Haram Menghormati Habib Dengan Menganggapnya Sebagai Dzuriyah Nabi

Haram Menghormati Habib Karena Dzuriyah Nabi

Panggilan “Habib” adalah bentuk penghormatan masyarakat Indonesia kepada Klan Ba’alwi asal Yaman yang klaim sepihaknya sebagai keturunan dari Nabi Muhammad saw, itu dulu sebelum adanya penelitian nasab Ba’alwi oleh KH Imaduddin Utsman Al Bantani yang pada kesimpulan bahwa nasabnya tidaklah tersambung kepada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.

Ketahuilah di antara akhlak Rasulullah saw yang agung dan mulia adalah Beliau saw amat sangat cinta dan belas kasihan kepada umatnya. Sebagaimana yang direkam di dalam al-Qur’an dua ayat terakhir surat al-Taubah.

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. Al-Taubah: 128-129).

Sebenarnya karena hukum sosiallah (cinta belas kasihan kepada umat Muhammad saw), para anak keturunannya yang bergelar Sayyid maupun Syarif, bukan Habib loh yah ingat. Dan karena hukum sosial pula habib dibenci umat Nabi Muhammad karena kebencian, arogansi dan caci maki mereka kepada umat Nabi Muhammad saw.

Panggilan “habib” adalah sebutan sosiologis kepada Klan Ba’alwi, bukanlah gelar keagamaan. Jangankan habib yang jelas-jelas tidak tersambung nasabnya kepada Nabi saw, Sayyid Syarif pun tidak memiliki jaminan untuk menjadi mulia karena ilmu dan akhlak tidak dapat diwariskan dan diwarisi layaknya DNA.

Ilmu dan akhlak Nabi Muhammad saw tidak otomatis terinstall dalam diri para keturunannya. Ilmu dan akhlak adalah soal “nasib”, bukan nasab. Harus diusahakan dengan cara menuntut ilmu, mujahadah dan riyadlah. Jika tidak, maka seorang keturunan Nabi Muhamad saw tidak akan dapat warisan ilmu dan akhlak Nabi saw.

Oleh sebab itu, pada kenyataannya ada Habib yang jahil dan tidak berakhlak. Melanggar hukum syariat dan hukum negara. Gemar mencaci maki, mengumpat dan mengucapkan kata-kata keji lagi kotor, yang sesungguhnya sifat tersebut bukanlah ciri khas dari golongan Sayyid Syarif yang jelas nasabnya tersambung kepada Nabi saw.

Insan paling mulia Baginda Nabi Muhammad Saw adalah orang yang paling adil dalam menerapkan hukum. Tanpa memandang status dan kedudukan. Kesamaan orang di depan hukum ditegaskan Nabi Saw dalam sebuah hadits. Dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah dan menyampaikan,

“Amma ba’du: Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan hukuman). Namun ketika orang-orang lemah yang mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman hadd. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah puteri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tidak sinkron antara jualan nasab (klaim sepihaknya sebagai dzuriyah Nabi saw) dan nasib seorang habib klan Ba’alwi. Ada habib yang jahil dan berakhlak tercela. Ceramahnya penuh amarah murka, umpat sana sini, caci maki, mencela secara membabi buta sampai mengeluarkan kata-kata kotor kepada umat Nabi Muhammad saw. Hingga di depan pengadilan terucap kata “didalam diri saya mengalir darah rasulullah”

Namun demikian, tidak semua habib berperilaku keparat dan bangsat. Masih banyak habaib yang alim, tawadlu’, dan berakhlak mulia. Oleh karenanya, bersikap proporsional terhadap mereka lebih selamat ketimbang bersikap ekstrim dalam mencintai atau membencinya.

Paradigmanya kita adalah dalam menghormati habib karena alasan ilmu serta kemuliaan aklaqnya, haram hukumnya menghormati mereka sebagai dzuriyah Nabi saw.

Waallahu Alam




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *