Gugurnya Isbat Nasab Bani Alawi, Gebrakan Hattrick
Kelas sosial nampaknya sangat penting untuk tetap dipertahankan, makanya terjadi “geger” yang menggelinding jauh ke arah pertarungan primordial prbumi vs non pribumi. Padahal jika sejak awal ditarik ke ranah perdebatan ilmiah, maka khalayak tentu akan menikmatinya sebagai khazanah intelektual yang dapat menambah perbendaharaan pengetahuan.
Geger yang dimaksud di sini adalah reaksi terhadap buku KH. Imadduddin Ustman berjudul Menakar Kesahihan nasab Habib Di Indonesia. Karya intelektual melalui kajian ilmiah harusnya mendapat apresiasi dan reaksi positif baik berupa diskusi, debat ataupun kritik. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kebanyakan dari Habaib dan “muhibbinnya” merasa mendapat “tikaman” dari buku KH. imaduddin ini, kebanyakan dari mereka menyanggah dengan tanggapan emosional, menggiring opini seolah-olah KH. Imaduddin tidak meyakini adanya Dzurriyah Rasulullah secara keseluruhan, padahal yang disoroti KH Imaduddin hanyalah kesahihan nasab “khusus” Bani Alwi.
Reaksi seperti ini “wajar” karena selama ini seperti ada skenario yang mengesankan bahwa Bani Alawi adalah satu-satunya keturunan Rasulullah yang ada di muka bumi, setidaknya di Nusantara. Yang parsial digeneralisasi, yang “salah satu” dianggap satu-satunya, sehingga akibatnya ditengarai terjadi proses “Alawisasi” terhadap ulama masyhur di masa lalu atau penyebar agama Islam di suatu tempat yang identitasnya kabur atau dikaburkan kemudian dicantolkan marga dari Bani Alawi dan dibuat narasi seolah-olah mereka yang dihormati dan dimuliakan di suatu tempat karena jasa-jasanya di masa lalu dalam menyebarkan Islam adalah leluhur Habaib.
Bani Alwi adalah “salah satu” (jika benar/ yang mengaku) klan keturunan Rasulullah, bukan satu-satunya dan ada klan lain keturunan Rasulullah. Mengkritik atau meragukan nasab Bani Alawi tidak berarti mengkritik atau meragukan nasab seluruh keturunan Rasulullah.
Gebrakan Pertama
KH. Imaduddin melalui penelitiannya berkesimpulan bahwa nasab Bani Alawi terputus sekitar lima ratusan tahun. Ahmad Bin Isa Al Muhajir disebutkan hanya memiliki tiga anak; Muhammad, Ali, dan Husain. Tentang hal ini, ulama nasab berbeda pendapat karena yang disepakati (muttafaq ‘alaih) hanya Muhammad sebagai anak Ahmad Bin Isa. Dua yang lain, yakni Ali dan Husain masih diperselisihkan ulama (mukhtalaf ‘alaih). Baru kemudian hari muncul nama lain seperti Abdullah dan Ubaidillah. Ubaidillah inilah yang merupakan nenek moyang para Habaib.
Jika Bani Alawi tidak dapat mengajukan bukti berupa referensi kitab ulama nasab yang mencatat nama Ubaidillah secara sah sebagai keturunan Rasulullah, maka “gebrakan pertama” dari buku KH. Imaduddin ini telah cukup untuk menumbangkan klaim Bani Alawi sebagai Dzurriyah Rasulullah.
Balasan dari pihak Alawiyyin mengatakan bahwa ada banyak kitab yang menyebutkan nama Ubaidillah yang bisa membantah “tesis” KH. Imaduddin, tapi kitab yang dimaksud tersebut tidak pernah diperlihatkan siapa pengarang, judul kitab, tahun ditulis, dan halaman berapa yang menyebutkan nama Ubaidillah sebagai anak dari Ahmad Bin Isa.
Ada juga yang membalas tesis KH. Imaduddin dengan mengatakan bahwa tidak disebutkan dalam kitab abad kelima hijriyah bukan berarti tidak ada. Jika pembuktian nasab tidak secara tertulis maka yang dipakai adalah “syuhrah wal istifadlah”, kesaksian orang-orang sezaman, diceritakan pada masanya, dan dikenal luas oleh masyarakat. Dengan metode ini Bani Alawi membuktikan bahwa mereka yang tinggal di Yaman telah masyhur diketahui orang pada masa itu sampai ke negeri Basrah, Iraq. Dengan mengangkat kisah pertemuan Ubaidillah dengan rombongan jama’ah haji dari Iraq dan Basrah dalam perjalanan menuju Makkah.
Gebrakan Kedua
Harapan untuk sembuh dari luka akibat gebrakan pertama dan bangkit menancapkan kuasa lewat klaim keabsahan nasab kembali dilabrak oleh pernyataan tegas Naqib (pimpinan Naqabah asyraf al aqiliyyin) di Mesir yang merupakan Bani Hasyim dari Jalur Aqil Bin Abi Thalib. setelah meneliti dalil-dalil dan pendapat-pendapat yang mengisbat nasab Ba Alawi serta dalil-dalil dan pendapat-pendapat yang membatalkan nasab Bani Alawi, beliau menetapkan bahwa pendapat yang lebih kuat dan bukan sekedar prasangka menyatakan nasab Ba Alawi tidak sah dan batal.
Beberapa bukti kerancuan isbat Bani Alawi seperti yang dijelaskan oleh Zaini dalam channel youtube-nya dengan mengutip sumber dari pernyataan Sayyid Audah Al Aqili sebagai berikut;
1. Apa yang disebut oleh pihak Ba Alawi sebagai riwayat masyhur kerena kesaksian orang-orang pada masanya dianggap “kisah fiktif” oleh Sayyid Audah Al Aqili. Kisah tentang hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut menurut versi Ba Alawi ternyata berseberangan dengan sejarah yang ada di Iraq.
Berdasarkan sejarah yang ada di Iraq, Ahmad Bin Isa hijrah dari Baghdad ke Andalusia. Kata Sayyid Audah Al Aqili, Sumber yang lebih kuat adalah sejarah versi Baghdad karena beberapa alasan. Pertama, Ahmad Bin Isa Al Muhajir tinggalnya di Baghdad. Kedua, yang menceritakan tentang hijrahnya Ahmad Bin Isa ke Andalusia adalah salah satu keluarganya yaitu Ali Al Uraidi. Ketiga, versi yang mengatakan Ahmad Bin Isa hijrah ke hadramaut baru muncul belakangan hari.
2. Selain isbat nasab Ba Alawi beradasarkan kisah fiktif yang bertentangan dengan sumber yang kebih kuat ini, terdapat juga kisah lain yang sangat janggal tetapi justru digunakan untuk memperkuat isbat nasab Bani Alawi.
Diceritakan, ketika Ubaidillah disuruh naik haji bersama rombongan dari Hadramaut. Di tengah jalan mereka bertemu dengan rombongan dari Iraq dan Basrah, ternyata rombongan dari Iraq dan Basrah mengenal Ubaidillah dan mereka bersaksi bahwa nasabnya tersambung ke Rasulullah. Ini aneh!, kok bisa mereka langsung kenal kepada Ubadillah seolah-olah Ubaidillah adalah tokoh yang sangat terkenal di Irak dan Basrah sehingga siapa saja orang dari Iraq dan Basrah akan mengenalnya sedangkan ulama nasab saja tidak ada yang menyebut nama Ubaidillah(?).
3. Saat Ahmad bin Isa tiba di Hadramaut, orang-orang Hadramaut sudah mengakui bahwa beliau adalah Sayyid, tapi keluarga Ahmad Bin Isa masih mau memperkokoh. Ali Bin Ahmad, cicit dari Ubaidillah berangkat ke Basrah lalu meminta isbat kapada hakim di Basrah dan banyak orang di basrah yang memyaksikan saat pengesahannya. Setelah mereka pulang maka orang-orang Hadramaut mengakui bahwa mereka adalah Sayyid.
Dari kisah ini muncul beberapa pertanyaan; Kalau Ubaidillah sudah mengisbat nasabnya, kenapa cicitnya harus mengisbat lagi? Padahal mereka tinggal di Hadramaut, kampungnya sendiri. Berarti cerita ini sangat jauh dari kebenaran.
Klaim saat ini bahwa Ba alawi bernasab kepada Sayyidina Husain baru dimulai Abad kedelapan Hijriyah. tidak ada ulama nasab yang mengatakan bahwa mereka bernasab pada Sayyidina Husain sebelum abad kedelapan. Ini adalah klaim yang sangat terlambat karena Ahmad bin Isa hidup pada abad keempat Hijriyah. Sayyid Audah Al Aqili pimpinan Naqabah Asyraf Al Aqiliyyin di Mesir, setelah meneliti pendapat-pendapat yang mengisbat nasab Ba Alawi serta pendapat-pendapat yang membatalkan nasab Bani Alawi, menetapkan bahwa pendapat yang lebih kuat dan bukan sekedar prasangka adalah pendapat yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi tidak sah dan batal.
Sebenarnya pernyataan Sayyid Audah Al Aqili ini jauh lebih dahulu muncul daripada tesis KH. Imaduddin. Pengumumaan bahwa nasab Ba Alawi tidak sah dan batal telah ditulis oleh Sayyid Audah Al Aqili pada tanggal 17 Februari tahun 2010 tapi tidak terekspos luas dan tidak membuat geger. Entah karena ditutupi atau belum mendapat momentum yang tepat untuk booming karena keterbatasan akses informasi saat itu.
Adanya pukulan dari dalam lingkar Bani Hasyim sendiri menjadi salah satu bukti bahwa mempertanyakan keabsahan nasab dzurriyah Rasulullah yang disandangkan kepada sesesorang atau kaum tertentu bukanlah merupakan tabu yang dapat disepadankan dengan melanggar hukum syar’i, mendapat dosa besar dan akan dijebloskan ke dalam neraka, tapi hal ini adalah sesuatu yang wajar dan harus disikapi dengan kepala dingin. Mengajukan bukti valid saat menyanggah, buku versus buku, tulisan berbalas tulisan, atau lebih bagus lagi kalau diadakan dialog sehingga khalayak umum bisa menilai sendiri mana pendapat yang lebih kuat berdasarkan bukti-bukti yang diajukan masing-masing pihak.
Untuk mengetahui lebih jelas pengumunan pembatalan nasab Ba Alawi oleh Sayyid Audah Al Aqili, silahkan simak pembahasan Zaini dalam channel youtube-nya yang berjudul “penelitian KH. imaduddin tidak mudah dipatahkan karena sesuai metode Naqobah internasional” yang diupload pada tanggal 28 Mei 2023.
Sekali lagi, adalah wajar jika terjadi reaksi emosional dari kalangan Habaib karena selama ini mereka terbiasa dengan privilege dari masyarakat, dan ketika keabsahan nasab mereka dipertanyakan maka privilege yang biasa mereka terima terancam hilang dan menjadi manusia pada umumnya dalam kehidupan sosial. Dan sangat sulit merubah kebiasaan yang sudah tertanam secara turun temurun.
Pembatalan yang dilakukan oleh Sayyid Audlah Al Aqili terhadap keabsahan Bani Alawi adalah gebrakan kedua yang semakin memperburuk keadaan Bani Alawi.
Gebrakan Ketiga
Dua gebrakan sebelumnya yang belum bisa disanggah oleh pihak Bani Alawi disusul lagi dengan gebrakan ketiga yang nampaknya akan sangat menyakitkan karena datangnya “secara tidak sengaja” dari dalam tubuh Bani Alawi sendiri. Mohsen Official membahas kutipan kitab Al Istizadah dengan judul”keluarga Ba Alawi ditakzir karena menikahi Syarifah Al Hasani, tidak Kufu’?” yang disarikan sebagai berikut;
Pertama, Masalah Kafa’ah dalam kitab Al Istizadah juz dua halaman 1093 yang ditulis oleh Habib Ali Muhsin Assaggaf menceritakan bahwa di Hijaz dulu pada masa kekuasaan Syarif Ainur Rafiq, seorang dari Bani Alawi yang bernama Bafaqih Alawi menikah dengan seorang syarifah Al Hasani, syarif Makkah pada saat itu marah besar kepada kalangam Ba Alawi dan minta kepada orang Ba Alawi yang menikahi Syarifah Al Hasani tadi untuk menceraikan istrinya. Kemudian dia dihukum tiga ratus kali pukulan tongkat.
Kedua, Bani Alawi dilarang menggunakan nama Sayyid, termasuk dipanggil dengan gelar Sayyid saat berbicara dengan mereka atau menambahkan kata Sayyid pada nama mereka baik dalam catatan resmi atau tidak resmi.
Kalau memperhatikan dua kisah yang ditulis oleh kalangan Ba Alawi sendiri tersebut, terdapat isyarat bahwa;
1. Pernikahan antara Syarifah Al Hasani dengan Habib Ba Alawi tidak mendapat restu dari Syarif di Makkah pasca saat itu karena dianggap derajatnya tidak seimbang (kufu’). Artinya Syarif dari kalangan Al Hasani tidak mengakui bahwa BA Alawi adalah bagian dari Dzurriyah Rasulullah.
2. Larangan menggunakan gelar sayyid justru memperkuat pendapat bahwa Bani Alawi bukan Sayyid yang artinya mereka bukan Dzurriyah Rasulullah.
Sebelum ramainya isu batalnya nasab Bani Alawi sebagai dzurriyah Rasulullah yang memuncak pada tesis Kiyai Imad, orang awam tidak pernah mendapat informasi seperti ini, informasi tentang habib dari kalangam Bani Alawi mendapat hukuman cambuk karena berani menikahi Syarifah dari jalur Sayyidina Hasan. Yang umum diketahui masyarakat adalah doktrin orang awam tidak boleh menikahi perempuan dari kalangan Bani Alawi karena dianggap tidak kufu’. Pada tahap ekstrimnya dianggap haram dan anaknya dianggap hasil zina.
Hasil penelitian KH. Imaduddin yang sampai pada kesimpulan tegas bahwa nasab Habaib terputus atau tidak tersambung ke Rasulullah, bertemu dengan beberapa momentum yang tepat sehingga gaungnya semakin lama semakin membesar. Pertama dan mungkin paling utama adalah disrupsi teknologi informasi yang membuat peristiwa di belahan bumi yang sangat jauh sekalipun dapat diakses dengan mudah dan sangat cepat bahkan dalam hitungan detik. Media sosial seperti Facebook, Twitter, WAG dan youtube menjadikan isu ini sebagai konten yang mendatangkan banyak viewer.
Kedua, meskipun isu ini berusaha didiamkan seperti tudingan beberapa pihak kepada Rabithah Alawiyyah yang sampai saat ini belum memberi tanggapan secara resmi, atau Ketua Rabithah Alawiyyah yang dalam beberapa channel youtube menyampaikan ajakan kepada jamaahnya untuk tidak melihat atau mendengar isu yang menyerang kemapanan zona nyaman Habaib ini, derasnya informasi yang menyusup lewat algoritma media social tetap tidak bisa ditangkis. Selanjutnya, Orang-orang yang selama ini bersabar atau sengaja diam menyaksikan arogansi beberapa oknum Habaib yang angkuh dan berbuat seenak hati, mulai memberikan reaksi sama kerasnya dengan aksi yang dilakukan oleh oknum-oknum Habaib tersebut.
Ketiga, akses terhadap sumber pengetahuan juga semakin mudah, ditambah banyak konten kreator yang memberi reaksi terhadap dalil-dalil atau rujukan yang biasa digunakan oleh oknum Habaib untuk membenarkan tindakannya. Seperti pernyataan Habib yang jahil lebih mulia dari pada tiga puluh orang alim, dijelaskan oleh Zaini dalam channel youtubenya dengan rujukan yang kredibel bahwa jika vis a vis antara habib jahil dan orang alim maka orang alim menang karena ilmu lebih utama daripada nasab. Juga yang dijelaskan oleh Mohsen Official dalam channel youtubenya bahwa hadits yang sering dikutip tentang empat golangan yang akan mendapatkan syafa’at Rasulullah di hari kiamat; memuliakan habaib, menutupi kebutuhan mereka, membantu urusan-urusan mereka, dan mencintai mereka tidak sekedar dengan kata-kata tapi tulus sampai ke hati. Ternyata hadits ini adalah hadist palsu.
Dalam kesempatan lain, Mohsen Offficial juga menjelaskan bahwa para Habaib yang selama ini alergi dengan Syiah, mulai menggunakan dalil-dalil yang justru familiar di kalangan komunitas Syi’ah. Dan penulis melihat di beberapa channel youtube dan akun twitter Habaib yang terindikasi dari kalangan Syi’ah juga berusaha mengcounter hasil penelitian KH. imaduddin ini. Bani Alawiyyin dari kalangan Sunni dan Syi’ah akhirnya bergandengan tangan untuk membela nasab mereka.
Gebrakan Hattrick beruntun tersebut di atas membuat Bani Alawi di bawah naungan Rabithah Alawiyyah ibarat manusia yang terluka parah hingga tak mampu berkutik, bahkan sekedar mengeluarkan kata-kata untuk membela diri.
Kemungkinan yang paling merasakan dampak dari serangan telak tersebut adalah Habaib yang hanya mengandalkan nasab untuk memperbaiki nasib, para megalomania yang kecanduan akan pujian dan sanjungan, dan mereka yang selalu menginginkan privilege dalam kehidupan sosial.
Sedangkan para Habaib yang alim, rendah hati dan bijaksana mungkin akan menganggap bahwa ini hanyalah salah satu cara Allah subhanahu wa ta’ala menguji mereka sebelum mencapai predikat kekasih Allah.
Waallahu Alam