*”Garis Tegas Nasionalisme NU: Menyingkap Kebenaran Klaim Nasab Habaib, Pemalsuan Sejarah, dan Penggerogotan Struktur NU”*
NU (Nahdlatul Ulama) merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia yang selama ini dikenal sebagai pelindung tradisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta penjaga nasionalisme dan kedaulatan bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran muncul terkait dukungan sebagian pengurus NU terhadap klaim nasab habaib yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini menjadi ironi yang menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen nasionalisme mereka, terutama mengingat adanya bukti ilmiah dan sejarah yang menyatakan bahwa klaim ini tidak valid. Selain itu, fakta mengenai pemalsuan sejarah, pengambilalihan JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah) oleh Luthfi bin Yahya (LBY), serta distorsi sejarah perjuangan bangsa, memerlukan perhatian serius.
*1. Keterputusan Nasab Habaib ke Nabi Muhammad SAW*
Salah satu isu paling kontroversial adalah klaim dari beberapa kalangan habaib, khususnya dari Ba’alwi, yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, penelitian ilmiah dalam bidang sejarah, filologi, dan genetika menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa klaim ini tidak dapat dipertahankan.
Penelitian yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani mengungkapkan adanya berbagai ketidakselarasan antara catatan sejarah dan klaim nasab tersebut. Secara filologis, beberapa nama dan garis keturunan yang diajukan oleh Ba’alwi tidak memiliki dukungan dokumen atau bukti yang sahih. Bahkan, penelitian ini menunjukkan bahwa nama ‘Ubaidillah’ yang dihubungkan dengan keturunan Alawi bin Ubaidillah tidak memiliki sumber yang terpercaya dari periode yang lebih awal, dan informasi yang diajukan datang dari kitab yang ditulis berabad-abad kemudian tanpa referensi yang kuat.
Selain itu, penelitian genetis yang dilakukan oleh para ahli seperti Dr. Michael Hammer, seorang ahli genetika di University of Arizona, dan Dr. Sugeng Sugiarto, seorang ahli genetika Indonesia, memberikan bukti yang jelas tentang keterputusan nasab ini. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa haplogroup G yang dominan di kalangan keturunan Ba’alwi berbeda dengan haplogroup J1 yang umumnya ditemukan pada keturunan langsung Nabi Muhammad SAW. Haplogroup J1 merupakan penanda genetik yang kuat untuk keturunan Nabi Ibrahim AS dan, secara turun-temurun, hingga Nabi Muhammad SAW.
Sejalan dengan bukti ini, Al-Qur’an dan Hadis juga memberikan peringatan keras tentang klaim nasab yang tidak sahih. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengaku sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, maka surga tidak akan dirasakan olehnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan pentingnya kejujuran dalam nasab dan beratnya konsekuensi jika seseorang mengklaim garis keturunan yang tidak benar.
*2. Pemalsuan Sejarah dan Kuburan*
Salah satu bentuk penyimpangan lain yang dihadapi adalah pemalsuan sejarah dan makam oleh kalangan Ba’alwi. Berbagai bukti mengindikasikan bahwa terdapat klaim-klaim palsu yang menyebutkan tokoh-tokoh perjuangan bangsa seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol sebagai bagian dari keturunan Ba’alwi. Selain itu, makam beberapa tokoh penting juga telah diubah agar seolah-olah memiliki hubungan dengan Ba’alwi. Contoh nyata adalah pengubahan makam KRT Sumadiningrat menjadi ‘bin Yahya’ dan Mbah Malik, keturunan Pangeran Diponegoro, yang juga diklaim sebagai ‘bin Yahya.’
Prof. Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarawan terkemuka di Indonesia, menegaskan bahwa pemalsuan sejarah semacam ini adalah ancaman serius terhadap identitas nasional. Ketika sejarah dimanipulasi, tidak hanya memutarbalikkan fakta masa lalu, tetapi juga menciptakan legitimasi yang tidak sah bagi kelompok tertentu untuk memperoleh pengaruh yang sebenarnya tidak mereka miliki.
Hal ini mengingatkan pada peringatan dalam Al-Qur’an: “Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan yang mengikuti hawa nafsunya serta adalah keadaannya itu melampaui batas.” (QS. Al-Kahfi: 28). Sejarah perjuangan bangsa dan para pahlawannya, termasuk Nahdlatul Ulama, tidak boleh diubah untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang berusaha menguasai narasi sejarah.
*3. Perampasan JATMAN oleh Luthfi bin Yahya*
Salah satu contoh konkret dari infiltrasi kelompok Ba’alwi ke dalam struktur NU adalah perampasan JATMAN oleh Luthfi bin Yahya (LBY). JATMAN, yang seharusnya menjadi lembaga NU yang membimbing umat dalam menjalankan thariqah yang benar, kini telah diambil alih dan dimanfaatkan oleh kelompok ini untuk kepentingan mereka. Ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang masa depan independensi NU dan peran JATMAN sebagai salah satu instrumen penting dalam menjaga ajaran Islam yang moderat dan toleran.
Pengambilalihan ini menjadi bukti nyata bahwa ada upaya untuk mengendalikan struktur NU demi kepentingan kelompok tertentu, yang seharusnya ditolak dengan tegas. Dalam konteks amanah kepemimpinan, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari). Menyerahkan lembaga penting seperti JATMAN kepada individu yang memiliki agenda terselubung adalah tindakan yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan NU.
*4. Nasionalisme dan Nurani yang Terinjak*
Pertanyaannya, di mana letak nasionalisme dan nurani kita sebagai warga NU ketika klaim-klaim seperti ini terus dibiarkan? Dalam setiap acara seremonial, kita berteriak lantang tentang cinta tanah air dan semangat kebangsaan, namun di balik layar, kita membiarkan sejarah kita diinjak-injak oleh kelompok yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Cucu Nabi. Apakah semangat nasionalisme ini hanya menjadi retorika kosong yang hilang begitu saja ketika berhadapan dengan kepentingan kelompok tertentu?
Seperti halnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengancam integritas bangsa pada tahun 1965, kelompok yang saat ini mengklaim nasab Nabi Muhammad SAW tanpa dasar yang sahih juga dapat merusak fondasi NU dan bangsa Indonesia. Bahkan jika mereka hanya bagian dari golongan yang “ikut-ikutan,” kerusakan yang mereka timbulkan tidak bisa diabaikan.
Sikap husnuzhon (berprasangka baik) memiliki batasan yang jelas. Ketika bukti-bukti ilmiah dan sejarah telah dihadirkan, kewajiban kita adalah menerima kebenaran dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan akal sehat. Tidak ada tempat untuk ewuh pakewuh (rasa sungkan) ketika kebenaran sudah jelas.
*5. Membuat Garis Tegas: Kebangkitan Nasionalisme NU*
Sudah saatnya kita menarik garis tegas dalam menghadapi kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Cucu Nabi tanpa bukti yang sahih. NU sebagai organisasi yang memiliki sejarah panjang dalam menjaga keutuhan bangsa, harus berdiri di garis depan dalam mempertahankan kebenaran, baik dalam konteks keagamaan maupun nasionalisme.
Prof. Dr. Manachem Ali, seorang pakar filologi dan akademisi dari Universitas Airlangga, menegaskan bahwa pendekatan ilmiah dalam memverifikasi klaim nasab sangat penting untuk mencegah manipulasi sejarah. Ia menekankan bahwa klaim nasab yang tidak didasarkan pada bukti-bukti yang sahih harus ditolak demi menjaga integritas keilmuan dan sejarah .
Para ahli seperti KH Imaduddin Utsman al Bantani, Dr. Sugeng Sugiarto, Prof. Dr. Anhar Gonggong, dan Prof. Dr. Manachem Ali telah memberikan landasan ilmiah yang kuat bagi kita untuk bertindak. Kini saatnya kita menunjukkan bahwa NU adalah organisasi yang menghormati kebenaran dan menolak segala bentuk distorsi sejarah yang merusak integritas bangsa dan agama.
*Referensi:*
Imaduddin Utsman al Bantani, KH. Penelitian Klan Ba’alwi dan Keterputusan Nasabnya.
Hammer, M., & Ali, M. Genetic Perspectives on Arab Genealogy.
Sugiarto, S. Haplogroup Studies and Genealogy.
Gonggong, A. Pemalsuan Sejarah dan Implikasinya pada Identitas Bangsa.
Ali, M. Filologi dan Keturunan Nabi: Pendekatan Ilmiah dalam Genealogi.