Inḥirāf Li asy-Syarī‘ah (Menentang Syariat): Kesesatan Konsep “Taslim” dalam Ajaran Klan Ba‘alwī

*Inḥirāf Li asy-Syarī‘ah (Menentang Syariat): Kesesatan Konsep “Taslim” dalam Ajaran Klan Ba‘alwī*

*Kutipan Kitab Syarḥ aṣ-Ṣudūr dan Isinya*

Dalam kitab Syarḥ aṣ-Ṣudūr halaman 179, terdapat ajaran dari kalangan Ba‘alwī yang berbunyi:

 

> **”Dan berkata Al-Ḥabīb Aḥmad bin Ḥasan al-‘Aṭṭās di saat belajar mengaji kepadanya dalam menceritakan ke-“Tasliman” (menerima saja) kepada prilaku para wali-Nya Allah yang tampak menyelisihi dzohirnya syari‘at, bahwa sesungguhnya telah banyak orang-orang yang mengeluhkan tentang prilaku Ḥabīb ‘Alī bin Sālim bin Syaikh Abī Bakar kepada gurunya, Ḥabīb Abū Bakar bin ‘Abdullāh al-‘Aṭṭās, maka gurunya itu berkata: Taslim-lah kalian terhadap prilaku ‘Alī bin Sālim karena sesungguhnya dia mendapatkan izin dan dia tidak pernah melakukan sesuatu pun kecuali dengan izin (Allah SWT).

 

Dan sebagian para sayyid telah mengadukan tentang prilaku Ḥabīb ‘Alī bin Sālim kepada Ḥabīb Muḥsin bin ‘Alawī as-Saqqāf bahwa sesungguhnya ‘Alī bin Sālim telah mencaci maki para sadah tersebut dan menyakiti mereka dengan perkataannya, dan Ḥabīb Muḥsin bin ‘Alawī as-Saqqāf berkata kepada mereka: Berbaik sangkalah kalian kepadanya, maka sesungguhnya dia (‘Alī bin Sālim) telah mendapatkan izin, dia tidak berbuat dan berkata apapun kecuali dengan izin Tuhannya (Allah SWT).”

 

*Analisis: Menentang Syariat dan Bertentangan dengan Konsep ajaran Ahlussunnah wal Jama‘ah*

Ajaran ini jelas bertentangan dengan prinsip Islam yang mengharuskan segala sesuatu dikembalikan kepada syariat. Beberapa poin yang menunjukkan kesesatan konsep ini adalah:

 

*1. Islam Menolak Kesucian Manusia Selain Nabi*

 

Dalam Islam, hanya para nabi yang makṣūm (terjaga dari dosa). Tidak ada satu pun manusia selain mereka yang terbebas dari kesalahan. Allah SWT berfirman:

 

> وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنكَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ

(Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?) (QS. Āli ‘Imrān: 144)

 

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri adalah manusia yang tidak kekal, apalagi wali-wali yang bukan nabi.

 

Imam Abū Ḥanīfah dalam al-Fiqh al-Akbar menegaskan:

 

> “وَلَا نَقُولُ إِنَّ أَحَدًا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ مَعْصُومٌ”

“Kami tidak mengatakan bahwa seorang wali itu makṣūm (terbebas dari dosa).”

 

Maka, keyakinan bahwa seorang wali selalu mendapat izin dari Allah SWT untuk melakukan sesuatu, meskipun tampak menyelisihi syariat, adalah penyimpangan yang nyata.

 

*2. Hukum Ditentukan oleh Syariat, Bukan oleh Klaim “Izin Allah”*

 

Islam mengajarkan bahwa hukum dan akhlak seseorang harus diukur dengan syariat, bukan dengan klaim “taslim” atau “izin Allah” tanpa dasar. Rasulullah SAW bersabda:

 

> عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafā’ ar-rāsyidīn yang mendapat petunjuk. Peganglah itu erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abū Dāwūd no. 4607, Tirmidzī no. 2676)

 

Imam asy-Syāfi‘ī berkata dalam al-Umm:

 

> “كُلُّ مَا خَالَفَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَهُوَ بَاطِلٌ”

“Segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah adalah bāṭil.”

 

Dari sini jelas bahwa hukum harus didasarkan pada dalil, bukan pada klaim seorang wali yang dianggap mendapat izin ilahi.

 

*3. Kultus Individu dalam Konsep “Taslim” Adalah Kesyirikan Terselubung*

 

Ajaran “Taslim” seperti yang dikutip dalam Syarḥ aṣ-Ṣudūr berbahaya karena membuka ruang bagi kultus individu dan ketaatan buta yang melampaui batas syariat. Hal ini mirip dengan konsep wilayah mutlak dalam Syi‘ah, di mana para imam dianggap memiliki otoritas di atas hukum syariat.

 

Imam Mālik pernah berkata:

 

> “كُلُّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ، إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ”

“Setiap pendapat bisa diterima atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah SAW).”

 

Jika ulama besar seperti Imam Mālik menegaskan bahwa manusia bisa salah, maka mengapa seorang wali dari klan Ba‘alwī harus dianggap makṣūm dan tidak boleh dikritik?

 

*4. Wali Sejati Tidak Akan Menyimpang dari Syariat*

 

Allah SWT telah menjelaskan dalam Al-Qur’an mengenai siapa wali-wali-Nya:

 

> أَلَا إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ۝ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yūnus: 62-63)

 

Ayat ini menunjukkan bahwa wali sejati adalah mereka yang bertakwa dan beriman, bukan yang menyimpang dari syariat.

 

*Kesimpulan: Ajaran “Taslim” dalam Kitab Syarḥ aṣ-Ṣudūr Adalah Inḥirāf li asy-Syarī‘ah (Menentang Syariat)

 

Dari berbagai dalil dan penjelasan ulama, dapat disimpulkan bahwa konsep “Taslim” yang diajarkan dalam kitab Syarḥ aṣ-Ṣudūr adalah bentuk Inḥirāf li asy-Syarī‘ah (penyimpangan terhadap syariat) karena:

 

*1. Bertentangan dengan prinsip Islam bahwa hanya Nabi yang makṣūm.*

*2. Menolak kewajiban menghakimi setiap perbuatan berdasarkan syariat.*

*3. Mendorong kultus individu yang berbahaya bagi akidah umat.*

*4. Mengabaikan hakikat sejati wali dalam Islam yang harus bertakwa dan mengikuti sunnah.*

 

Oleh karena itu, kaum Muslimin yang mengikuti Ahlussunnah wal Jama‘ah harus menolak ajaran ini dan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah. Jangan sampai kita terjebak dalam paham sesat yang membebaskan seseorang dari hukum Islam hanya karena dianggap wali.

 

Wallāhu a‘lam bi aṣ-ṣawāb.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *