Fanatisme Delusi Para Muhibbin Habaib Di Indonesia
Keturunan Nabi Muhammad SAW, memiliki posisi istimewa dalam Islam. Pengikut mereka, menunjukkan kesetiaan dan penghormatan luar biasa. Namun, beberapa menunjukkan perilaku fanatik yang mendekati delusi.
Narasi diskursus tentang keshahihan nasab klan Ba’alwi (habaib) di Indonesia, seperti yang diusung dalam tesis KH Imaduddin Utsman Al-Bantani, menyoroti perbedaan antara keyakinan dan fakta yang dialami dalam realitas sehari-hari. Para pengikut muhibbin klan Ba’alwi cenderung sulit untuk menerima fakta yang disajikan, terutama jika hal tersebut bertentangan dengan keyakinan mereka selama ini.
Tesis KH Imaduddin Utsman Al-Bantani membawa perdebatan tentang validitas nasab klan Ba’alwi, yang selama ini diyakini sebagai keturunan Nabi. Meskipun telah menjadi muhibbin habaib dan memiliki keyakinan kuat akan nasab mereka yang mulia, namun kemunculan tesis ini menghadirkan tantangan baru. Tidak adanya konfirmasi ilmiah secara tegas mengenai status nasab habaib sebagai cucu Nabi menjadi pertanyaan kritis yang memicu perdebatan dalam komunitas tersebut.
Diskursus ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara keyakinan spiritual dan pengetahuan ilmiah. Meskipun keyakinan religius merupakan bagian integral dari identitas seseorang, namun pemahaman yang lebih mendalam dan kritis terhadap fakta-fakta historis dan ilmiah juga diperlukan. Perdebatan mengenai keshahihan nasab habaib Ba’alwi menjadi sebuah refleksi tentang kompleksitas hubungan antara keyakinan agama dan pemahaman rasional dalam masyarakat. Narasi ilmiah ini mengeksplorasi fenomena ini dari sudut pandang psikologi dan sosiologi.
Faktor Psikologis
Beberapa faktor psikologis dapat berkontribusi pada fanatisme delusi Muhibbin Habaib:
Kebutuhan akan kepastian dan rasa aman: Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, Habaib menawarkan rasa aman dan kepastian melalui koneksi dengan Nabi Muhammad.
Keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok istimewa: Mengidentifikasi diri sebagai Muhibbin Habaib dapat memberikan rasa belonging dan eksklusivitas.
Penghormatan terhadap otoritas: Habaib, sebelum diskursus nasab ini mencuat, dianggap sebagai figur otoritas yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan religius yang superior.
Keterikatan emosional: Pengalaman spiritual yang intens dalam acara keagamaan atau interaksi dengan Habaib dapat memicu keterikatan emosional yang kuat.
Faktor Sosiologis:
Faktor sosiologis juga berperan:
Stratifikasi sosial: Di beberapa komunitas, sebelum terbongkarnya nasab mereka, Habaib memiliki status sosial yang tinggi. Menjadi Muhibbin Habaib dapat meningkatkan status sosial individu.
Kurangnya pendidikan: Kurangnya pengetahuan agama dan kritis dapat membuat individu lebih rentan terhadap pengaruh dan ideologi.
Pengaruh media sosial: Media sosial dapat memperkuat echo chamber dan menyebarkan informasi yang salah, memperkuat keyakinan delusi.
Dampak Fanatisme Delusi
Fanatisme delusi dapat memiliki dampak negatif pada individu dan masyarakat:
Penurunan pemikiran kritis: Pengikut Habaib dengan delusi mungkin tidak mampu mempertanyakan keyakinan mereka secara rasional.
Kecenderungan pada perilaku ekstrem: Delusi dapat mendorong tindakan ekstrem seperti kekerasan atau intoleransi terhadap kelompok lain.
Ketegangan sosial: Fanatisme berlebihan dapat menyebabkan ketegangan dan konflik antar kelompok dalam masyarakat.
Kesimpulan
Fanatisme delusi Muhibbin Habaib adalah fenomena kompleks dengan faktor psikologis dan sosiologis yang saling terkait. Fenomena ini dapat memiliki dampak negatif pada individu dan masyarakat. Diperlukan upaya untuk meningkatkan pendidikan, mempromosikan pemikiran kritis, dan memerangi informasi yang salah untuk mengurangi dampak negatif fanatisme.
Catatan kaki :
Pada tahun 1898, Mufti Batavia, utsman Bin Yahya, menantu dari Syaikh Abdurrahman Al-Mishri dan guru dari Hm Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Kwitang, ditunjuk oleh pemerintah kolonial, diminta untuk menyusun doa khusus untuk pelantikan Ratu Belanda Wilhelmina. Doa tersebut kemudian dibacakan di Masjid Pekojan pada 2 September 1898 setelah salat Jumat. Meskipun Mufti Batavia dianggap (waktu itu) sebagai keturunan Nabi, dia menunjukkan kerjasama dan penghormatan kepada pemerintah kolonial dengan membuat doa tersebut.
Kisah ini mengingatkan bahwa tidak ada kelompok yang terbebas dari pergumulan dengan kekuasaan, dan dinamika dalam pergumulan tersebut sering kali kompleks. Tindakan Mufti Batavia menegaskan bahwa dalam sejarah, sikap terhadap pemerintah kolonial tidak selalu hitam-putih, dan bisa jadi melibatkan kooperasi yang tergantung pada konteks dan dinamika politik pada waktu tersebut.
Sejak kemunculan Rizieq Shihab dengan FPI-nya pasca lengsernya Suharto pada Mei 1998, terjadi pergulatan internal di tubuh klan Ba Alwy. Popularitas dan penerimaan Rizieq Shihab di kalangan ba Alwy terus meningkat seiring dengan partisipasi politik FPI yang semakin meluas.
FPI, awalnya dikenal sebagai pelaku aksi sweeping warung remang-remang, berkembang menjadi salah satu organisasi massa yang turut berperan dalam sejumlah peristiwa sosial politik. Bersama dengan elemen-elemen Islam kanan lainnya seperti HTI, Laskar Jihad, dan Majelis Mujahidin Indonesia, FPI terlibat dalam berbagai peristiwa, termasuk kerusuhan rasial di Jakarta Pusat pada 1998, perusakan masjid Ahmadiyah, penyerangan terhadap AKBB di Monas pada 2008, dan kegiatan sukarelawan kemanusiaan saat bencana tsunami di Aceh pada 2004.
Ketika kasus “Surat Al-Maidah” meledak pada 2016 dan mengakibatkan penjara bagi Ahok, serta keberhasilan Anies Baswedan – Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI 2017, serta kampanye untuk kemenangan Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019, nama Rizieq Shihab dan FPI semakin berkibar.
Dengan berbagai operasi dan investasi dalam aksi sosial politik, mereka berhasil merombak karakter dan praksis sosio-religi baAlwy dari tasawuf yang damai, toleran, pasif, dan apolitis, menjadi aktivisme politik yang konfrontatif dan sarat konflik.
Penulis: AW Kertapati
sumber tulisan :https://rminubanten.or.id/fanatisme-delusi-para-muhibbin-habaib-di-indonesia/