HABIB LUTFI BIN YAHYA MENGGANTI ULAMA PRIBUMI DENGAN MENJADIKANNYA HABIB DAN MARGA BIN YAHYA

Syekh Abdul Malik adalah putra Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso. Silsilah keturunannya bermuara hingga ke Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji.

Syaikh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas merupakan Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Thariqah Syadzaliyah di Purwokerto Jawa Tengah. Bagi yang tinggal diwilayah Jawa Tengah pasti sudah tidk asing dengan kota Purwokerto, yaitu sebuah kota yang terletak di selatan Gunung Slamet.

Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah. Dulunya, kawasan ini merupakan tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kolonial Belanda. Itulah mengapa dikota ini masih terdapat banyak sekali orang-orang yang punya silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya.

Keturunan-keturunan Pangeran Diponegoro yang berasal dari kerajaan Matararam Islam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan ulama-ulama terkemuka hingga saat ini. Salah satu dari keturunan Pangeran Diponegoro di Purwokerto ini adalah Syaikh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas.

Kelahiran
Pada zaman dahulu apabila ada seorang ibu hendak melahirkan, maka sebagai tempat bersalin akan dihamparkanlah tikar di atas lantai. Suatu saat ada pasangan suami istri yang telah mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang bayi tidak juga kunjung terlahir.

Melihat bayinya tak kunjung laihir, sang suami kemudian merintahkan istrinya untuk pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja. Tak berselang lama lahirlah seorang bayi mungil yang kemudian diberi nama Muhammad Ash’ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat tidur).

Peristiwa kelahiran ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari Jum’at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M). Nama lengkap dari bayi mungil itu adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil inilah yang dikenal sebagai Syaikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.

Berdasarkan ”Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton Yogyakarta, Muhammad Ash’ad merupakan keturunan Pangeran Diponegoro. Adapun nama Abdul Malik ini diperoleh dari sang ayah ketika Muhammad Ash’ad diajak menunaikan ibadah haji bersama.

Silsilah keturunannya adalah Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III Yogyakarta.

Pendidikan
Sejak kecil, Abdul Malik mendapat pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur’an kepada ayahnya, Abdul Malik kemudian dipondokkan oleh sang ayah untuk melanjutkan pendidikannya kepada Kiai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.

Abdul Malik juga memperoleh pendidikan dari saudaranya yang lain di Sokaraja ,yaitu Kiai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya di Purwokerto kala itu. Kiai Affandi memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.

Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik kemudian dikirim ke Tanah Suci untuk memperdalam ilmu agama. Di sana beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.

Setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Suci, pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman dan berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H) sang ayah wafat dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja.

Sepeninggal sang ayah, Abdul Malik muda punya keinginan untuk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah.

Abdul Malik dan ibundanya Nyai Zainab kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk. Sejak saat ini, ia kemudian lebih dikenal sebagai Syaikh Abdul Malik Muhammad Ilyas Kedung Paruk Purwokerto.

Guru-Guru
Di antara guru-guru Syaikh Abdul Malik adalah:

Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tarmasi al-Jawi. (Syekh Mahfudz Termas)

Adapun sebelum berangkat ke tanah Suci, Syaikh Abdul Malik sempat berguru kepada:

Kiai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang. (Mbah Soleh Darat)
Mengenai sanad Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah beliau peroleh secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas. Sedangkan sanad Thariqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi Al-Makki ketika di Mekkah.

Selama bermukim di Makkah, Syaikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi’i, diberi kesempatan untuk mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira’ah sab’ah. Bahkan beliu sempat menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di dekat Jabal Qubes komplek Masjidil Haram.

Perjuangan Melawan Penjajah
Ketika pergerakan dan revolusi fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para ulama ahli thariqah seperti Syaikh Abdul Malik juga turut berjuang demi memerdekakan bangsanya. Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa ulama tidak tidak ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Syaikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah dan ikut berjuan melawan mereka. Karena aktivitasnya ini, maka beliau pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial.

Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwah syiakh Abdul Malik mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak. Menghadapi situasi seperti ini, Syaikh Abdul Malik kemudian meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat.

Hal ini sebagaimana sang leluhur Pangeran Diponegoro, yang juga berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda. Maka Syaik Abdul Malik pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di kawasan perbukitan Gunung Slamet.

 

Kepribadian
Hingga kini masyarakat Purwokerto, Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya Syaik Abdul Malik. Hal ini karena beliau dikenal sebagai ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah.

Syaikh yang seumuhidupnya mengamalkan wirid al-Qur’an dan Shalawat ini adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan ramah kepada siapa saja. Bahkan, meskipun Syaik Abdul Malik adalah seorang mursyid Tariqah beliau juga gemar melakukan silaturahim kepada santri-santrinya, terutama mereka yang miskin atau sedang mengalami kesulitan hidup.

Menariknya, setiap hari Selasa pagi, entah dengan bersepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian.

Sambil berkunjung beliau juga mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan. Acara ini merupakan forum silaturrahim bagi para pengikut Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Kedung Paruk yang diisi dengan pengajian dan Tawajjuhan.

Syaikh Abdul Malik juga dikenal memiliki hubungan baik dengan para ulama di nusantara, bahkan dianggap sebagai guru bagi mereka, seperti: KH. Hasan Mangli (Magelang).

Adapun di antara para ulama yang sering berkunjung ke kediaman Syaikh Abdul Malik ini adalah:

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) yang sering mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik sebagai tabarruk (meminta barakah) kepadanya.
Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang).
KH. Kholil (Sirampog, Brebes).
KH. Anshori (Linggapura, Brebes).
KH. Nuh (Pageraji, Banyumas).
Sementara itu, murid-murid langsung dari Syaikh Abdul Malik di antaranya adalah:

KH. Abdul Qadir.
Kiai Sa’id.
KH. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah).
KH. Sahlan (Pekalongan).
Drs. Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta).
KH. Hisyam Zaini (Jakarta).
KH. Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Syaikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan, dan Kiai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shalih dan gemar beribadah.

Keluarga
Syaikh Muhammad Abdul Malik menikahi tiga orang wanita, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K. Abu Bakar bin H. Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).

Istri kedua Syaikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Dari pernikahan ini beliau tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syaikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata,

”Pak Kiai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syaikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.

Sedangkan istri ketiga-nya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah. Dari puterinya inilah nasab Syaikh Abdul Malik diteruskan.

Akhir Hayatnya

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H yang bertepatan dengan 17 April 1980 M sekitar pukul 18.30 wib (malam Jum’at), Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwat-nya.

Selang berapa lama, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus.

Syaikh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas kemudian dimakamkan pada hari Jum’at 22 Jumadil Akhir 1400 H, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.

Wasiat
Salah seorang cucu Syaikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan beliau kepada cucu-cucunya:

Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara berjama’ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi penerus sedini mungkin.

Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur’an. Baca dan pelajari setiap hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan al-Qur’an di mana pun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur’an dan qari’-qari’ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.

Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat. Baca dan amalkan setiap hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw serta tegakkanlah sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan sebarluaskan ajarannya.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *