapat data penting yang mencatat bagaimana Nahdlatul Ulama (NU), sejak era Syekh Hasyim Asy’ari, telah membahas secara mendalam isu terkait garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Diskusi dalam Bahtsul Masail tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa keturunan langsung Nabi lebih tepat diberi gelar Sayyid atau Syarif, bukan Habib. Pemahaman ini mencerminkan perhatian NU dalam menjaga keabsahan gelar yang digunakan untuk keturunan Nabi.

 

*Surat ke Pemerintah Kolonial Belanda*

 

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat peristiwa bersejarah yang melibatkan 25 ulama terkemuka NU, termasuk KH Hasyim Asy’ari. Para kiai mengajukan pernyataan yang menegaskan perlunya pengaturan yang tepat terkait penggunaan gelar Sayyid/Sayyidah dan Syarif/Syarifah, terutama bagi mereka yang datang dari Yaman dan mengklaim keturunan Nabi tanpa bukti silsilah yang valid. Surat ini disampaikan kepada otoritas kolonial Belanda, dan hasilnya, para imigran asal Yaman yang tidak diakui garis keturunannya mulai menggunakan gelar Habib sebagai bentuk identitas yang berbeda.

 

Dokumen ini, yang kini disimpan oleh sejarawan seperti Sam Ardi, mencatat respons NU terhadap polemik ini dan menunjukkan sikap hati-hati ulama dalam menjaga tradisi serta kehormatan garis keturunan Nabi. Beberapa tokoh penting, seperti Al-‘Allamah Syekh Dimyati Tremas Pacitan, juga terlibat dalam perumusan pernyataan ini. Selain itu, manuskrip Majalah NU Toyyib yang ditemukan dan berisi catatan tangan dari tahun 1932 memperkuat narasi bahwa sikap NU didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan kesadaran historis.

 

*Sanggahan terhadap Sangkaan Pengakuan*

 

Temuan ini secara langsung menolak klaim dan sangkaan yang sering diajukan oleh habib Klan Ba’alwi dan para pendukung mereka, yang menganggap bahwa KH Hasyim Asy’ari mengakui habib dari Klan Ba’alwi sebagai dzuriyat Nabi Muhammad SAW. Manuskrip dan surat yang disusun oleh KH Hasyim Asy’ari dan ulama NU lainnya jelas menunjukkan bahwa sikap NU adalah untuk memastikan gelar keturunan Nabi hanya digunakan secara benar dan ilmiah, dengan bukti silsilah yang valid. Dengan demikian, anggapan bahwa KH Hasyim Asy’ari memberikan pengakuan tanpa syarat terhadap klaim Klan Ba’alwi tidak memiliki dasar yang kuat.

 

*Kesimpulan*

 

Temuan dokumen dan manuskrip ini menunjukkan bahwa diskusi mengenai gelar keturunan Nabi Muhammad SAW telah menjadi perhatian sejak masa awal berdirinya NU. Keputusan untuk mengakui gelar Sayyid dan Syarif bagi keturunan langsung Nabi, serta tidak mengakui klaim gelar Habib tanpa bukti silsilah yang kuat, mencerminkan upaya NU menjaga keabsahan tradisi keturunan Rasulullah SAW. Bahtsul Masail dan surat yang disampaikan kepada pemerintah Belanda bukanlah bentuk penolakan semata, melainkan langkah untuk menegaskan prinsip keilmuan dan tradisi yang dipegang teguh oleh para kiai NU. Dengan adanya temuan ini, klaim pengakuan yang disangka oleh habib Klan Ba’alwi dan para pendukungnya menjadi tertolak.

 

*Tambahan catatan:*

 

*Sejarah Geger Nasab ke-1, ke-2, dan ke-3*

 

*1. Geger Nasab ke-1 (1910–1930)*: Perdebatan ini muncul pada awal abad ke-20, dipicu oleh upaya Al-Irsyad untuk menentang klaim Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Konflik ini berlangsung secara terbuka di media cetak, mengundang polemik besar di kalangan masyarakat Arab di Indonesia.

 

 

*2. Geger Nasab ke-2 (Era Penjajahan Belanda)*: Pada masa ini, NU di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari mengadakan Bahstul Masail yang menghasilkan keputusan bahwa hanya gelar Sayyid dan Syarif yang layak digunakan oleh keturunan langsung Nabi. Penolakan ulama NU terhadap penggunaan gelar oleh imigran Yaman disampaikan dalam surat resmi kepada pemerintah Belanda, memperkuat sikap tegas NU dalam menjaga keabsahan silsilah Nabi.

 

 

*3. Geger Nasab ke-3 (2022–sekarang)*: Dimulai dengan publikasi tesis KH Imaduddin Utsman al Bantani, yang menantang klaim Klan Ba’alwi dengan bukti-bukti ilmiah, termasuk data genetik. Penelitian ini memicu perdebatan baru, menghidupkan kembali polemik lama dan melibatkan berbagai pakar dalam diskusi yang lebih mendalam dan modern.

 

 

*Kesimpulan Utama Dari berbagai temuan manuskrip dan bukti sejarah yang telah diulas, terbukti bahwa ulama Nahdlatul Ulama (NU) terdahulu, sejak masa Syekh Hasyim Asy’ari, tidak mengakui keabsahan klaim Klan Ba’alwi sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad SAW.* Melalui forum Bahstul Masail dan keputusan resmi, para ulama menegaskan bahwa gelar Sayyid atau Syarif hanya diperuntukkan bagi dzuriyat Nabi yang sah, bukan Habib. Penolakan ini diperkuat oleh peristiwa besar, termasuk penolakan resmi kepada pemerintah kolonial Belanda, yang menjadi bukti kuat sikap NU dalam menjaga keaslian dan kehormatan keturunan Rasulullah.

 

Sikap tegas ini mencerminkan komitmen para ulama untuk melindungi keabsahan garis keturunan Nabi, menunjukkan bahwa klaim Klan Ba’alwi telah lama dipertanyakan dan tidak diakui sebagai keturunan yang sah oleh otoritas keagamaan yang terpercaya.

 

Berikut terlampir data manuskrip yang telah ditemukan:




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *