INILAH AJARAN YANG SANGAT DI TAKUTI PENJAJAH

INILAH AJARAN YANG SANGAT DI TAKUTI PENJAJAH

Oleh : Husni Mubarok Al Qudusi

 

Jika pengamal Tarekat sudah bergerak dan keluar dari mihrabnya, pertanda yang membuat ruwed serta aneh-aneh dalam beragama dan bernegara akan rungkad. Ketahuilah para punggawa dan yang melawan para pemalsu dan pencangkok nasab ke Nabi SAW sebagian besar adalah pengamal Tarekat.

 

Didalam pergerakan sejarah bangsa Indonesia yang sangat monumental salah satunya adalah peran Mbah Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihadnya, ia bisa menggerakan para pengamal Tarekat di tiap pojok-pojok negri untuk angkat senjata mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang baru lahir dari ancaman pihak lain.

 

Tentara Keamanan Rakyat TKR (sekarang TNI) dan rakyat pihak Indonesia melawan Belanda dan tentara sekutu (sekarang NATO) pemenang perang dunia ke dua, peperangan di menangkan oleh Indonesia. Sampai era ini belum ada sebuah negara manapun yang bisa mengalahkannya kecuali Indonesia.

 

Dinasti Utsmaniyah yang sukses menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1435 M juga ada sentuhan dari kaum Tarekat. Syeikh Syamsuddin, adalah seorang ulama ahli tasawwuf berasal dari negeri Syam yang berhasil memoles pribadi al-Fatih menjadi sultan yang tangguh, berilmu, cerdas, pemberani dan pemimpin Negara yang bertakwa kepada Allah SWT. Hingga di medan pertempuran terdepan, sang Syeikh mendampingi al-Fatih, untuk memberi tausiyah, arahan, strategi dan bimbingan spiritual. Prajuritnya diwaktu siang bertempur secara fisik malamnya bermunajat serta mengkaji salah satu kitab Tarekat masyhur berjudul Ar-Risalatul Qusyairiyah yang ditulis oleh Syekh Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin.

 

Di nusantara, adalah ajaran tarekat yang paling ditakuti penjajah Belanda, ajaran tarekat yang paling dikhawatirkan penjajah itu diantaranya adalah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Tarekat Syatariyah dll.

 

Mengapa penjajah takut terhadap ajaran Tarekat tasawuf itu?

 

Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori pengamak Tarekat memang sangat beralasan. Sebab, begitu banyak perlawanan dan gerakan menentang penjajahan yang dipimpin tokoh-tokoh Tarekat atau pengikut Tarekat tertentu. Karena itulah, Tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda.

 

Pada Juli 1888 sendiri, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda perlawana. Perlawanan petani itu benar-benar mengguncang Belanda karena perlawanan itu dipimpin oleh para Ulama dan Kiai. Yang melawan penjajah itu adalah pengikut Tarekat yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim dan KH Marzuki. Belanda dibuat keteteran oleh gerakan kaum sufi itu.

 

Sama halnya dengan di negara-negara Islam, pengamal Tarekat tasawuf di Nusantara pun tampil di garda depan untuk melawan dan mengusir penjajah. Sejarah peradaban Islam mencatat, ada sederet gerakan perlawanan yang dipimpin Syekh pengamal tasawuf bersama para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda. Peran Tarekat tasawuf dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro pada (1825-1830).

 

Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para Sayyid Syarif, Kiai, Haji, dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kiai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual perlawanan tersebut.

 

Guna menarik dukungan dari kalangan pondok pesantren, tokoh agama, Syeikh, dan pengikut Tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut perlawanan yang dipimpinnya sebagai perang suci atau perang sabil. Karena itulah, para pengikut Tarekat dari berbagai aliran dan umat Islam lainnya, pada waktu itu, meyakini perlawanan Pangeran Diponegoro sebagai perang suci untuk mengembalikan harkat serta martabat pribumi Jawa.

 

Dalam bukunya Martin van Bruinessen juga yang  bertajuk, “Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau Akhirat?”, serta mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut Tarekat dalam melawan Belanda. Karena peran Tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan Tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng.

 

Perjuangan para tokoh dan pengikut Tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819.

 

Seorang penyair Melayu juga menggambarkan bagaimana kaum putihan atau Haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir, dan beratib dengan suara keras sampai fana.

 

Dalam keadaan tak sadar (‘mabuk zikir’) mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga tersugesti kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir.

 

Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18 M.

 

Syekh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya sastra tasawuf Melayu yang penting. Syekh Abdussamad, kata Bruinessen, adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan.

 

Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. “Meski begitu, Syaikh Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim,” tutur Bruinessen.

 

Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syekh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syekh Yusuf al-Makassar yang bergelar ‘al-Taj al-Khalwati’ telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap ‘kolonial kafir’.

 

Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.

 

Selain itu, sejarah juga mencatat banyak lagi gerakan perlawanan melawan penjajah belanda yang dimotori Tarekat, seperti perlawanan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa’i (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Perlawanan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).

 

Perlawanan di Banjarmasin dipimpin tuan guru yang mengajarkan amalan ‘beratif baamal’, suatu varian amalan tarekat Sammaniyah. Konon, orang berbondong-bondong datang dibaiat, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian menyerang tentara kolonial tanpa mempedulikan bahaya.

 

Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama yang disebut dengan ‘Tuan Guru’.

 

Waallahu Alam..

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *