Ilmu Sejarah dan Nasab: Menilai Fakta, Bukan Aqidah Penulis

Ilmu Sejarah dan Nasab: Menilai Fakta, Bukan Aqidah Penulis

 

Ilmu sejarah adalah disiplin ilmu yang bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu berdasarkan bukti dan metode ilmiah. Salah satu cabang penting dalam ilmu sejarah adalah ilmu nasab, yaitu studi tentang garis keturunan suatu individu atau kelompok. Namun, dalam kajian mengenai nasab, sering kali terjadi bias di mana seseorang menolak suatu penelitian hanya karena latar belakang keyakinan atau afiliasi penulisnya.

 

Hal ini sangat jelas terlihat dalam perdebatan mengenai klaim nasab Klan Ba’alwi, di mana para pendukung mereka sering kali menolak data dan dalil hanya karena sumbernya berasal dari kalangan yang mereka anggap sebagai Wahabi atau Syi’ah. Padahal, dalam dunia akademik, kebenaran suatu penelitian tidak ditentukan oleh identitas penulisnya, tetapi oleh validitas data, metodologi penelitian, dan ketepatan analisisnya.

 

Menilai Keilmuan Berdasarkan Metode, Bukan Aqidah

 

Dalam dunia akademik, standar penelitian tidak bergantung pada keyakinan penulisnya, melainkan pada kualitas metode dan bukti yang digunakan. Seperti dalam bidang teknologi, umat Islam menggunakan komputer, internet, dan perangkat lunak yang dikembangkan oleh para ilmuwan dari berbagai latar belakang agama, termasuk non-Muslim. Tidak ada yang mempertanyakan agama para ilmuwan yang menciptakan kecerdasan buatan atau jaringan internet, karena yang dinilai adalah manfaat dan keabsahan teknologi tersebut.

 

Begitu pula dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab. Jika suatu penelitian menggunakan bukti yang sahih, maka hasilnya tetap valid, tanpa perlu melihat siapa yang menulisnya.

 

Namun, ketika berbicara tentang nasab Klan Ba’alwi, kita sering melihat kecenderungan bahwa mereka dan para pengikutnya menolak penelitian ilmiah hanya karena penulisnya berasal dari kalangan yang mereka anggap sebagai Wahabi atau Syi’ah. Hal ini ironis karena dalam banyak kasus, mereka justru menggunakan standar ganda dengan mengambil referensi dari ulama yang memiliki latar belakang yang sama ketika sesuai dengan kepentingan mereka.

 

Misalnya, dalam perdebatan mengenai validitas nasab Ba’alwi, mereka menolak penelitian dari ilmuwan yang mereka cap sebagai Wahabi atau Syi’ah, tetapi di sisi lain, mereka tidak memiliki masalah ketika menggunakan referensi dari ulama yang memiliki afiliasi yang sama dalam konteks lain. Ini menunjukkan bahwa yang mereka tolak bukanlah metodologi atau data, tetapi semata-mata karena hasil penelitian tersebut tidak menguntungkan klaim mereka.

 

Sejarawan Non-Muslim dan Kontribusinya dalam Studi Sejarah

 

Sikap yang menolak penelitian hanya berdasarkan latar belakang penulisnya bertentangan dengan prinsip ilmiah yang diakui secara global. Salah satu contoh yang relevan adalah Peter Carey, seorang sejarawan asal Inggris yang meneliti sejarah Pangeran Diponegoro.

 

Meskipun Peter Carey bukan seorang Muslim, ia telah melakukan penelitian mendalam dengan menggunakan berbagai sumber sejarah, termasuk manuskrip asli dan dokumen-dokumen dari masa Perang Jawa (1825–1830). Hasil penelitiannya menjadi rujukan utama bagi akademisi di Indonesia dan dunia dalam memahami sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro.

 

Jika kita menolak suatu penelitian hanya karena latar belakang agama atau keyakinan penulisnya, maka kita akan kehilangan banyak pengetahuan berharga. Sejarah harus dipelajari berdasarkan bukti, bukan berdasarkan siapa yang menulisnya. Dalam Islam sendiri, kita mengenal konsep hikmah (kebijaksanaan), yang disebutkan dalam hadis:

 

“Hikmah adalah barang hilang milik orang beriman. Dimana saja ia menemukannya, maka ia lebih berhak atasnya.” (HR. Tirmidzi)

 

Hadis ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah dan ilmu nasab, harus diterima selama berdasarkan bukti dan metodologi yang sahih, tanpa melihat siapa yang menulisnya.

 

Kesimpulan

 

Sikap Klan Ba’alwi dan para pendukungnya yang menolak penelitian hanya karena penulisnya berasal dari kelompok yang mereka anggap sebagai Wahabi atau Syi’ah adalah bentuk penghindaran dari diskusi ilmiah yang objektif. Dalam dunia akademik, validitas suatu penelitian ditentukan oleh bukti dan metode, bukan oleh identitas penulisnya.

 

Jika kita bisa menerima teknologi dari ilmuwan non-Muslim tanpa mempertanyakan agama mereka, maka kita juga harus bersikap objektif dalam menerima ilmu sejarah dan ilmu nasab. Contoh seperti Peter Carey menunjukkan bahwa selama penelitian dilakukan dengan standar ilmiah yang tinggi, hasilnya tetap dapat menjadi rujukan yang berharga. Oleh karena itu, kita harus bersikap terbuka terhadap semua sumber ilmu yang valid, tanpa terjebak dalam fanatisme golongan atau

kepentingan kelompok tertentu.

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *